BERANI COBA?

Junarih Jun 3 Februari 2011
Barang kali ada baiknya nanti pengajar muda pengganti saya ditraining dalam kondisi betul-betul tak ada listrik, tak ada sinyal, dan dimasukkan ke dalam kamar yang banyak nyamuk, lingkungan sekitar yang banyak ular dan tidur di atas kasur yang keras. Barangkali itu berlebihan, tapi paling tidak kondisi itulah yang saya alami di sini. Saya ingat, di minggu pertama saya tinggal, kaki saya bengkak, beberapa koreng di kaki muncul karena gigitan nyamuk, bahkan bernanah hingga rukuk dan duduk tasyahud waktu sholat benar-benar sulit dilakukan, dua hari saya juga pernah demam karena infeksi koreng-koreng itu. Saya pikir koreng ini akan sembuh kalau dibersihkan dan diobati antiseptik tapi sampai dua minggu ternyata tak kunjung membaik hingga terpaksa saya bawa ke puskesmas di kota kecamatan.Saat  di puskesmas saya dapat info dari kepala seksi penanganan TBC kalau di desa saya banyak pengidap TBC aktif tetapi sudah berhenti terapi padahal belum sembuh total, saya diminta untuk hati-hati dan kalau bisa divaksin TBC. Kemudian urusan sinyal dan listrik. Listrik masih jadi barang mewah yang tidak semua orang mampu menikmatinya, termasuk keluarga tempat saya tinggal saat ini. Setiap malam, aktivitas saya di rumah nyaris tanpa cahaya kecuali senter dan pelita, terutama sebulan terakhir ini, dan kalau misalnya saya ingin charge Hp atau laptop, saya harus berkeliling kampung dan cari rumah mana yang generatornya dinyalakan. Ini betulan terjadi, dan biasanya setiap malam tak lebih dari lima rumah dari satu kampung yang menyalakan generatornya. Untuk sinyal, beruntung sejak lima bulan yang lalu, sinyal sudah tembus sampai desa Sawang Akar tapi jangan dibayangkan kita bisa menikmatinya disetiap sudut desa. Hanya ada satu sudut desa yang ada sinyal dan dari sudut itupun hanya dua titik yang HP bisa tangkap sinyal,pertama dipinggir laut dibawah pohon kelapa, kedua di bawah pohon cengkeh di atas bukit ditengah hutan, meski cuma 1/2  bar. Kalau cuaca sedang buruk bisa tidak dapat sinyal sama sekali. Jam telponpun terbatas karena kalau malam, saya bisa pastikan tidak ada yang berani kesana buat telepon, meski penduduk asli Sawang Akar, sudut desa yang saya maksud itu betul-betul sudut desa yang terpisah dengan pemukiman penduduk. Dalam sebulan terakhir ini, setidaknya dua kali sudah bapa piara berjibaku dengan ular sepanjang satu depa orang dewasa yang nyaris menelan bulat-bulat induk ayam miliknya di belakang rumah. Dalam sebulan terakhir ini juga, hujan sering turun, agas, serangga ukuran sebutir pasir kira-kira, terbang berkeliaran dimana-mana. Saya yang merasa sudah aman dengan nyamuk karena kini kamar saya pakai kelambu harus pula memakai losion anti nyamuk yang tak banyak berpengaruh sebenarnya karena agas mampu menerobos masuk ke dalam pakaian dan menggigit bagian yang tidak berlosion. Tak aneh kalau tangan dan kaki saya sekarang banyak bercak gigitan nyamuk dan agas. Kemudian tantangan yang lain, Sawang Akar dikalangan penduduk Halmahera Selatan sendiri terkenal panas dan gersang. Saya pernah ditanya teman saya,”Seberapa gosong kamu sekarang?” Saya hanya bisa jawab, “Kalau orang negro kulit hitam itu skala sepuluh saya kira-kira 7,5 atau 8.” Selain itu, tidak adanya transportasi umum sangat menguji kesabaran saya. Saya tidak bisa serta merta memutuskan mau ngabring ke kota tanpa membuat deal dengan salah seorang pemilik perahu di hari sebelumnya dan kalau beruntung saya bisa dapat tumpangan, setengah beruntung saya harus ganti bensin 2 liter untuk ke kota kecamatan dan 5 liter untuk ke kota kabupaten, satu liter bensin seharga delapan ribu rupiah, dan kalau kurang beruntung tidak dapat sama sekali. Jadi, siapapun pengajar muda yang jadi pengganti saya, bersiap-siaplah menjalani tantangan yang bisa jadi cerita seumur hidup sampai anak cucu ini. Berani coba?

Cerita Lainnya

Lihat Semua