Unfinished Nation

Jihan 24 September 2017

Saat itu saya duduk di tepi Sungai Martapura jam 6 sore lebih sedikit. Senja baru saja tiba dan saya tengah menikmati hangatnya matahari berganti angin malam. Taman Bekantan tidak begitu ramai, hanya sepasang pedagang gulali dan penjual tiket klotok yang suaranya nyaring terdengar.

Pandangan saya menyusuri tiang-tiang jembatan yang berkarat. Jembatan baru yang kumuh, catnya mengelupas di sana sini. Sepanjang jembatan tergantung untaian lampu yang setengahnya padam. Cahayanya yang setengah temaram terpantul di permukaan sungai yang tak beriak. Cantik, sayang tak dipelihara, batin saya.

Lalu pandangan saya beralih kepada pagar pembatas antara trotoar dan air sungai. Tingginya satu meter dengan tebal 25 centimeter. Semennya separuh kasar separuh mengilap, lengkap dengan hiasan kuncup di puncaknya. Seperti monas versi gemuk. Pagar tersebut dibiarkan setengah jadi, dengan cat tipis dan kuncup yang tak terpasang dengan benar. Ah, lagi-lagi properti yang disia-siakan.

Tiba-tiba lamunan saya dibuyarkan oleh suara cempreng seorang pengamen cilik. Ini pengamen keempat yang mendatangi saya sore ini. Saya perhatikan, pengamen kecil ini tidak kumal dan tidak lusuh, hanya tidak berirama saja. Mungkin mereka sudah belajar bahwa duit tetap datang tanpa kerja keras. Andai saja ada yang mengarahkan mereka.

Saya menghela nafas.

Kota ini belum selesai.

Tidak, negeri ini yang belum selesai.

 

Pandangan saya mengabur. Saya memejamkan mata dan mengingat pemandangan tadi. Kemudian saya mengatur nafas, menghirup udara sampai ke palung paru-paru. Begitu banyak keindahan tapi mengapa rasanya sedih?

Samar-samar tercium sisa-sisa rasa rendah diri. Mungkin karena kita dulu dijajah terlalu lama, atau mungkin karena setelah 70 tahun merdeka negeri ini masih saja minim teladan. Ada juga sisa-sisa amarah, entah kepada siapa dan untuk apa. Sisa-sisa intoleransi dan pengelompokan manusia berdasarkan tempat lahir, darah, dan harga mobil. Sisa-sisa kenekatan kita sebagai sebuah bangsa, yang berani pasang badan melawan tank dan senapan cuma berbekal bambu runcing. Sisa-sisa keserakahan paska reformasi.

Seperti jembatan, pagar, dan si pengamen cilik, negeri ini sedang merengek minta perhatian.

Saya membuka mata. Kepalan tangan saya mengeras.

Selayaknya semua hal yang pernah dimulai dengan niat baik, negeri ini pantas diselesaikan dengan nilai yang baik juga. Mungkin bisa saya mulai dengan memperbaiki lampu jembatan yang setengah terang tadi. Atau mungkin dengan mengajarkan ABCD kepada anak-anak sepantaran pengamen cilik di pinggir sungai lain.

Baca kontemplasi atau curhat-curhat gurih lainnya di www.tebumanis.com


Cerita Lainnya

Lihat Semua