Menggambar Lebak #4: Cilaketan dalam Dekapan

Irma Latifah Sihite 12 Maret 2013

Di suatu siang yang teduh, saat matahari malu-malu memancarkan sinarnya. Mengiring truk pembawa batu kami akan menempuh perjalanan Neglasari-Cilaketan. Tak butuh waktu lama. Dengan truk besar bermuatan 5 ton batu cadas hanya sekitar 45 menit.

Cilaketan, kampung Juwita yang jelita. Kalimat ambigu ini tentu bisa menguntungkan keduanya. Baik kampungnya, maupun Juwita sendiri. (Meski niat tulusku adalah menggambarkan kampung yang benar-benar jelita itu)

Menempuh perjalanan sambil mengobrol dengan pak supir, membuat jarak sungguh tak terasa. Kami telah sampai di mulut hutan kayu dan bambu. Gerbang menuju Cilaketan nan ayu. Masih ada 2 km lagi yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki. Melangkah di atas jalan yang membelah hutan di kiri kanan kami. Daun-daun bambu masih asyik bercengkrama dengan angin kala itu. Gemerisiknya mengalunkan nada yang menemani kaki-kaki kami melangkah.

Kami –Saya dan Fandy- tiba di bibir Cilaketan saat matahari sudah mulai memancarkan jingga pesonanya. Pancaran cahaya melankolis yang berbenturan dengan hamparan sawah yang luas membuat hijaunya seperti menguning. Melihat Cilaketan di kala senja, seperti tersihir oleh mantra puja-puji yang terus mengalir.

Kaki kami masih terus berayun. Sampai akhirnya kami tiba disebuah tanjakan. Pertigaan mengajak kami mengarah ke kiri. Keluar dari jalan utama kampung. Menuju rumah Mak Nung, rumah Juwita.

Rumah panggung dari bambu yang sederhana itu menyambut kami dengan ramah. Emak menyambut kedatangan kami dengan senyumnya yang penuh kehangatan. Tak perlu menunggu lama, di depan kami tersaji seteko air putih, setoples opak, sebuah nenas lengkap dengan bumbu rujak sederhana. Metis istilahnya.

Tenaga yang keluar ketika berjalan kaki segera kembali. Mulut tak berhenti mengunyah segala yang tersaji. Begitu pula ia tak berhenti mengeluarkan cerita-cerita yang membuat rumah Mak Nung menjadi ramai.

Sore itu meneduhkan hati. Membawa ketenangan hingga malam menjelang. Membawa khusyuk ketika anak-anak datang mengaji. Membawa tidur nyenyak sampai pagi.

Kali pertama ke Cilaketan. Menapaki jalannya. Merasakan anginnya. Bermandikan airnya. Teduh di bawah langitnya. Membuat jatuh hati berkali-kali. Melangkah pulang, tak lupa mendekap pesonanya. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua