365 HARI

Juwita Fitrasari 11 Juli 2012

Perjalanan ini dimulai pada suatu malam, lepas maghrib saat aku menjejakkan kaki di jalan masuk Kampung Cilaketan. Sunyi, senyap, gulita, hutan. Pak Jasmani, ketua Komite SMP yang memboncengiku sempat bercanda bahwa jalan masuk ke dalam kampung sekitar dua jam lagi. Aku tersenyum simpul karena telah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal yang seperti ini. Bagiku jarak bukan masalah, beratnya medan jalan pun tak masalah. Yang menjadi masalah adalah apakah masyarakat di kampung sana akan menerimaku?

Pada jalanan masuk yang berbatu, berliku, menanjak, dan menurun itu aku disuguhkan suasana mistis, dikiri-kanan berjejer pohon besar, bambu, dan tetumbuhan entah apa namanya. Tanpa ada rumah. Setelah melewati hutan, yang terhampar berikutnya adalah persawahan dan pepohonan kelapa. Di malam yang gulita, berbekal semburat cahaya bulan dan bintang di langit sana, samar-samar kulihat hamparan pemandangan indah itu. Persis di atas persawahan, ku lihat dua gedung yang berseberangan. Nah, gedung itu adalah gedung SDN 1 Margaluyu dan gedung SMP 7 Siatap Sajira, di tempat itulah aku akan mengisi 365 hari ku ke depan.

Malam itu aku bertemu dengan keluarga baruku di sebuah rumah tradisional khas Sunda. Rumah panggung berdinding dan berlantaikan anyaman bambu. Didalam rumah aku sudah ditunggu oleh Emak Enung dan kedua putri kecilnya. Keluarga Emak adalah tipikal keluarga desa kebanyakan; ramah, hangat, pemalu. Aku diberikan kamar yang berada di depan, bersisian dengan ruang tamu tanpa kursi ataupun meja. Aku suka kamarku, suka pada jendelanya yang di saat pagi hari wajah-wajah mungil muridku muncul di sana, menungguku untuk pergi ke sekolah bersama.

Senja setelah maghrib rumahku akan didatangi banyak anak-anak untuk belajar mengaji. Untuk sesaat suasana rumah riuh-redah, suara mereka bersahut-sahutan, aku sulit mengerti  isi pembicaraan mereka yang menggunakan bahasa sunda kasar. Aku senang dengan malam-malam yang ku habiskan bersama anak-anak itu, tak ada suara televisi, tak ada suara musik, hanya ada aku dan anak-anakku.  Ada kedamaian dan kebahagiaan di wajah mereka. Dan melihat mereka aku merasa sangat cukup sekaligus lelah. Merasa cukup sebab aku hanya perlu mensyukuri apa yang aku punya sekarang dan apa yang pernah aku punya. Merasa lelah sebab selama ini untuk memaknai kebahagiaan aku butuh syarat-syarat tertentu bukan pada kemampuan ku untuk tertawa bahagia, ramah, dan tulus.

Bicara soal Cilaketan tidak melulu tentang anak-anaknya, tapi juga tentang masyarakatnya. Keramahan dan ketulusan mereka membuatku terharu. Seperti Emak Entik yang tiap pagi datang ke rumah sekedar untuk menyapaku, Pak Hardi yang mengajakku keliling kampung dengan motor Varionya sementara medan jalan yang kami lewati begitu berat, Pak Awal dan Pak Matin yang mengajakku ngeliwet jam 11 malam sebagai tanda aku telah menjadi teman baru mereka. Dan warga yang memberikan seekor ayam bakar panggang sebagai tanda bahwa aku telah menjadi warga Cilaketan dalam perhelatan Nifshu Syaban. Merasakan kebaikan mereka kemudian aku bertanya, apakah selama ini di tempat-tempat yang pernah aku tinggali sebelumnya, aku juga sebaik mereka?

Baru beberapa minggu disini aku telah merasakan pengalaman-pengalaman baru terutama tentang kemanusiaan. Aku merasakan benar bahwa ada orang-orang baik yang terabaikan hak-haknya tapi mereka tidak pernah menuntut apa-apa. Mereka hanya ingin hidup bahagia dengan hujan yang turun teratur agar air selalu terisi di kamar mandi umum. Agar sawah tak kering. Agar debu di jalanan tak membuat nafas sesak. Warga kampung Cilaketanku adalah wajah Indonesia yang sebenar-benarnya; ramah, bergotong-royong, dan tak berpamrih.

365 hari kedepan dan telah dimulai sejak 16 juni yang lalu, aku percaya bahwa hari-hariku akan dipenuhi kejutan. Aku akan terkagum-kagum sendiri dengan mutiara-mutiara Cilaketan yang aku temukan. Mutiara yang tersimpan dalam jiwa anak-anakku, dalam tingkah laku teman guru-guruku, dan dalam karakter keluarga-keluarga angkatku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua