info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Santet, Kutukan, dan Pantangan di Nusa Lontar

Khaerul Umur 13 Juli 2011
Tiga hal yang ada di dalam judul mungkin sudah nyaris tak terdengar dalam masyarakat perkotaan. Tetapi bukan berarti ketiganya sudah tidak ada sama sekali. Begitulah yang masih tersimpan misterius di Bumi Nusa Lontar. Bukan bermaksud membeber hal-hal negative yang masih dipercaya masyarakat Rote. Tetapi tulisan ini hanya memberi tahu, bahwa hal yang tersebut dalam judul masih ada dan masih dipercaya oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia. Dan salah satunya di tanah Rote ini. Kemarin malam, aku, Pak Pendeta, Pak Vikaris, bapak piaraku, dan salah satu pemuda yang sering berkumpul dengan kami, mengunjungi seorang ibu muda di belakang rumah. Dari kabar yang beredar ramai diperbicangkan masyarakat Oeulu, sang ibu muda sakit karena terkena santet. Entah siapa gerangan orang yang menaruh iri hati kepada sang ibu. Dalam hati saya berfikir, apakah kebahagiaan yang dirasakan keluarga ini karena baru saja membangun rumah, menjadi penderitaan bagi salah satu tetangganya? Entah, aku tidak bisa membenarkan fikiranku yang entah darimana datangnya. Padahal rumah baru mereka pun sangat sederhana. Hanya susunan batako dan lantai semen saja yang melingkar menjadi rumah. Sementara bagian dalamnya masih berupa susunan pelepah-pelepah lontar yang menyekat ruang tamu, kamar, dan dapur. Ketika kami datang, sang suami keluar dari dapur dan langsung menjabat tangan kami dengan hangat. Setelah mempersilahkan kami duduk, ia masuk ke dalam kamar yang hanya ditutup oleh kain lusuh. Beberapa saat, keluarlah seorang ibu muda yang malang. Ia langsung duduk bergabung bersama kami. Tak ada kata yang bisa terucap dari mulutnya. Wajahnya menyiratkan rasa sakit yang ia derita. Dari dapur mengepul asap yang setelah Pak Pendeta tanyakan ternyata sang suami sedang menanak nasi, menggantikan sang istri yang sedang tak berdaya. Sungguh keluarga yang harmonis. Betapa keji jika memang benar ada manusia yang tega melukai sesamanya. Sejenak kemudian Pak Pendeta memimpin mereka untuk memanjatkan doa kepada Tuhan. Meminta obat yang datang dari Tuhan. Meminta hal yang terbaik untuk saudari kami. Apa yang dimakan dan diminum oleh saudari kami menjadi obat untuk kesembuhan derita yang dialaminya. Sementara aku mulai membuka Al-Quran yang telah diijinkan oleh Pak Pendeta. Ku baca Surat Yasin dengan pelan karena tak ingin mengganggu kekhusuan mereka yang sedang berdoa. Kemudian ku lanjutkan dengan membaca Surat An-Nas dan Al-Falaq karena ku teringat Nabi Muhammad yang pernah terkena santet 11 bundelan yang tertanam di dasar sumur dan Malaikat Jibril membacakan kedua surat itu. Memang, ketika manusia sudah bersekutu dengan setan, dia bahkan lebih keji dari setan itu sendiri. Keesokan harinya, seperti yang kami rencanakan kemarin, aku, Dita PM2, Pak Pendeta, dan Pak Vikaris pergi ke kampung sebelah untuk membeli ikan bandeng di desa sebelah. Masyarakat Oepao sedang bersuka cita memanen tambak mereka. Dua motor yang kami kendarai meliuk-liuk melewati perkampungan warga. Dipastikan ketika kami melewati warga atau berpapasan dengan seseorang, klakson selalu kami bunyinkan yang diikuti dengan sapa dan senyum yang tersungging. Begitulah tradisi masyarakat disini. Keluar dari perkampungan, kami langsung dihadapkan dengan lontar-lontar tinggi di samping kanan dan kiri. Setelah itu kami meluncur diatas krikil-krikil dan pasir menyusuri pantai yang memanjang. Pantai berpasir putih disebelah kanan dan tebing-tebing karang kokoh menjulang disebelah kiri benar-benar memanjakan mata kami. Belum lagi birunya samudera hindia yang mempesona menyembunyikan keganasannya yang berkali-kali menewaskan nelayan bugis. Pak Pendeta bercerita jika nelayan bugis tak dikenal terdampar, biasanya masyarakt menguburkannya ditepi pantai. Dari kejauhan sudah terlihat orang-orang berkerumun di tepi lagoon yang ditutupi oleh pepohonan canigi. Lagoon yang ditutupi pohon canigi menjadi sebuah kolam air payau yang sangat luas. Airnya tidak dalam. Di hari petama panen kemarin, aku, Pak Pendeta, dan Pak Vikaris sempat ikut terjun ke air dan menjala bandeng-bandeng segar. Ternyata di hari ke-2 panen pun masih banyak sekali bandeng yang di dapat. Bandeng-bandeng yang dipanen ternyata bukan milik satu orang, tetapi ratusan orang. Di kolam yang sangat luas ini siapa saja boleh menaruh bibit. Dan kelak jika masa panen tiba, mereka membagi hasilnya. Di kolam inilah lahir sebuah pantangan yang masih sangat dijaga oleh masyarakat Oepao. Jika masa panen tiba, tak seorang wanitapun diperkenankan mencebur ke dalam kolam. Mereka meyakini jika wanita ikut masuk ke dalam kolam, maka ikan-ikan akan menghilang begitu saja. Dan pantangan akan lebih bertuah jika yang mencebur adalah gadis perawan. Selain pantangan di Oepao, masyarakat Rote juga mempunyai aturan yang sama dalam hal memasak penyu. Ketika memasak penyu, orang Rote tidak memperkenankan wanita melakukannya. Bahkan untuk sekedar melihat saja, seorang wanitapun tidak akan diijinkan. Karena jika wanita terlibat dalam memasak penyu, maka daging penyu akan berbau sangat amis. Ya, penyu masih bebas dikonsumsi di sini. Pantai di rote timur adalah salah satu spot favorit bagi penyu-penyu dari Samudera Hindia untuk bertelur. Jika sang penyu sedang bernasib sial, tak akan sampai satu hari sang penyu sudah berada di atas kuali besar. Lantas potongan-potongan bagian tubuhnya akan disajikan diatas daun lontar. Kita kembali ke kampung Oepao. Sejak pertama kali saya diajak mengunjungi kampung ini, Pak Pendeta sudah bercerita tentang seorang gadis kembang desa yang tiada tandingannya. Namun sayang dikesempatan pertama aku berkunjung, rasa penasaran saya belum terjawab. Barulah kali kedua, aku ketika aku berkunjung kembali bersama Pak Vikaris, rasa penasaranku terjawab. Ketika motor kami melintasi perkampungan, di depan kami berjalan sosok wanita dengan rambut lurus terurai panjang sebatas punggun. Dia memakai kaos ketat merah dan hot pants dan dilehernya dikalungkan kain ikat, kain tenun khas Rote. Mendengar suara motor kami gadis itu menengok ke belakang. Seketika itu juga adegan slow motion layaknya di sinetron terjadi. Rambut panjangnya berkibar indah tertiup angin pantai yang semilir berhembus. Matanya berkedip pelan diiringi dengan senyum yang tersungging dari wajahnya yang bulat. Kemudian waktu kembali berlalu begitu saja. Setelah melewati gadis itu, aku baru bertanya kepada Pak Vikaris, itukah gadis kembang desa Oepao itu? Namanya adalah Sesi Semilikiti (nama samaran, untuk melindungi sang tokoh). Semilikiti adalah nama marganya. Dan dari nama itulah pesona kembang desa yang ia sandang berbalik menjadi ketakutan yang mengerikan bagi siapa saja yang mengetahui misteri di balik nama marganya. Keluarganya terkena kutukan. Keluarga Semilikiti tidak akan memiliki anak laki-laki. Jikapun mereka melahirkan seorang anak laki-laki, maka sang anak akan bernasib tragis. Bahkan ada yang mengatakan pernah seorang laki-laki dari keluarga itu bola matanya tercungkil. Lagi, saya tidak bisa membenarkan kabar kutukan dalam keluarga itu atau tidak mempercayainya sama sekali. Begitulah beberapa kepercayaan yang masih berlaku disini. Namun sekali lagi saya tegaskan maksud dari tulisan ini bukan menebarkan hal-hal negative yang ada disini. Tetapi hanya bercerita bahwa hal-hal semacam itu masih ada dan dipercaya oleh beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Satu hal yang saya yakini, kepercayaan mengenai santet, kutukan, dan pantangan tidak hanya masih ada dan dipercaya oleh masyarakat Rote, tetapi banyak kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang masih menyimpannya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua