Guru Tanpa Tanda Jasa itu “Ada” di Talang Tebat Rawas
Ja'farShodiq 8 September 2015
“ Pak Dion” begitu penduduk Talang Tebat Rawas memanggilnya. Sebenarnya nama aslinya adalah Purwansyah, namun kebiasaan masyarakat di sini lebih “lemak” (nyaman) dengan memanggil Bapak yang disambungkan dengan nama anak pertamanya. Ya... Dion adalah nama dari anak laki-laki pertama dari Purwansyah. Rumah Pak Dion terletak di samping rumah tempat tinggalku selama masa penugasan sebagai Pengajar Muda. Hampir setiap hari saya bertatap sapa dengan dia, terkadang aku bermain dan menggoda anak bungsunya yang masih kecil berumur 2 tahun.
Saya tertarik sedikit menulis profil tentang Pak Dion dikarenakan dia salah satu guru pertama yang mengajar anak-anak SDN 03 Rambang kelas jauh. SD yang berdiri sejak tahun 2003 ini dibangun oleh penduduk Talang Tebat Rawas secara bergotong Royong. Keprihatinan dari beberapa orang tua yang merasa berat melihat anak-anaknya tidak menempuh pendidikan SD karena jarak ke SD terdekat hampir 15 KM dengan kondisi jalan yang pada waktu itu bisa dibilang mirip sungai. Terkadang ketika musim kemarau tiba, sejauh mata memandang kondisi jalan tanah merah bergelombang dengan lubang menganga dimana-mana, sedang ketika musim hujan tiba, jalan itu bagaikan aliran sungai dengan genangan air yang bisa mencapai ketinggian 60 cm.
Pada awalnya, Pak Dion bercerita bahwa gedung SD ini dibangun dengan dinding berbahan anyaman bambu dan genting yang terbuat dari daun kelapa kering. Para pengajarnya pun berasal dari orang-orang yang “pokoknya” bisa menulis dan membaca. Pak Dion merasa tergerak hatinya untuk membantu mengajar anak-anak di Talang Tebat Rawas agar bisa menulis dan membaca. Bermodal sebagai “Sarjana SD” alias hanya pernah mengenyam pendidikan sampai tamat Sekolah Dasar saja, Pak Dion bersama beberapa guru lainnya yang juga paling tinggi lulusan SMP mulai mengajar dengan membuka kelas 1 dan 2.
Ada cerita menarik yang Pak Dion sampaikan ke saya ketika kami berdua berbincang-bincang di teras rumah, “Par, saya ini dulu mengajar di SD itu hanya dibayar Rp. 1500,- (Seribu Lima Ratus Rupiah) per bulan, itu pun sumbangan dari orang tua murid. Walaupun hanya dibayar segitu, saya ini merasa bertanggung jawab mengajar anak-anak mereka dengan sungguh-sungguh. Orang tua mereka kan bekerja mencari uang dengan susah payah, mempercayakan anaknya agar bisa membaca dan menulis kepada saya. Padahal kalau mau jujur saya ini hanya lulusan SD, tapi pada waktu itu di Talang Tebat Rawas ini yang bisa membaca dan menulis hanya ada beberapa orang saja. Saya juga terdorong dari kekecewaan anak saya. Anak saya yang bernama Dion itu, dulu saya sekolahkan di Dusun, karena disini belum ada SD kan Par, jadi terpaksa dia sekolah SD di dusun. Di sana terpaksa saya titipkan anak saya itu di rumah saudara karena jarak jauh dan jalan yang sulit gak mungkin saya hantakan anak saya itu pulang pergi dari sini ke sana. Nahh.. Par...Waktu Dion kelas 2, saya coba tes dia untuk menulis namanya, saya sungguh kaget karena dia sendiri tidak bisa menulis namanya sendiri. Aihhhh padahal Guru SD di dusun kan kebanyakan sarjana tinggi dan dibayar pemerintah. Bahkan saya dapat kabar kalau ada anak kelas 6 disana belum bisa membaca. Akhirnya saya tarik saja si Dion itu pindah ke SD di sini, walaupun baru berdiri, minimal ketika dia naik ke kelas 3 di SD ini, dia bisa membaca dan menulis dengan lancar. Bagi saya, seharusnya guru-guru yang berpendidikan tinggi itu dan dibayar pemerintah lebih semangat untuk mengajar. Jangan hanya masuk sekolah terus ngisi buku absen, apalagi tidak mengecek kekurangan murid-muridnya ketika proses belajar, bukan begitu Par??..”. Saya pun hanya tersenyum dan menjawab “iya pak”. Dalam hati saya berguman, ternyata guru-guru pertama yang menagajar di SD “benar-banar tanpa tanda jasa”.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda