NAMANYA NURLAINI

Junarih Jun 13 Februari 2011
Namanya Nurlaini. Dia salah satu murid kelas 6. Saya tidak bisa bilang kalau dia jenius tapi juga tidak bisa terima kalau ada yang bilang dia bodoh. Nurlaini adalah murid biasa, sama seperti murid-murid yang lain. Lantas kenapa kali ini saya menulis tentang dia? Entahlah, bagi saya perubahannya dalam waktu 3 bulan terakhir ini sangat menarik. Tiga bulan yang lalu, saat minggu-minggu pertama ngajar, saya coba menebak bahwa sosok berbadan paling besar sekelas enam ini pasti tipe pemberontak, tukang ngeyel, banyak cakap, suka meremehkan, dan sulit sekali diatur. Tebakan saya tidak seratus persen benar. Ternyata Nurlaini lebih pemberontak dari yang saya duga, lebih ngeyel dari yang saya kira, dan lebih sulit diatur dari yang saya sangka diawal. Tapi itu semua dia lakukan hanya ke teman-temannya. Bagaimana perilakunya ke saya? Dia hanya berani berdecak meremehkan dan sulit sekali patuh mengikuti alur belajar yang sudah saya set seinteraktif mungkin. Tidak pernah sebelumnya saya menghadapi tipe seperti ini. Setiap kali pelajaran dimulai dan saya sampaikan apa yang akan dipelajari hari itu, selalu saja responnya,”Haiyahhhhhhhhhh...” dengan suara pelan yang keluar dari tenggorokan disertai decak meremehkan. Pose tubuhnya langsung mengendur dan menyandar malas-malasan di kursinya, tidak mencatat apa lagi mendengarkan, ia sibuk ngajak ngobrol teman sebelahnya. Tapi tidak apa, mungkin inilah rasanya menjadi guru. Saya hanya bisa sabar dan berusaha memperbaiki alur belajar di kelas agar setidaknya mewakili gaya belajar banyak siswa meski tidak semua dan Nurlaini masih saja seperti itu. Suatu pagi memasuki bulan ke dua saya mengajar, seperti biasa ketika saya memberikan awalan dan menyampaikan apa yang akan dipelajari hari itu, Nurlaini mengeluarkan ‘haiyaaaahhnya’ lagi. Saya berhenti sejenak dari tindakan apersepsi yang sedang saya lakukan. Saya terpaksa memberikan pilihan. “Baik anak-anak, Bapak kira, ada beberapa anak yang tidak mau belajar hari ini, jadi bagi yang tidak mau belajar, boleh keluar kelas” dengan nada bicara yang datar dan tanpa ekspresi marah karena memang saya sedang tidak memarahi mereka. Sengaja saya gunakan kata “beberapa” untuk memperhalus teguran agar tidak langsung menohok Nurlaini. Anak-anak diam. Dan tetap dengan suara datar saya memberikan pilihan itu berkali-kali tapi tetap tidak ada yang bergerak meninggalkan kelas. “Kenapa tidak ada yang keluar? Bapak tidak akan marah kalaupun ada yang keluar kelas, silahkan, ada yang mau?” Saya memberikan jeda dan membebaskan mereka berfikir menentukan pilihan. “Anak-anak, dengarkan Bapak baik-baik, sekolah itu pilihan, kalian boleh sekolah, juga boleh tidak sekolah, tapi jangan salahkan Bapak kalau suatu saat yang sekolah jadi orang sukses dan yang tidak sekolah jadi orang bodoh.” “Bapak mau tanya, di sini ada orang tuanya yang tanam cengkeh? Berapa harga cengkeh satu cupa?” cupa adalah takaran sekira seperempat liter. “Dua ribu lima ratus” jawab beberapa anak. “Ngana tau berapa harga cengkeh sebenarnya?” Tanya saya. “Sangat mahal, cengkeh itu mahal sekali tidak seperti disini, makanya dulu Portugis dan Spanyol datang menjajah ngana semua dan ingin merebut cengkeh ngana” Saya jawab sendiri demikian karena saya juga tidak tau harga cengkeh sebenarnya berapa. Sotoy banget memang, sok-sok bijaksana. “Nah, kalau ngana jadi orang pinter, ngana bisa jual langsung cengkeh itu ke kota besar atau ke luar negeri sekalian dan ngana bisa jadi orang sukses, bisa jadi orang kaya, mau jadi orang kaya?.” “Mauuuuuuuuu.....” anak-anak itu serentak menjawab Mungkin tak sepenuhnya benar apa yang saya bilang ke anak-anak itu karena tak selalu orang sukses berarti orang kaya atau orang kaya berarti orang sukses. Tak selalu begitu, tapi yang saya pahami cara berfikir anak-anak sangat sederhana, mereka butuh ukuran – ukuran ril, bukan sesuatu yang abstrak seperti kebanyakan ukuran para bijak bestari. “Baik, kalau ngana mau jadi orang sukses, ngana mesti jadi orang pinter, dan kalau ngana mau jadi orang pinter ngana mesti rajin sekolah. Dan sebelum Bapak mulai lagi pelajaran hari ini, Bapak tanya, ada yang mau keluar kelas?” Anak-anak tetap tak bergeming. Setelah beberapa saat barulah kemudian pelajaran dimulai dan tampaknya tidak ada perubahan sikap Nurlaini. Akhirnya setiap pagi, ketika Nurlaini mnegeluarkan ‘haiyaaaaaahnya’ lagi saya selalu memberikan pilihan, “Bagi yang tidak mau belajar boleh keluar kelas” Dan selalu tidak ada yang memilih keluar kelas. Namun, entah mengapa, setelah satu bulan sejak awal semester genap, Nurlaini mengurangi ‘haiyyyyyyaaaaaahnya’. Dia kini sangat antusias dalam belajar. ***** Hari senin, 7 Februari 2011. Hari itu saya terlambat masuk kelas. Hari minggu, saya masih ada di Bajo, kota kecamatan Botang Lomang, kapal penumpang tidak langsung ke Sawang Akar, dan pak Kepala Sekolah baru bisa antarkan saya pulang ke Sawang Akar hari senin, jadi praktis saya terlambat. Saya datang ke sekolah sekira jam sembilan, terlambat satu setengah jam. Buru-buru saya masuk kelas yang pintunya tertutup waktu itu. Saya sempat kaget dan sama sekali tidak menyangka. Seseorang yang saya duga pemberontak, tukang ngeyel, suka meremehkan, sulit sekali diatur, sekarang tengah berdiri di depan kelas. Dia sama kagetnya dengan saya, tangan kanannya masih memegang kapur, mulutnya sedikit menganga, sepertinya dia menghentikan kata-katanya saat pintu saya buka. Sedetik setelah sadar buru-buru dia menaruh kapur dan dengan malu-malu mundur ke kursi tempat duduknya. Saya masuk kelas dan mengamati papan tulis. Sepuluh soal pecahan telah terpampang di sana, beberapa diantaranya telah dikerjakan dengan baik dan satu soal belum diselesaikan sempurna. “Siapa yang mengerjakan ini?” Tanya saya ke anak-anak. “Ibu guru Laini ajarkan kami, pak” Jawab Aldi, salah seorang murid saya. Laini adalah panggilan buat Nurlaini. “Oooo...” Saya sangat senang sampai hanya kata itu yang keluar. “Baik anak-anak, ayo kita ucapkan terimakasih buat Ibu guru Laini” “Terima kasih Ibu Laini” kami semua serempak mengucapkan itu. Nurlaini malu-malu. Sejak hari itu hingga seminggu ini Ia menjadi asisten saya. Sabtu ini, ketika saya harus ke Labuha untuk vaksinasi, lebih dulu saya tawarkan ke anak-anak, siapa yang akan mengajar menggantikan saya dan tanpa saya duga dengan cepat Nurlaini mengacungkan tangan. Saya tanya, “Sabtu nanti apa yang mau ngana ajar, Laini?” Dengan sangat percaya diri Laini jawab, “Matematika, Pak” Saya bangga, saya sangat senang. Kok bisa berubah secepat ini? Entahlah saya juga tidak tau apa yang memotivasi dia. Yang jelas dengan sangat rendah hati saya bilang saya rasa bukan kerena saya Ia berubah secepat itu.

Cerita Lainnya

Lihat Semua