Jagoan

Jihan 11 November 2017

Memasuki bulan keenam di Desa. Kata orang saya sekarang berbeda. Semakin nyata dan tembus pandang di saat yang sama. Wajar saja. Saya sekarang mulai melebur, menjadi satu dengan remah gumbili goreng dan butir jagung putih yang kerap jatuh di lantai kayu ulin. Sekaligus hanyut, mengapung di sungai bersama eceng gondok dan kantong plastik hitam. Kata mereka bau saya mulai sama, bau ikan kering yang dijemur terlalu lama.

Memasuki bulan keenam di Desa. Seharusnya saya sudah mengajar LMN, tapi sayangnya saya masih harus bergulat dengan ABC. Yah, paling tidak anak-anak sudah datang ke sekolah dengan gigi yang lebih bersih. Sesekali saya dengar mereka sudah dapat mengucap maaf dan terima kasih. Mereka memang pintar. Tetapi tetap saja, seharusnya mereka sudah paham LMN.  

Memasuki bulan keenam di Desa. Saya mulai tidak sabaran. Saya membentak ketika anak-anak tak mampu mengeja. Saya mengancam tidak naik kelas ketika mereka mogok menulis. Saya mulai lelah dengan nyaringnya tangisan Misna dan kuatnya amukan Yuda. Sangking letihnya, saya melupakan bahwa anak-anak punya memori yang luar biasa. Mereka tidak akan lupa bahwa gurunya sering mengabaikan mereka dengan sengaja.  

Memasuki bulan keenam di Desa.  Saya bertanya, apa saya sudah menjadi teladan yang baik? Orang menjawab, kamu pintar dan menyenangkan.  ... Saya terdiam, antara tidak puas dan geram.   

Memasuki bulan keenam di Desa. Aroma rutinitas bercampur dengan kabut tebal di atas sawah. Pagi itu saya menjelma menjadi angin, memasuki jendela pecah dan dinding bolong kelas, mencuri dengar obrolan renyah anak-anak. Hingga akhirnya telinga saya terpaut pada dua anak perempuan yang tengah membincangkan saya. "Ibu Jihan kan jagoan. Orangnya seru dan gak takut siapa-siapa!" anak itu tersenyum, tidak menyadari bahwa saya tengah terbang di atasnya. Dalam seketika saya menjadi angin yang berbahagia. Menari-nari di atas atap rumah dan pucuk nangka.   

Menyambut bulan ketujuh. Saya bertanya, apa saya sudah menjadi teladan yang baik? Saya menjawab, belum, perjalanan masih panjang.  

Menyambut bulan ketujuh. Saya tersedot masuk ke dalam salah satu film India favorit anak-anak. Kali ini Jagoannya bukan pria tampan, melainkan gadis kota yang takut cicak dan biawak. Di tengah segala keterbatasannya, Jagoan sedang melawan Tuan Takur, pernikahan paksa, dan polisi gendut yang tidak adil. Ya, seperti film India pada umumnya. Entah bagaimana akhir filmnya, yang penting saya tahu anak-anak tak pernah ingin Jagoan kalah. Dan itu cukup bagi saya.

 

Baca kontemplasi dan curhat-curhat gurih lainnya di tebumanis.com


Cerita Lainnya

Lihat Semua