KINI AKU SEORANG GURU

Junarih Jun 3 Februari 2011
Masih dminggu ke tiga di desa Sawang Akar. Bagi sekolah yang amat sangat sederhana seperti sekolah tempat saya mengajar, mungkin alam adalah laboratorium terbesar, terlengkap, dan terbaik buat belajar para siswa. Ya, itulah ide yang mengawali gagasan “Belajar dari Alam” yang saya agendakan minggu ini. Setelah melalui hari-hari “biasa” dari senin sampai kamis, di jumat pagi, saya ajak siswa-siswi diskusi tentang rencana “Belajar dari alam” yang akan dikerjakan besoknya  sembari mengajari mereka tentang demokrasi, musyawarah, dan cara-cara pengambilan keputusan. Di awal diskusi saya memaparkan rencana saya ke semua siswa, saya menjelaskan bahwa kita akan jalan-jalan masuk hutan sambil belajar mengidentifikasi dan mengelompokkan tanaman berdasarkan bentuk akar, batang dan daun. Saya yakinkan mereka bahwa pelajaran kali ini akan sedikit banyak mengandung resiko karena saya sendiri tidak tau jalan masuk dan keluar hutan. Yang saya tau hanya ujung jalan masuk dan ujung jalan keluarnya saja. Tapi rupanya, meski ada resiko yang menurut saya cukup berat, anak-anak malah sangat antusias menyambut rencana ini. Saya merasa sedang bertaruh, tapi apa boleh buat anak-anak merasa yakin kalau mereka hafal jalan masuk dan keluar hutan karena hampir setiap hari selepas sekolah mereka ikut berkebun dan kebun-kebun mereka memang harus melalui jalan-jalan di hutan. Dari hasil diskusi itulah akhirnya ditentukan yang mengepalai rombongan adalah Fahri dan Sanusi, dua orang siswa kelas 6. ***** Esok hari, sabtu, sesuai rencana semua murid kelas 5 dan 6 berkumpul di sekolah jam 07.00 WIT, setengah jam lebih awal. Setelah memastikan semua murid telah berkumpul dan semua perlengkapan telah siap, kami berangkat masuk hutan melalui jalan tembus di belakang sekolah. Cuaca cukup terang dengan sinar matahari yang sangat hangat pagi itu. Semua siswa dengan sangat riang menyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung selama perjalanan. Beberapa ratus meter, setelah sekolah sudah tidak tampak kami semua berhenti, kami menemukan pohon manggis yang tumbuh liar, tapi sayang buahnya masih kecil-kecil dan tidak ada yang matang. Beberapa siswa yang tergabung dalam kelompok pencatat mencatat pohon temuannya, siswa-siswa lain yang tergolong dalam kelompok pemetik daun dan pengumpul biji pun melakukannya dengan sangat semangat. Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan. Semakin masuk kedalam hutan semakin terasa dingin dan gelap. Sinar matahari tampak tak cukup mampu menembus rimbunan daun-daun yang tumbuh lebat dari pohon-pohon besar di dalam hutan. Setelah berjalan lagi selama kurang lebih satu jam, kami singgah di gubuk tempat orang melakukan bahalo, pembuatan tepung sagu, yang saat itu sedang tidak dijaga pemiliknya. Di tempat ini saya melepas lelah sementara siswa-siswa melakukan observasi disekitar tempat itu. Seorang siswa tiba-tiba teriak, “Pak guru, ada pohon kakao.” Lantas dari gubuk itu saya membalas teriakannya,”ngana ambil sudah buah dan batangnya, sedikit saja.” Yang diteriaki langsung dengan semangat memanjat pohon dan memetik buahnya. Yang lain tiba-tiba teriak lagi, ”Pak guru ada nanas botol,” kali ini saya tak membalas teriakannya, saya mendatanginya, saya penasaran karena baru kali ini saya dengar ada nanas botol. Selang setengah jam kemudian saya minta semua anak berkumpul mengelilingi saya dan membahas satu-satu temuannya. Semua menyerahkan batang dan daun tapi buah dan bijinya tidak. Aneh memang, saya pikir bukannya mereka tadi meneriakkan pohon-pohon yang saya tau persis punya batang, daun, dan buah tapi kenapa yang kumpul cuma batang dan daunnya saja. “Buahnya mana?” “Sudah dimakan, pak guru” Saya hanya tersenyum dan meminta mereka memetiknya lagi dan setelah biji-biji itu dibahas pelajaran berakhir. **** Senin pagi di sekolah. “pak Jun ini punya anti-anti atau jampi-jampi katarada?” Saya betul-betul tidak mengerti pertanyaan bapak kepala sekolah yang dilontarkan tiba-tiba. “Maksud bapak?” “Pak Jun ini berani masuk hutan, padahal orang baru, barangkali pak Jun punya mantra-mantra begitu?” Saya cuma nyengir dan menggeleng, “Tarada pak” “Pak Jun so tau Ainun sakit?” “Sakit apa Pak?” “Katanya karena bertemu moro di hutan kemarin saat pak Jun ajak jalan-jalan siswa.” “Moro itu apa?” “Hantu hutan.” Oh... God, pantes anak-anak tiba-tiba serentak berhenti saat harus melewati pohon beringin besar dan tak mau melanjutkan perjalanan padahal sudah tidak mungkin lagi putar balik dan mau tidak mau harus melewati itu. Mereka bilang ada Suwanggi, mungkin itulah yag dilihat Ainun. Mungkin itu juga yang dimaksud seorang ibu yang memberi peringatan sesaat sebelum kami berangkat. “pak Jun hati-hati, biasanya orang baru di sini dicoba sama moro.” Tiba-tiba Bu Rusdiyah muncul di depan pintu kantor. “Iya Bu” Kemudian obrolan terus mengalir seputar Ainun. Ainun dibawa ke Labuha. Di sana Ia dirawat orang tuannya dan diobati “obat kampung”, sebutan obat tradisional yang diramu oleh orang-orang pintar. Saya bukan tidak percaya dengan hantu, setan, moro, atau sejenisnya tapi selalu saja hal itu saya kesampingkan ketika harus berfikir dan membuat keputusan. Bagi saya pelajaran berharga ketika saya tidak jadi ketemu hantu pocong saat kelas dua SMP setidaknya membuat saya lebih logis, meski tidak lebih berani.

Cerita Lainnya

Lihat Semua