Membuat Galau Sang Guntur
Iwan Budi Santoso 2 Mei 2014Malam ini di dermaga kota Baa. Aku terpukau dengan hamparan bintang yang memenuhi ibukota Rote Ndao itu. Namun berbeda dengan Guntur. Anak asal Pulau Solor yang hidup besar di Rote itu termenung melihat lembaran surat perjanjian beasiswa keperawatan di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Jawa.
“Hei Gun, ni bintang gagah talalu ya” kataku
“Iya kak” katanya lalu kembali termenung melihat lembaran surat yang seharusnya menggembirakan itu.
Ia adalah salah satu dari 16 anak Rote yang berhasil lolos beasiswa 100% jurusan keperawatan dan guru di perguruan tinggi swasta di kawasan Karawaci. Beberapa bulan lalu para Pengajar Muda memberikan informasi beasiswa 100% bagi siswa SMA yang ingin melanjutkan studi perguruan tinggi jurusan keperawatan dan guru. Butuh perjuangan untuk mengikuti seleksi ini. Setelah melengkapi berkas yang jumlahnya cukup banyak, mereka harus berlayar ke Kupang untuk mengikuti tes. Beberapa dari mereka bahkan ada yang mendapatkan tantangan dari pihak sekolah karena harus absen dari sekolah selama proses seleksi berlangsung. Pada akhirnya perjuangan mereka berbuah manis. Dari ratusan anak Nusa Tenggara Timur yang mendaftar dan mengikuti tes, 16 anak Rote berhasil lolos. Bagi kami para Pengajar Muda, jumlah tersebut sangat mencengangkan. Ternyata anak-anak Rote itu memang luar biasa. Yang mereka butuhkan adalah akses informasi beasiswa.
Aku mengenal Guntur saat ia tampil mementaskan anak SMA yang kecanduan narkoba. Pementasan itu dilangsungkan dalam rangka sosialisasi bahaya narkoba oleh BNN di dermaga Baa. Sesaat sebelum tampil, ia yang duduk di sebelahku memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa ia akan mengikuti proses seleksi beasiswa besok lusa.
***
Malam ini di dermaga Baa yang gelap, surat itu sampai pertama kalinya di tangan Guntur. Aku lihat ia konsentrasi membaca pasal demi pasal sambil menyorotkan cahaya senter di lembaran surat sakti tersebut.
“Gun, setauku kuliah keperawatan itu susah lho” candaku.
“He, iya ko? Apa yang buat susah Kak?” Tanyanya polos.
“Ya.... Kamu harus belajar kimia, biologi, matematika. Menurutmu pelajaran-pelajaran itu susah gak Gun?”
“Beta bisa kak”
Dalam batin aku merasa lega, ia tidak merasa gentar dengan mata pelajaran yang seringkali dianggap ‘tabu’ oleh banyak pelajar itu. Aku ingin mengujinya kembali ke permasalahan berikutnya.
“Eh Gun, itu beasiswa bukan buat orang yang cari uang lho. Setelah lulus kamu harus terikat dinas sama yayasan universitasnya. Berarti kamu son bisa jadi PNS nih”
“Son apa-apa kak, beta ingin jadi perawat, dibiayai saja beta sudah senang”
Ya... dia memang layak lolos. Awalnya aku khawatir dengan motivasi anak-anak yang lolos beasiswa ini. Banyak anak muda yang bermimpi jadi PNS setelah kuliah. Tapi aku yakin Guntur bukanlah orang yang seperti itu. Pernah suatu hari aku bertanya tentang keinginannya menjadi perawat. Dari situlah aku tau latar belakang keluarga Guntur. Ia adalah anak yatim. Ayahnya telah tiada ketika ia kecil. Ia merasakan kurang profesionalnya tenaga medis yang merawat ayahnya. Ia tidak ingin hal tersebut terulang kepada orang lain.
“Wah berarti su mantap ni mau kuliah keperawatan?”
“Iya Kak”
Aku teringat ketika pertama kali mengetahui penempatan aku di Rote Ndao. Aku ingin menemukan ‘Herman Johannes’ cilik disini. Herman Johannes adalah rektor kedua almamater aku di Universitas Gadjah Mada yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir di sebuah kampung kecil yang sepi di Landu Leko, Rote Ndao. Ia merantau ke Pulau Jawa lalu menjadi salah satu Putra Rote yang turut membesarkan Indonesia.
Guntur, anak muda yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh keprihatinan mengingatkan aku akan perjuangan Herman Johannes. Aku yakin semangat itu ada di dalam dirinya dan menambah daftar anak Rote yang mampu membesarkan Indonesia.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda