Kisah Puki dan Mai

Jonathan Alfrendi 8 Januari 2018
“Bosong, kenapa terlambat?” tanyaku kepada Puki. Puki tak segera menjawab. Bocah kelas 6 SDN Lokojuli itu sesekali melirik ke arah teman-temannya yang sedang mengerjakan soal Ujian Sekolah Ilmu Pengetahuan Sosial. “Kamu, kenapa terlambat?” saya bertanya kembali dengan tatapan yang agak serius. Puki kembali diam. Ia tak berani menatap wajahku. “Cari nona, pak!” terdengar celetukan dari pojok kelas memecah keheningan kelas, yang disambut tawa oleh seisi kelas. Rupanya Aldi yang memprovokasi. Puki tidak marah. Puki hanya malu-malu asu. Murid kelas 6, termasuk Aldi, paham betul dengan laku Puki sehari-hari. Di mata temannya, Puki terkenal dengan kehebatannya dalam menjaring ikan, iris pohon lontar, menyalakan petasan dari busi bekas, jago berkelahi, selain menggoda perempuan. Soal menggoda, Puki terkenal paling genit terhadap nona. Puki tak sungkan untuk bergombal, mengelus bahkan mencium nona pujaannya: Mai, yang sama-sama kelas 6. Walau sering ditolak cintanya, dan digaplok Mai karna diam-diam menciumnya, Puki tak pernah kapok. Puki selalu mendekati Mai meski Mai yang berparas manis tak suka dengannya. Mai akan marah bila teman-temannya selalu mengolok: “Ciee, Puki dan Mai...” “Ciee, PukiMai.. PukiMai.. PukiMai..” Namun pagi ini Puki telat hampir satu jam. Saat temannya sedang serius mengerjaan soal ujian, tiba-tiba Puki datang memecah keheningan kelas. Puki datang dengan seragam kusut dan tarikan nafas yang cepat, seperti habis lari. Keringat bercucuran dari wajahnya. Walau lelah, Puki pasrah kena hardik dari guru, juga olokan dari kawannya. Tapi saya tak melihat Mai mengoloknya, Mai diam-diam menatap Puki. Puki mengaku kepada saya bahwa dirinya telah bangun sedu (dini). Sebelum ke sekolah, ia harus bantu orang tuanya, seperti membersihkan halaman, timba air dari sumur dan memanjat buah lontar. Jarak dari rumahnya ke sekolah sekitar dua kilo yang mesti ditempuh dengan jalan kaki melewati bukit berbatu. Saya membatin mendengar alasannya. Saya paham dengan kondisi desa di Raijua. Murid saya terbiasa dengan kehidupan yang masih tradisional, keras dan terbatas seperti yang dilakukan Puki. Itu sebabnya, saya tak boleh menganggap semua anak itu sama. Anak tumbuh dengan potensinya dan guru berupaya untuk mengembangkannya. Saya kerap berikan porsi belajar berbeda kepada tiap anak. Bahkan sesekali saya kunjungi rumahnya untuk mengetahui pola belajarnya. Tapi ya kalau ke rumah Puki, saya pasti dikasih lontar dan sering bilang, “Puki suka dengan Mai, ko?” “Iya, pak” “Ayo, rajin belajar, rajin kerjakan tugas,” tandasku. Tapi Puki tak mau kalah. Puki juga kerap membalas omonganku. “Pak guru, beta pung kaka nona belum menikah. Untuk pak guru sa.” “Eeee, Pukimaaaaii!”, jawabku membatin.

Cerita Lainnya

Lihat Semua