Guruku Ada Di Puncak Gunung ini

Agung Hari Cahyono 28 Juli 2012

Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku bahwa di tempat ini, di desa ini, atau lebih tepatnya di gunung ini, saya akan menemui orang-orang hebat yang telah lama mengabdikan dirinya, atau lebih tepatnya menjalani sebuah kehormatan menjadi orang terdidik yang terus mendidik anak-anak desa ini, menuntaskan janji kemerdekaan, MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA.

Masih tebayang jelas, apa yang terlihat olehku, dan membuat otakku terus menelurkan  kesimpulan awal pada saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, “gelap dan sunyi”, *yap, terlalu dini sepertinya kawan. Malam itu tanggal 18 Juni, seusai acara lepas sambut Pengajar Muda dengan para stakeholder di Kantor Dinas Pendidikan Rangkas Bitung, atau sehari setelah peresmian Madrasah Diniyah di Desa Sitoko, desa tanpa listrik yang masyarakatnya sangat ramah. Kesemuanya itu benar-benar menguras tenaga, bercampur antara perjalanan panjang, seabrek aktifitas, dan antusiasme kami yang berlebih. Setelah keesokan harinya, semua prasangka ku salah. Desa ini luar biasa, semua tampak cantik di pagi hari, ternyata yang dibutuhkan hanya sedikit cahaya untuk mengubah sesuatu yang tak tampak menjadi sesuatu yang luar biasa. Hanya sedikit cahaya !!! Jika dikaitkan dengan kalimat tagline Indonesia Mengajar yang melatar belakangi ku melakukan semua ini, sama halnya dengan analogi cahaya tersebut, Indonesia adalah negara yang besar dan akan menjadi semakin besar. Sekedar mengeluh dan mengecam kegelapan  tak akan mengubah apapun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.

Disinilah saya bertemu orang-orang ini, mereka yang telah menyalakan lilin-lilin harapan dan menerangi masa depan anak-anak ini dengan ilmu.  Mereka adalah beberapa orang diantara banyaknya sosok yang menginspirasiku.

1.      Pak Iyan, Guru Kami Semua

Pak Iyan, begitulah beliau disapa. Kini beliau menjabat sebagai Kepala Sekolah SDN 3 Lebaksitu setelah sebelumnya adalah kepala sekolah SDN 1 Lebaksitu, dua dari tiga sekolah yang ada di desa ini.  Saya bangga mengenal beliau,  Pak Iyan lah yang pada awalnya mengajar di desa ini, guru  yang dulunya menempuh perjalanan hingga 4 jam berjalan kaki untuk sampai didesa ini, berangkat dini hari membawa obor, menyusuri jalan setapak nan menanjak. Pak Iyan tak hanya menerangi anak-anak desa ini dengan ilmu, namun secara nyata menerangi desa ini, membawa perubahan pada Desa Lebaksitu. Pak iyan memprakarsai masuknya listrik dan pembuatan jalan di desa ini. Ia pula yang telah berjuang sekuat tenaga, agar anak-anak di Kampung Lebaksampay dapat bersekolah, dengan menginisiasi berdirinya SD di kampung tersebut. Awalnya anak-anak di kampung lebaksampay sangat jarang bersekolah, karena kendala jarak sekolah dan minimnya fasilitas, namun kini semua tampak berbeda. Sekolah yang dulunya hanya beratapkan tenda, kini telah memiliki bangunan permanen dan anak-anaknya telah mampu bersekolah hingga perguruan tinggi. Tak hanya itu, saat ini di rumah beliau telah berdiri sebuah Taman Baca Masyarakat dan PAUD Belia. Beliau sangat bersahaja dan di usianya yang semakin senja, Pak Iyan masih mengabdikan dirinya, sebagai seorang guru bagi kami semua.

2.      Pak Maman dan Marmah, Jadi Guru Itu Panggilan Jiwa

Pada malam itu, ketika saya, fandy Ahmad dan Devita mengunjugi rumah beliau. Berikut ini penggalan tulisan Fandy (Wajah Yang Kami Pandangi Lekat-Lekat) yang coba menggambarkan sosok  beliau,

......Kami merasakan getar luhur hatinya. Guru yang mengajar (hanya) berdua dengan istrinya hampir sepuluh tahun. Mengajar 6 kelas tentunya. Ketika guru lain panggilan hatinya mulai padam, Pak Maman dan istrinya dengan senyum ikhlas meleburkan panggilan mutiara-mutiara Lebak di Kampung Lebak Sampay ke dalam dirinyaMelampaui ombak yang melebur di karang tanpa harus lenyap. Beliau pernah mendapat penghargaan dari President NKRI. Namun, itu hanya ujian bagi dirinya.....

 Pak Maman dengan tulus berbagi kisah itu pada kami. Tak ada nada kesombongan dari perkataannya, bahkan tak pernah kami mendengarkannya mengeluh. Ia yang dulunya bekerja di sebuah pabrik, merasa terpanggil menjadi guru, karena di sekolah itu tak ada yang mengajar. Begitu pula dengan istrinya, bu Marmah, yang sebenarnya adalah seorang guru SMA, namun tak cukup mampu membiarkan suaminya mengajar 6 kelas seorang diri, ia pun meninggalkan pekerjaannya dan menjadi guru bantu di SDN 3 Lebaksampay.

Pak maman dan istrinya hingga kini masih berada di sini, di desa ini. Mereka tak henti-hentinya mengajarkan ku tentang pentingnya bekerja dengan hati. Sambil tersenyum beliau berkata, “Pak Agung pasti betah disini, karena menjadi guru itu, bukan hanya sebuah pekerjaan, tapi panggilan jiwa, layaknya makanan bagi hatimu. Nantinya akan banyak kebahagian yang kamu peroleh. Bekerjalah dengan hatimu.”

3.      Pak Arsyad, Semua Aanak Adalah Juara Di Tangannya

Pak Arsyad adalah guru di sekolah tempatku mengajar. Ialah orang yang paling berjasa mempersiapkan anak-anak di sekolah ku untuk mengikuti berbagai Lomba, khususnya yang terkait Pramuka. Sudah menjadi langganan bagi sekolahku tuk meraih Juara berbagai lomba Kepramukaan. Pak Arsyad pula yang biasanya mempersiapakan berbagai acara sekolah, yang pastinya tetap dibantu guru lain.

Semua prestasi yang dituai dari kerja kerasnya itu tak pernah membuatnya lantas bangga dan puas. Bahkan acapkali kerja kerasnya tak dihargai oleh pimpinannya. Tak jarang ia harus mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk latihan ataupun biaya lomba. Namun baginya semua hal itu tak penting, karena bagi Pak Arsyad kemenangan yang diperoleh anak-anak muridnya adalah kebahagiaan terbesar untuknya. Ditangannya semua anak adalah Juara. Terima kasih Pak Arsyad, semoga bapak tak akan bosan mendengarku bertanya setiap saat.

Begitu banyak orang hebat ditempat ini, banyak hal luar biasa yang mereka bagi kepada orang lain. Mereka bekerja dengan hati, penghargaan orang lain hanyalah efek sampingg dari kerja kerasnya. Yang kubutuhkan saat ini adalah buka mata, mendengarkan dan belajar sebanyak-banyaknya. Karena Guruku Ada Di Puncak Gunung ini


Cerita Lainnya

Lihat Semua