Selfin Mau Jadi Apa?

Iwan Budi Santoso 2 Mei 2014

Itu adalah pertanyaan sepuluh purnama yang lalu kepada seorang anak kelas 3 berambut keriting. Ia hanya tersenyum, menggeleng, pergi meninggalkan tatapan mataku lalu bergabung bersama kerumunan anak yang sedang bermain tiup karet.

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan klasik yang sering dilontarkan oleh orang dewasa kepada seorang anak. Lalu apakah yang akan terjadi jika pertanyaan itu diajukan kepada orang dewasa? Mau jadi apa dirimu?

Orang dewasa yang sudah berpuluh-puluh tahun itu akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan anak kecil. Minimal ia akan berpikir kilas balik perjalanan hidupnya, hambatan dan tantangan yang ia lalui serta berbagai pilihan lain untuk meraih apa yang akan diinginkannya. Orang dewasa akan menjawabnya dengan nada diplomatis, karena jawaban yang pasti sudah terhalang oleh berbagai macam pertimbangan.

Banyak guru yang memberi catatan khusus kepada Selfin. Ia dinaikkelaskan dengan alasan kasihan. ‘Su talalu tua umurnya’, ‘dinaikan takut menambah angka putus sekolah di Batulai’. Selfin tidak bisa membaca dan Selfin tidak bisa menulis, jawaban itu yang aku dapat ketika aku bertanya kepada orang-orang di sini. Oh Tuhan, terima kasih atas kehadiran anak ini yang telah memberikanku tantangan awal sebagai guru di SD Inpres Batulai.

Sempat membuatku sampai pada tahap ‘memvonis’ anak ini mengalami disleksia. Suatu permasalahan pada struktur saraf yang mengakibatkan seseorang mengalami kesukaran dalam belajar khusunya membaca, menulis, dan menghitung.

Purnama demi purnama berlalu. Suatu hari ketika aku bersepeda melewati rumahnya di kawasan perumahan transmigrasi di Istua pandanganku terhadap pendidikan mulai berubah. Aku melihat ia seorang diri di rumah, berbalut sarung, dengan wajah pucat memandangku seolah ingin mengucapkan ‘selamat sore Pak’. Oh ya aku baru sadar, sudah dua hari ini aku tidak mendengar ucapan ‘Selamat pagi Pak’ yang begitu lantang. Sudah dua hari juga aku merasa tidak ada yang mencium tanganku ketika aku pulang, sambil merengek untuk membawakan tasku ke ruang guru. Ooo,,, Selfin sedang sakit seorang diri di rumah, tidak ada seorangpun yang menemani.

***

Saat ini Selfin menjadi anak yang sangat membanggakan. Perlahan ia sudah akrab dengan keramaian huruf dan angka. Berusaha merangkainya lalu menafsirkan menjadi sebuah ucapan yang bisa dimengerti. Selfin mulai gelisah dengan dirinya. Ia ingin menjadi pintar seperti anak-anak di kelasnya. Ia tidak ingin diberikan perlakuan khusus oleh ku. Ia terkadang sering ‘merepotkanku’ dengan meminta tugas tambahan saat menjelang jam pelajaran usai. Perilaku terpujinya masih ia pelihara. Setiap hari dialah yang membersihkan ruangan kelas 3 tanpa memandang jadwal piket.

Banyak dari kita mungkin akan mudah merasa kehilangan ketika ada anak cerdas di kelas yang tidak hadir. Selfin telah memberikan banyak pelajaran berharga kepadaku akan arti pendidikan. Bahwa pendidikan bukanlah tentang ‘akan menjadi apa’. Pendidikan adalah tentang cara-cara mulia yang dilakukan untuk menjadi sesuatu.

Selfin juga telah mengajarkan kepadaku untuk lebih berhati-hati dalam memvonis anak-anak yang kemampuannya berbeda dengan orang kebanyakan. Selfin membutuhkan lingkungan nyaman, guru yang apresiatif, dan teman-teman yang menyenangkan sehingga ia menjadi anak yang memiliki semangat luar biasa untuk belajar.

Selamat Hari Pendidikan Nasional, selamat memperingati lahirnya Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Semoga keluhuran budi pekerti generasi bangsa Indonesia senantiasa terwujud.


Cerita Lainnya

Lihat Semua