Tetap Sekolah

Intan Wahyuni 27 Juli 2011
Di awal bulan Mei, kami kedatangan seorang murid baru yang berasal dari Pariaman. Firdaus Herman Herfan Tarmizi namanya. Firdaus adalah satu-satunya muslim yang bersekolah di SD ini. SDN 32 Selatbaru terkenal sebagai sekolahnya orang asli, suku asli Kab. Bengkalis. Firdaus belajar di kelas 4 bersama Khairul, Salmon, Stiven, Wisye, Vanesa, dan Susiana. Sekarang, jumlah murid kelas 4 saya ada tujuh orang. Semakin bertambah ramai tentunya. Firdaus datang ke sekolah kami tanpa surat pindah, rapor, dan NISN (Nomor Induk Siswa Nasional). Bu Murni, Kepala Sekolah SDN 32 Selatbaru memberikan toleransi kepada Bu Tati, ibu dari Firdaus. Firdaus diperbolehkan untuk belajar di sekolah ini dan Bu Tati diberi kesempatan untuk mengurus surat-surat pindah sampai awal tahun ajaran 2011/2012. Awal Semester 1, Tahun Ajaran 2011/2012, saya kembali ke Selatbaru untuk mengajar setelah dua minggu cuti, pulang ke tanah Jawa. Hari pertama datang ke sekolah ini begitu berkesan. Semua anak tampak gembira menyambut kedatangan saya. Mereka semua menghampiri saya dan berebut untuk mencium tangan saya. Beberapa anak memeluk dan berkata, “ Bu Intan tinggal disini saja bersama kami, usah pulang ke Jakarta”. Sungguh mengharukan, mengingat hanya empat bulan lagi saya mengajar di SD ini. Saya berjalan berkeliling sekolah, memasuki setiap kelas yang ramai dengan anak-anak. Menyapa mereka satu per satu dan mendengarkan kisah mereka selama liburan. Hari ini kegiatan belajar mengajar belum dimulai. Semua murid dan guru bergotong-royong membersihkan lingkungan sekolah. Ada sesuatu yang baru di sekolah ini, ada lima belas siswa kelas 1, keluarga baru kami di SDN 32 Selatbaru. Sebelumnya, sebagian besar anak ini suka mengganggu saya saat mengajar sore, sekolah petang,  dengan teriakan dan kegaduhannya. Namun, hari ini mereka terlihat manis dengan seragam putih merahnya. Jumlah siswa SDN 32 Selatbaru hanya 56 orang dari kelas 1 sampai dengan kelas 5. Sehingga saya cukup peka untuk mengetahui jika ada siswa yang tidak masuk. Firdaus dan Riki tidak hadir hari ini. Riki masih berada di desa lain bersama keluarganya dan mungkin besok sudah mulai sekolah. Saya mengetahui ini dari teman sekalas Riki. Namun, salah seorang teman sekelas Firdaus mengatakan bahwa Firdaus berhenti sekolah. Saya terkejut mendengarnya. Saya langsung bertanya kepada Pak Said, wali kelas 4 semester lalu. Pak Said mengatakan bahwa orang tua Firdaus tidak hadir saat pembagian buku rapor semester lalu dan sampai saat ini belum mengurus surat pindah anaknya. Sayang sekali jika ada seorang anak tidak bisa sekolah karena masalah kelengkapan surat. Satu tahun yang lalu ada kejadian sama seperti ini, Sura namannya. Anak perempuan cantik dan pintar pindahan dari Malaysia. Ada beberapa medali dan penghargaan saat dia sekolah di Malaysia. Pemerintah Malaysia juga bersedia memberikan beasiswa kepada Sura. Namun, saat pindah ke Indonesia Sura tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak memiliki NISN dan kelengkapan surat lainnya. Sambil menangis orang tua Sura berkata, “Mengapa anak saya tidak boleh sekolah di negaranya sendiri?”. Saya selalu teringat kata-kata ini. Sekarang, Sura bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga. Saya tidak ingin hal yang sama dialami oleh Firdaus. Setelah berbicara dengan Pak Said, saya langsung menuju rumah Firdaus ditemani oleh beberapa siswa kelas 5. Rumah satu-satunya keluarga muslim di tengah pemukiman suku asli. Rumah panggung yang terbuat dari kayu, di dalamnya tinggal seorang ibu dan tiga anaknya. Sang ibu terlihat sangat lemah, sudah tiga hari sakit dan tidak bekerja di tempat pembuatan batu bata. Saya menjelaskan kedatangan saya ke rumah ini, alasan  mengapa Firdaus tidak sekolah lagi. Sambil menangis Bu Tati menceritakan kondisi keluarganya. Satu tahun yang lalu keluarga ini tinggal di Kota Dumai, Riau. Firdaus sekolah di sebuah SD di Jalan Sudirman, Kota Dumai dari kelas 1 sampai dengan kelas 3. Sedangkan Bu Tati bekerja sebagai penjual sate di Pasar Senggol. Namun, ketika suami Bu Tati melakukan suatu pelanggaran hukum dan dimasukkan ke dalam penjara, keluarga ini pindah ke suatu desa di Sumatra Barat. Selama delapan bulan keluarga ini tinggal di rumah orang tua Bu Tati. Firdaus disekolahkan oleh pamannya di sebuah SD di desa tersebut. Tanpa surat pindah, buku rapor, dan NISN. Saat menuju kampung halamannya, Bu Tati dalam keadaan tertekan dan panik. Banyak barang dan surat-surat berharga yang dia tinggalkan di rumah kontrakannya di Dumai. Buku rapor dan NISN Firdaus juga masih tertinggal di sekolah lamanya di Dumai. Suatu hari, Bu Tati mendapat kabar bahwa suaminya dipindahkan ke penjara Bengkalis. Suaminya berpesan agar Bu Tati dan ketiga anaknya pindah ke rumah orang tua sang suami di Desa Selatbaru, Bengkalis. Suami Bu Tati adalah keturunan Suku Asli yang sudah memeluk agama islam sebelum menikah dengan Bu Tati. Keluarga ini tinggal di pemukiman suku asli. Sulit rasanya jika membayangkan sebuah keluarga muslim tinggal di tengah pemukiman suku asli yang terbiasa hidup dengan anjing dan babi. Namun, Bu Tati tetap bertahan tinggal di pemukiman ini karena mertuanya sangat sayang kepada Bu Tati dan ketiga anaknya. Selain itu, warga suku asli menghormati keluarga ini sebagai pemeluk agama islam. Bu Tati tidak mempunyai biaya untuk mengurus surat pindah Firdaus di Dumai.  Jarak Dumai dan Bengkalis yang jauh dan biaya yang cukup mahal sangat menyulitkannya. Di sudut ruangan ini, saya melihat dua orang anak perempuan yang sedang bermain. Mereka adalah adik Fridaus, salah satunya bernama Sari. Saya menebak umur Sari sekitar tujuh atau delapan tahun, tapi mengapa anak sebesar ini belum sekolah. Padahal sekolahkan gratis. Saya tanyakan hal ini kepada Bu Tati. Inilah kesedihan lain yang dihadapinya. Bu Tati tidak mempunyai biaya untuk memenuhi kebutuhan Sari untuk sekolah, seperti seragam, tas, sepatu, dan alat tulis. Munculah keinginan untuk membantu Firdaus dan Sari. Saya sampaikan kepada Bu Tati bahwa saya akan ke Dumai untuk mengurus surat pindah Firdaus dan akan membantu Sari untuk bisa sekolah. Itulah janji saya kepada Bu Tati. Terlihat senyum bahagia dari wanita yang sedang sakit ini. Saya terus berpikir menemukan cara untuk membantu Firdaus dan Sari. Saya akan pergi sendiri ke Dumai, mengunjungi seorang kenalan disana, dan meminta bantuannya untuk mencari SD itu. Sebelum ke Dumai, saya harus menghubungi kepala sekolah atau salah satu guru SD itu. Tapi, bagaimana cara saya mendapatkan nomor telepon salah satu dari mereka? Sepulang sekolah, saat semua murid dan guru sudah pulang ke rumahnya masing-masing, tinggalah saya dan Bu Murni. Saya ceritakan mengenai Firdaus dan kondisi keluarganya. Saya sampaikan pula rencana ke Dumai untuk mengurus surat pindah Firdaus. Saya meminta bantuan Bu Murni untuk mencari nomor telepon kepala sekolah atau guru SD Firdaus di Dumai. Lalu, saya ceritakan pula mengenai pertemuan saya dengan Sari, adik Firdaus. Sari berusia tujuh tahun tapi karena masalah biaya, orang tua Sari tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sekolah Sari. Mata Bu Murni berkaca-kaca saat mendengarkan seluruh cerita saya. Beliau terharu sekali dan ingin membantu keluarga ini. Bu Murni bersedia memenuhi kebutuhan sekolah Sari dan bersedia membantu saya untuk mencari nomor telepon itu. Bu Murni berpesan, besok Firdaus bisa sekolah lagi di SD ini, Sari bisa mulai belajar di kelas 1, dan meminta Bu Tati untuk menemuinya di Sekolah. Sore ini saya kembali untuk menemui Bu Tati di rumahnya. Saya ditemani oleh seorang Pengajar Muda Bengkalis, Fatia yang kebetulan sedang berkunjung ke Selatbaru. Sebelum itu, saya ke sekolah untuk mengambil seragam pramuka untuk Sari. Beberapa bulan yang lalu, kami mendapat bantuan seragam putih-merah dan pramuka dari seorang Ibu yang sangat baik hati, Bu Zahra namanya. Beliau adalah mantan Kabid Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan Bengkalis. Masih ada beberapa pasang seragam tersimpan di lemari sekolah. Terdengar suara anak perempuan menyapa saya dari pintu ruang guru. Mona, siswa kelas 3 SDN 6 Bantan Tengah. Saya hampiri dia, saya tanyakan kabar dan kesannya di hari pertama sekolah setelah dua minggu libur. Mona berkata bahwa dia sudah tidak sekolah lagi. Di hari pertamanya sekolah, dia menemui wali kelasnya, menyerahkan buku rapor, dan mengatakan bahwa dia berhenti sekolah. Mona tidak melanjutkan sekolah karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh, sekitar 4 km. Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh dengan bersepeda atau jalan kaki. Saya menawarkan kepada Mona untuk sekolah di SD ini. Rumah Mona tepat di samping SDN 32 Selatbaru, jarak yang sangat dekat tentunya.  Saya meminta Mona untuk menyampaikan hal ini kepada orang tuanya. Sampailah saya dan Fatia di rumah Firdaus. Saya langsung menyampaikan pesan dari Bu Murni, bahwa Bu Tati diminta datang ke sekolah untuk mendaftarkan Sari sebagai murid SDN 32 Selatbaru. Lalu, saya menanyakan nama dan lokasi SD Firdaus di Dumai. Bu Tati mengeluarkan seragam lama Firdaus, disana tertulis nama SD tersebut. Saya juga mencatat data diri Firdaus dan orang tuanya. Saya jelaskan kepada Bu Tati bahwa secepat mungkin saya akan ke Dumai untuk mengurus surat pindah Firdaus. Selain itu, Firdaus dan Sari bisa sekolah di SDN 32 Selatbaru mulai besok. Bu Tati sangat senang mendengar hal ini, begitupula dengan Firdaus dan Sari. Saya mengirim pesan singkat yang berisi nama SD Firdaus di Dumai kepada Bu Murni. Alhamdulillah, tidak lama kemudian saya mendapat pesan balasan dari Bu Murni bahwa beliau telah mendapatkan nomor telepon kepala sekolah SD tersebut dari seorang kawannya di Dumai. Bu Murni juga akan segera menghubungi kepala sekolah SD tersebut. Hari pertama kembali bertugas di Selatbaru setelah dua minggu di tanah jawa, saya bertemu dengan Firdaus, Sari, dan Mona yang tidak bisa sekolah. Saya berjanji akan membantu ketiga anak ini untuk sekolah. Saya pun masih berusaha agar Sura bisa sekolah lagi. Baiklah, petualangan akan dimulai. Akhir minggu ini saya akan ke Dumai untuk membantu Firdaus agar tetap sekolah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua