PEKAN HOROR?

Junarih Jun 3 Februari 2011
Minggu kelima di Sawang Akar. Pekan ini ujian semester ganjil dimulai sejak hari senin tanggal 13 Desember 2010. Dulu waktu saya masih SD, pekan ujian memang jadi pekan paling horor, dan saya sangat tidak suka. Orang tua saya pasti jadi sangat bawel, guru-gurupun pasti semakin berbusa-busa menyuruh saya dan murid-murid yang lain mengurangi waktu bermain dan memperpanjang waktu belajar. Walhasil, pekan ujian adalah pekan yang bikin saya kurang tidur dan kurang main. Ibu atau bapak saya selalu membangunkan saya lebih pagi, alasannya sederhana, belajar di pagi hari lebih cepat paham karena udara masih segar. Mungkin iya ada benarnya. Tapi apakah pekan ujian di SD ini sehoror itu? Rasanya sih tidak. Berbusa-busa saya bilang agar murid-murid saya itu memperbanyak waktu belajar dan mengurangi waktu bermain tapi tetap saja mereka tidak menggubris bawelan saya itu. Mungkin karena saya masih baru dan belum betul-betul diterima sama mereka jadi mereka masih sedikit acuh, atau mungkin juga karena saya kualat karena dulu waktu saya SD sering tidak menggubris perintah-perintah guru? Entahlah, yang jelas menghadapi mereka rasanya menghadapi diri saya sendiri waktu SD dan diam-diam dalam hati sayapun setuju kalau mereka masih memperpanjang waktu bermain karena sayapun akan demikian kalau masih seumur mereka. Tapi tidak apa-apa, satu hari dalam sepekan ini, akhirnya sempat juga murid-murid saya itu merasakan ketegangan dan horor yang ditebar kepala sekolah. Saya sendiri sebenarnya lupa tepatnya hari apa, tapi pagi itu, seperti biasanya, saya, Ibu Rus, dan kepala sekolah mengawas di kelas masing-masing, dua guru honor yang lain masih izin seperti minggu lalu. Saya mengawas di kelas 3 dan 5, Ibu Rus mengawas di kelas 1 dan 2, dan kepala sekolah mengawas di kelas 4 dan 6. Suasana hening dan semua siswa khusyuk dalam persemediaannya meminta wangsit sebisanya menjawab soal-soal yang diujikan. Waktu seolah berjalan sangat lambat namun perlahan ia menjebak siswa dengan tiba-tiba suara bel waktu ujian habis. Tidak ada kekhawatiran yang tersirat di wajah murid-murid saya itu meski saya tau mereka menjawab sekenanya karena waktu tiba-tiba habis. Tiga puluh menit kemudian ujian mata pelajaran kedua dimulai. Semua berjalan dengan lancar, aman dan terkendali. Pesertapun kembali khusyuk dengan persoalannya. Tapi tak lama kemudian, saat semua hening, tiba-tiba kepala sekolah masuk ke kelas 4 dengan muka merengut, masam, serupa kalau Ia pusing membayar gaji guru karena dana BOS terlambat cair. Sedetik kemudian Ia marah, suaranya lantang dan saya yang di kelas sebelah mendengar persis apa yang  ia bilang. Bagi saya kata-katanya itu sangat kasar tapi ya sudahlah namanya juga orang sedang marah. Yang saya tau anak-anak hanya diam dan saya yakin mereka jadi kehilangan konsentrasi karena horornya wajah kepala sekolah. Dari kelas sebelah kemudian saya datang ke kelas empat mencoba menginterupsi marahnya pak kepala sekolah dengan pura-pura tanya ada masalah apa. Masih dengan suara yang lantang kepala sekolah bilang,”Anak-anak ini bodoh, tidak bisa membedakan angka romawi 4 dan 6” “Mungkin mereka betul tara tau, pak” saya coba menenangkan kepala sekolah dan membela murid-murid saya. “Iya, tapi soalnya ini jadi terbalik, mereka mengerjakan soal kelas 6 dan anak-anak kelas 6 mengerjakan soal kelas 4” Saya cuma ngikik dan nggrundel dalam hati saja. “Oaalaaaaaaaaah..... ngono toh masalahnya, lah kenapa pak Kepala sekolah juga tidak hati-hati membagi soal itu ke mereka, ini siih bukan salah siswa pak.”

Cerita Lainnya

Lihat Semua