Kita Mau, Maka Kita Bisa

Khairil Hanan Lubis 29 Januari 2013

 

Waktu sudah hampir jam 2 siang. Matahari sedang berada pada masa-masa puncak memancarkan sinarnya. Tetesan keringat anak-anak terus membasahi tubuh, membuat baju mereka semakin melekat di badan. Tapi perjuangan sejak jam 8 pagi ini belum saatnya usai. Masih ada dua pos lagi yang harus dituntaskan.

Berjalan sejak pagi plus harus berkompetisi pada setiap pos yang dilewati, jelas menguras tenaga anak-anak berusia 9-12 tahun ini. Apalagi bekal yang seharusnya dibawa seluruhnya tertinggal di tenda, sehingga hanya mengandalkan beberapa botol air minum yang dibeli di jalan.

Tibalah kami pada pos ke-8. Sambil menunggu giliran, kami menyaksikan dua sekolah lain yang telah duluan sampai tengah bertanding. Memindahkan potongan-potongan ikan mentah dari sebuah baskom berisi air penuh ke baskom yang lain, dengan menggunakan mulut. Potongan-potongan ikan itu tak terlihat jelas karena airnya sudah keruh. Membayangkannya saja sudah tak enak. Tak heran, saat tiba giliran kami, anak-anak pun tak ada yang langsung mengajukan diri untuk bertanding.

 Sejujurnya, aku pun merasa kasihan. Tapi kalau berhenti, perjuangan kami sejak pagi tadi rasanya sia-sia. Akhirnya aku memilih enam orang laki-laki yang bertubuh lincah. Ku katakan, “Kalau kamong rasa seng enak, cepat-cepatlah pindahkan ikan-ikan itu supaya cepat selesai.”

Kalimat itu lumayan ampuh. Mereka pun kemudian berusaha secepat mungkin memindahkan potongan-potongan ikan itu. Tak perduli baju basah terkena cipratan air, yang penting bisa cepat selesai. Tak heran, baskom kami duluan habis dibanding tim lawan.

Teriakan kemenangan anak-anak terasa lebih nyaring. Penuh kelegaan, disertai tepuk tangan masyarakat yang menonton. Kami pun melenggang menuju pos selanjutnya.

 Di jalan, beberapa anak yang bermain di pos tadi mulai terlihat sempoyongan. Kami pun berhenti sejenak untuk istirahat dan minum. Hobob, ketua regu putra, bahkan sampai muntah. Sedangkan yang lain pelan-pelan mulai pulih. Di pos 9, lomba lari berpasangan dengan kaki diikat, hanya Hobob yang tak turun. Karena kondisi,  ia bisa dapat dispensasi dari panitia.

Kini tibalah kami di pos 10. Pos terakhir! Posisinya berada di dermaga pelabuhan. Hmm.. pastilah ini urusannya tak jauh-jauh dengan air. Setelah laporan dan penampilan yel-yel, betullah dugaanku. Semua anak harus melompat ke laut. Hampir pukul 15.00 WIT dan mereka belum lagi makan siang.

“Horeee..” sambut mereka serentak. Tanpa dikomando, anak-anak itu langsung melepaskan pakaian, sepatu dan segala atribut di tubuh mereka. Byuuur, satu-satu mereka pun melompat. Kini giliranku yang kesulitan untuk menyudahi mereka bermain. Hoho.    

Lompatan ke air garam tadi bisa jadi sebuah klimaks dari rangkaian perjuangan mereka. Perjuangan yang sudah dimulai sejak dari desa.

Saat menerima surat pemberitahuan akan adanya Jambore Pramuka di Larat, ibukota kecamatan, para guru ragu akan mengirimkan siswa atau tidak. Perlu dana yang besar untuk transportasi dan biaya makan-minum di sana. Belum lagi menyiapkan kelengkapan siswa, karena pramuka di sekolah ini memang tak aktif.

Tapi inilah momentum untuk menghidupkan pramuka. Apalagi sekolah sudah bertahun-tahun tak pernah mengikuti berbagai ajang perlombaan di tingkat kecamatan. Kapan lagi anak-anak bisa dapat kesempatan begini.

Waktu sudah mepet. Akhirnya dipilihlah siswa yang memiliki atribut lengkap dari mulai kelas 4, 5, dan 6. Total berjumlah 20 orang. 10 tim putra dan 10 tim putri. Tak adil memang, karena kesempatan hanya terbuka bagi mereka yang punya atribut. Tapi pada situasi tersebut memang tak ada pilihan lain. Ku pikir, biarlah untuk kali pertama ini caranya begini, yang penting mereka yang ikut nanti bisa membagikan ilmunya pada anak-anak yang lain. 

Orang tua pun dilibatkan untuk membantu persiapan. Mereka diundang ke sekolah dan duduk bersama membahas keberangkatan ini. Perlu tenda dan tongkat pramuka. Beban pun dirinci. Kayu, bambu, terpal, dibagi rata. Aku mulai mempersiapkan anak-anak dengan memberikan latihan baris berbaris, menyanyikan lagu-lagu pramuka, serta membuat yel-yel penyemangat lengkap dengan gerakannya.

Dua hari jelang keberangkatan, muncul masalah. Salah satu orang tua siswa datang marah-marah ke rumah salah satu guru yang akan menjadi pendamping. Guru tersebut juga menjabat sebagai pelaksana kepsek. Tak jelas sebabnya. Yang pasti karena persoalan itu, guru tersebut berniat membatalkan keberangkatan tim pramuka.

Wow! Kok segampang itu rasanya. Anak-anak sudah semangat berlatih tiap hari, orang tua sudah mempersiapkan berbagai bahan yang dibutuhkan, truk yang akan dicarter juga sudah dibayar. Bukan tanggung, Rp 1,2 juta PP.

Akhirnya dengan berbagai pembicaraan, anak-anak diperbolehkan tetap berangkat. Posisi guru tadi sebagai pendamping regu putra digantikan olehku. Padahal seharusnya kami berangkat bertiga, masing-masing satu guru pendamping regu putra dan putri dan aku sendiri yang akan bergabung sebagai panitia dengan tim di kecamatan.

Satu hari jelang keberangkatan, para orang tua laki-laki berkumpul membuat gladi bersih pemasangan tenda. Seluruh bahan-bahan dikumpulkan dan dirancanglah tenda terbaik untuk anak-anak mereka. Beberapa hari kemudian aku menyadari kalau tenda kami menjadi yang paling kokoh diantara seluruh peserta.

Hari yang dinanti pun tiba. Sejak pagi anak-anak sudah siap menunggu truk yang ternyata baru datang siang hari itu. Pisang, singkong, bebah (sagu kering), dan segala perbekalan dinaikkan. Beberapa orang tua juga ikut. Warga lain pun banyak yang memaksa naik. Maklum, transportasi ke Larat cukup sulit. Maka jika ada truk begini, kesempatanlah untuk menumpang. Jelang sore, truk sarat muatan itu pun bergerak, menempuh 4 jam perjalanan melewati hutan dan desa-desa. Akhirnya kami berangkat!

Selama lima hari di Larat, berbagai susah senang dialami anak-anak. Tidur di tenda dengan makanan seadanya, mengikuti macam-macam kegiatan yang menguras tenaga, tapi mendapatkan banyak hal-hal baru. Teman, nyanyian, hingga permainan. Apalagi sebagian besar baru kali ini menginjakkan kaki di Larat. Mereka pun agak gamang saat jalan bersisian dengan macam-macam sepeda motor yang lalu lalang.

Eksplorasi Medan adalah salah satu kegiatan yang mereka lakoni.  Guru pendamping regu putri berhalangan ikut hari itu karena suaminya sakit. Jadilah kami ber-21 mengarungi berbagai pos hari itu.

Saya sendiri menjadi saksi betapa hebatnya anak-anak ini. Dari pagi sampai sore mereka berjalan melewati tantangan. Terik matahari pagi, sempat disiram hujan jelang siang, dan kembali terik saat siang. Alhamdulillah, hingga berakhir semuanya tetap sehat. Bahkan masih semangat begitu akan nyebur di pos terakhir. Aku pun bersyukur, dalam keadaan puasa Ramadhan masih tetap kuat dan terus bernyanyi-nyanyi dengan mereka hingga kembali ke perkemahan. Semangat mereka ikut menulariku.

Sehari usai penutupan, anak-anak langsung pulang. Karena keterbatasan dana, mereka tak bisa menunggu hingga pengumuman lomba beberapa hari kemudian.

Alhamdulillah, kami meraih Juara II Lomba Eksplorasi Medan. Tak terbayang rasanya. Jangankan punya target, berkhayal meraih piala pun kami tak pernah. Bisa ikut saja rasanya sudah syukur, karena pasti akan mendapatkan pengelaman yang luar biasa.

Mendapati aku membawa piala ke sekolah, suasana pun heboh. Tak hanya mereka yang ikut yang senang, tapi seluruh siswa berteriak girang dan bernyanyi bersama. Inilah satu-satunya piala yang ada di sekolah. Piala yang hingga kini masih saja bertengger di atas tengah meja kepala sekolah.

Bagiku, inilah hasil dari kerja bersama yang luar biasa. Ini juga menjadi bukti kalau kita mau, kerjasama, dan kerja keras, kita pasti bisa. Selamat untuk kalian anak-anak hebat!

 

Lamdesar Barat tepi laut

Siapa mau boleh ikut

Lewat darat, lewat laut

Makan kacang, makan babah

Lihir Warat, pasti bisa! (dengan irama lagu Tanjung Perak)

 

Salam,

Manise Tanah Beta


Cerita Lainnya

Lihat Semua