info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Oenoo di desa Oeulu

Khaerul Umur 20 Juni 2011
Gesekan daun lontar yang tertiup angin mengeluarkan suara yang memecah keheningan disebuah dusun di ujung timur Pulau Rote, Oeulu desa Mukakuku. Jalanan yang gelap membuat suasana ramai disebuah rumah yang hanya diterangi satu buah lampu TL terlihat jelas. Disana tampak sekelompok orang yang dikelilingi batang-batang pelepah pohon lontar. Mereka sedang membuat tali yang terbuat dari pelepah pohon lontar. Musim sada-tuak su tiba. Begitu mereka mengatakannya. Sada-tuak atau menyadap pohon lontar telah tiba. Masyarakat rote khususnya Oeulu tengah melakukan persiapan. Hal pertama yang mereka lakukan adalah membuat tali pemanjat untuk memudahkan mereka menaiki pohon lontar. Sekitar100 pohon lontar akan mereka panjat dalam satu hari satu malam. Ada kearifan lokal di sini yang lumrahnya masih dimiliki masyarakat pedesaan di Indonesia, yaitu gotong royong. Masyarakat Oeulu menyebutnya oenoo. Mereka tidak membuat tali itu sendirian karena akan membutuhkan tenaga yang banyak. Untuk itu, secara bergantian mereka membuatkan tali-tali itu dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Malam itu adalah giliran Pak Ni. Tidak kurang dari 15 orang membagi tugas. Ada yang menyayat pelepah lontar dan yang lain membuat ikatan-ikatan penyambung agar tali mampu melingkari batang lontar. Tali itu akan diikat di batang dan akan dipalangkan batang pelepah untuk tempat memanjat. Setengah mati mereka melakukan pekerjaan ini. Tak heran jika setelahnya Pak Ni menunjukkan tangannya yang terluka gores karena kerasnya pelepah lontar yang lumayan tajam karena diiris agak tipis. Walaupun tangan mereka sudah terlatih ternyata masih rentan karena harus keras-keras menarik ikatan irisan pelepah untuk memastikan sambungan terjalin kuat. Musim sada-tuak berlangsung hingga bulan September. Menurut Pak Ni ini adalah pekerjaan yang paling melelahkan dalam satu tahun. Tak heran jika akhirnya para penyadap menjadi kurus kering hingga terlihat jelas tulang belulangnya. Kaki telanjang mereka juga dipastikan akan terluka karena berulang-ulang menginjak tali sayatan pelepah lontar yang terpasang dibatang pohon. Mereka memulai menyadap tengah malam. Satu pohon bisa sampai 4-6 sadapan. Begitu terus mereka ulang-ulang hingga kurang lebih 50 pohon lontar mereka naiki. Semuanya mereka lakukan hingga skitar jam 09.00 pagi. Selasai itu bukan berarti mereka bisa beristirahat dan memulainya tengah malam lagi. Mereka hanya beristirahat sebentar hingga tengah hari, setelah itu mereka kembali memanjat 50 pohon lontar sampai sekitar jam 09.00 malam. Dan selanjutnya berulang hingga bulan September berakhir. Pak Ni menambahkan, jika musim sada-lontar tiba, mereka tidak bisa melayani tamu. Mereka hanya bisa mengobrol beberapa menit saja. Bukannya mereka tidak sopan, tetapi itu adalah saat-saat yang berarti untuk mereka. Sada-tuak adalah pekerjaan utama masyarakat Oeulu. Dari sadapan itu mereka bisa menjual air nira atau memasaknya menjadi gula-gula pipih semacam gula merah. Dari gula itu mereka juga bisa memprosesnya menjadi sopi, tuak khas Rote setelah melalui proses destilasi. Dan meminum sopi sudah menjadi kebudayaan masyarakat Rote turun temurun. Setelah musim sadap lontar berakhir mereka bisa kembali ke kebun atau melaut. Jadi walaupun pulau Rote dikelilingi lautan, bahkan samudera hindia, melaut hanya menjadi kerja sambilan bagi mereka. Begitu Pak Ni bercerita. Pohon lontar yang tak-kan hilang dari pandangan mata tidak hanya dimanfaatkan untuk membuat gula pipih dan sopi. Dari pohon lontar juga identitas masyarakat Rote tercipta. Siapa yang tak kenal Sasando setelah Berto Pah memetiknya di layar kaca dalam ajang bakat tahun lalu disalah satu stasiun televisi swasta. Alunan musik yang menakjubkan itu keluar dari Instrumen yang bagian lengkungnya terbuat dari daun lontar. Selain sasando, masyarakat Rote menyulap daun lontar menjadi ti'i langga, topi Rote yang mempesona. Nyaris semua bagian pohon lontar tidak disia-siakan oleh masyarakat Rote. Batangnya yang lebih keras dari pohon kelapa mereka pakai untuk membangun rumah, daun lontar mereka pakai juga sebagai atap, dan pelepahnya mereka susun menjadi pagar rumah nan eksotis. Nusa Lontar, pulau terselatan Indonesia.

Cerita Lainnya

Lihat Semua