SEBUAH INSPIRASI DARI UJUNG NEGERI

Junarih Jun 3 Februari 2011
Minggu ketiga di desa Sawang Akar. Sekolah tempat saya ngajar sederhana, sangat sederhana, dan sekali lagi saya bilang, saya suka menjadi sederhana. Hanya ada lima ruang kelas, satu ruang guru sekaligus ruang kepala sekolah, perpustakaan, dan laboratorium. Sekolah ini juga dilengkapi dengan 1 WC siswa dan 2 WC guru. Tidak ada kantin, mushola, ruang audio-visual, lapangan olahraga yang layak, bahkan bendera merah putih yang ada sudah sangat tua, warna merahnya sudah pudar menjadi warna orange namun dengan sangat setia dan hati-hati setiap pagi bendera itu dinaikkan siswa-siswi dengan upacara seadanya dan diturunkan di sore hari meski tanpa upacara. Minggu ini juga saya membongkar perpustakaan. Ada banyak buku, hampir semuanya buku-buku berkualitas, kecuali buku-buku paket pelajaran yang jadi pegangan siswa dan guru. Buku-buku paket pelajaran yang ada rata-rata terbitan tahun-tahun ketika KBK dan kurikulum sebelumnya berlaku. Tapi tidak apa-apa, saya sangat senang dengan kesederhanan-kesederhanaan ini. Meski sudah tiga minggu di Sawang Akar tapi baru minggu ini saya mulai ngajar, dua minggu yang lalu sekolah diliburkan karena Iedul adha dan saya sendiri pergi ke Labuha, koordinasi dengan tim HES yang kini telah berubah nama menjadi HOS. Di minggu ini, berdasarkan diskusi dan persetujuan dari kepala sekolah, saya menjadi guru kelas 5 untuk semua pelajaran namun pada faktanya tidak hanya kelas 5 saja yang harus saya ajar, ketidaksesuaian antara jumlah guru aktif dan rombongan belajar akhirnya memaksa saya turun mengajar dikelas 4dan 6, juga kadang kelas 3. Tapi tidak apa –apa, saya mengerti, sekolah ini memang sekolah yang sangat sederhana, dibangun diatas pulau terpencil dengan akses terhadap listrik, sinyal, dan keramaian yang sangat terbatas, sangat wajar dan manusiawi kalau pada akhirnya hanya sedikit guru yang berkomitmen mengabdikan hidupnya di desa ini. Salah satu guru dari sedikit yang memiliki komitmen kuat itu ada di sekolah ini. Namanya Ibu Rusdiyah Mukhtar. Usianya kini mendekati 50 tahun. Beliau sudah 20 tahun tinggal didesa ini dan mengabdi menjadi guru kelas 1 yang juga mengajar kelas 2 sekaligus, tidak pernah berubah semenjak pertama kali ngajar. Beliau bukan penduduk asli dan bukan pula berasal dari suku makian. Beliau datang dari Gane Timur, salah satu wilayah yang ada di kepulauan Halmahera. Beliau selalu datang tepat waktu dalam mengajar dan tak pernah absen untuk alasan yang tidak jelas meski jika harus ke Labuha beliau selalu datang lebih dulu ke sekolah mengajar barang beberapa jam kemudian barulah Ia pergi ke Labuha dengan boat penumpang yang setelah sehari sebelumnya ia minta untuk menunggu. Menurut cerita komite sekolah dan pak Mus, Ibu Rus pernah ditawari menjadi kepala sekolah SD ini, tapi beliau menolak jabatan yang diidam-idamkan banyak guru disini. Alasannya sangat sederhana, Ia tak mau sering-sering pergi ke Labuha mengurus berbagai administrasi sekolah dan mninggalkan kelas yang penuh dengan anak-anak yang dicintainya. Sekali waktu juga ibu Rus pernah dipindahtugaskan ke SD dikampung lain yang mungkin lebih nyaman, tapi Ia, kepala sekolah, dan kepala desa langsung bertolak ke Labuha untuk mengajukan keberatan ke Dinas Pendidikan. Saya merasa sangat beruntung mengenalnnya. Saya yakin akan selalu ada inspirasi dan semangat yang Ia tularkan sama saya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua