NGEBLOG LAGI

Junarih Jun 31 Juli 2011
Sudah kira-kira 3 minggu dari pertama kali saya datang dari cuti liburan semester 2. Ada banyak yang baru sejak pertama kali datang. Rumah tinggal yang baru, suasana hari-hari yang baru dan kabar-kabar baru dari anak-anak saya yang sekarang sudah SMP. Baiklah kita mulai dari rumah tinggal yang baru. Mungkin kawan-kawan sudah pernah baca di tulisan-tulisan saya yang dulu bahwa saya sedang bikin rumah. Kalau lupa atau belum pernah baca baiklah saya ceritakan lagi. Pertama kali saya datang ke desa Sawang akar, saya cukup kaget dengan jumlah guru yang tak sebanding dengan jumlah rombongan belajar. Awal-awal saya kira, saya akan ditugaskan didaerah yang memang tidak ada gurunya tapi cuma kurang satu atau dua tapi ternyata ga tanggung-tanggung saya dapat SD yang jumlah sangat sedikit dibanding jumlah rombongan belajarnya. Jumlah guru di SD saya cuma dua itupun satunya merangkap jadi kepala sekolah. Hari-hari sebelum saya datang, guru yang bukan kepala sekolah namanya, bu Rusdiyah, sering mengajar sendiri, kepala sekolah hanya datang 2 sampai 3 kali seminggu itupun seringnya tidak ikut mengajar. Saya heran, ga habis pikir kenapa, kepala sekolah ini ko tega-teganya ga ikut ngajar padahal jelas-jelas guru yang ngajar cuma satu, ibu Rusdiyah itu. Tapi baiklah, daripada saya berasumsi yang tidak-tidak sekalian saya tanyakan saja ke kepala sekolah. Saya merasa alasannya sangat logis. Barangkali jika saya jadi kepala sekolah sayapun akan melakukan hal yang sama kecuali saya memiliki komitmen yang kuat menjalankan tugas saya sebagai kepala sekolah. Kepala sekolah bilang, beliau bukan penduduk desa Sawang akar, rumahnya dikampung sebelah, sekitar 20 menit perjalanan dengan perahu ketinting, menghabiskan 1 sampe 2 liter bensin untuk pulang pergi. 1 liter bensin harganya Rp. 10.000. Jika dihitung perbulan maka biayanya bisa sampai 250 ribu – 500 ribu. Angka ini menurut saya juga terlalu besar mengingat gaji kepala sekolah dengan golongan 2 D hanya sekitar 1,5 juta. Belum lagi dirumahnya, beliau harus menghidupi 3 orang anak dan 1 istri, mendahulukan komitmen kerja atau menghemat bensin akan jadi pilihan yang sulit. Saya lantas berfikir, jangan-jangan kurangnya guru disini bukan karena tidak ada guru yang dikirim bertugas ke sini, selain mungkin karena komitmen guru yang rendah, kondisi ini diperparah dengan tidak adanya rumah tinggal bagi guru di desa ini, belum lagi fasilitas listrik, sinyal dan kesehatan yang tidak memadai, akan jadi alasan penguat bagi mereka untuk pulang lagi ke kota. Baiklah, akhirnya saya putuskan saya akan membuat rumah guru dengan bantuan masyarakat. Saya sendiri tidak yakin solusi ini akan menjawab masalah kekurangan guru di SD ini,tapi paling tidak ketika rumah guru sudah ada dan saya bisa mengadvokasi SD ini sampai level kabupaten untuk dikirim lagi guru tambahan maka tahap selanjutnya adalah membuat guru-guru ini komitmen dengan tugasnya karena alasan tidak ada rumah tinggal bukan lagi jadi alasan. Dan akhirnya setelah tujuh bulan, rumah itu jadi, rumah dengan perabotan standard, saya pikir sangat layak untuk tempat tinggal seorang guru atau sepasang guru suami-istri dengan anak-anaknya. Rumah ini berdiri di atas laut dengan sekitar 40 tiang yang menopangnya. Berada tepat didepan sekolah tentu jadi keuntungan yang lain. Ukurannya kira-kira 6 x 12 meter terbagi atas teras depan,  2 kamar dengan luas masing-masing 2,5 m x 3 m, ruang tamu yang menyambung dengan ruang tengah, ruang belakang dan dapur, teras belakang dan kamar mandi. Ruang tamu dan ruang tengah sengaja tidak dibikin sekat karena ruang ini juga akan berfungsi sebagai perpustakaan, laboratorium ipa, dan tempat anak-anak tidur jika mereka menginap. Sementara ruang belakang selain berfungsi sebagi ruang makan yang nyambung dengan dapur, sebagian spacenya digunakan untuk ruang kelas. Anak-anak sangat senang belajar disini, selain karena boleh belajar sambil minta minum dan duduk santai di lantai yang dilapis karpet. Ruang belakang ini langsung menghadap laut sehingga mudah bagi mereka melihat pemandangan kalau kelas mulai membosankan. Ini juga jadi tanda bagi saya kalau anak-anak butuh ganti suasana belajar. Sejak tiga minggu yang lalu, disinilah saya tinggal, dengan anak-anak tentunya. Jika siang mereka pulang ke rumah masing-masing namun sore menjelang maghrib mereka akan datang dan belajar baca quran sampai lepas isya. Setelah itu saya bebaskan. Ada yang baca buku, ada yang main puzzle, ada yang tanya PR dan ada juga yang minta makan. Seringnya kalau masih ada makanan saya kasih mereka tapi kalau sudah tidak ada saya dan anak-anak menggoreng kue rangginang yang saya bawa dari liburan pulang kemarin atau kita rebus mi instan sama-sama. Hari minggu kemarin kita sempat bikin acara masak-masak. Saya meminta masing-masing anak membawa beras satu cupa, sekitar seperempat liter. Kemudian saya meminta anak-anak perempuan menanak nasi sementara saya dan anak laki-laki pergi masuk hutan bakau untuk mencari biya, semacam kerang dengan cangkang yang cukup tebal. Saya dan para murid laki-laki terpaksa bermandi lumpur karena biya tinggal di dalam lumpur sebatas lutut bahkan tak jarang kaki kami harus terperosok kedalam lumpur sampai ke atas paha. Sekitar setengah karung ukuran 25 kg, Biya berhasil kita kumpulkan, setelah berkubang sekitar 2 jam dan setelah itu kita masak sama-sama biyanya. Setelah semua masak, tak lupa berdoa lebih dahulu, kemudian kami memakan dengan lahap hasil perburuan kami. Minggu yang benar-benar seru. Dulu saya terbiasa melakukan ini dengan teman-teman SD saya. Hal paling asik dari kumpul-kumpul kami adalah ketika malam menjelang anak-anak tidur. Di ruang tengah mereka tidur berdesak-desak. Entah kenapa yang jelas ruangan begitu luas dan masih banyak space yang bisa digunakan. Tentu saja yang menginap ini laki-laki. Menjelang malam yang makin larut, ketika mereka mulai ngantuk setelah bermain puzzle atau membaca dan mengerjakan PR, saatnyalah saya bercerita panjang lebar tentang apa saja, kadang cerita tentang bagaimana waktu saya kecil seusia mereka, kadang saya bacakan sebuah dongeng, atau sekedar saya minta mereka cerita apa yang sudah dilakukan hari itu. Saya ingat betul bagaimana ayah saya dulu bercerita tentang pahlawan-pahlawan dalam legenda mahabarata, atau dongeng-dongeng tentang sibaik dan sijahat, atau kadang sayalah yang disuruh cerita. Begitupula saya memperlakukan mereka. Saya jadi terharu, ada semacam perasaan yang tumbuh, barangkali beginilah harapan-harapan yang bermunculan di hati ayah ketika ayah bercerita atau mendongeng, berharap anaknya jadi orang baik, sama seperti harapan saya kepada anak-anak yang mulai terlelap ini. Di pagi hari mereka bangun, karena rumahnya di atas laut, dingin menyergap menggigit tulang. Saya tidak tega membangunkan mereka. Lepas saya sholat subuh, biasanya saya tilawah, berharap suara saya yang sember membangunkan mereka, namun rupanya mereka masih larut dalam mimpi masing-masing. Kadang, saya suka memandangi mereka tidur. Saya suka tanya sama diri sendiri apa yang anak-anak ini pikirkan, barangkali hanya kesenangan-kesenangan dan hal-hal lucu saja yang ada dibenak mereka. Saya jadi berharap mereka tak pernah tumbuh, tak pernah jadi dewasa, tetaplah jadi anak-anak, karena dunia ini sangat indah dan menyenangkan ketika masih anak-anak. Tapi tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin. Saya jadi berdoa lagi,”Ya Allah, jadikan anak-anak ini manusia yang baik ketika dewasa kelak, manusia yang patuh sama agamanya, berguna untuk bangsanya, dan berbakti sama orang tuanya, amin”. Matahari mulai meninggi dan terpaksa ku bangunkan mereka dengan cara pak Syahid, “memencet jempol mereka satu-satu”.

Cerita Lainnya

Lihat Semua