Selat Baru Namanya
Intan Wahyuni 12 Desember 2010
Mulai hari ini saya tinggal di rumah Pak Mujiono di Parit Penawa Darat, Desa Selat Baru, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau, Kamis 11 Nopember 2010. Saya tiba pukul 17.30 WIB disambut oleh Pak Muji, Bu Ijem (istri Pak Muji), dan beberapa guru SDN 15 Selat Baru. Saya disambut dengan pelukan Bu Ijem, ibu asuh dan sampai sekarang saya memanggilnya ibu. Bapak dan Ibu Muji punya dua orang anak, si sulung berumur 24 tahun sedang kuliah di Jawa dan si bungsu kelas 5 SD, Mimin namanya.
Satu persatu koper dan tas dikeluarkan dari mobil dan dimasukkan ke sebuah kamar. Kamar ini terletak di paling depan sebelah ruang tamu, kamar berukuran 2.5m x 2.5m. Kamar kecil namun terlihat nyaman. Di dalamnya terdapat kasur tanpa ranjang dengan dua bantal dan satu guling, ada boneka beruang berwarna putih, rak buku yang terbuat dari papan-papan yang ditempel di dinding, sebuah meja kecil, cermin yang sudah pecah tergantung di dinding, kipas angin, dan lemari kain. Ada sebuah jendela kecil yang menghadap ke sekolah, SDN 15 Selat Baru, tempat saya akan mengajar dan belajar selama satu tahun.
Saya mulai merasa takut, cemas, dan sedih ketika satu persatu teman-teman PM Bengkalis, Mba Evi, dan Mba Heggy memeluk, memberi kalimat penyemangat, lalu pergi meninggalkan saya di sini, di rumah ini, di desa ini, Desa Selat Baru sendirian. Saya terus melihat ke arah mobil yang mereka naiki sampai mobil itu menghilang dari pandangan.
Saya mulai melihat keadaan sekeliling. Tepat di sebelah rumah ada SDN 15 Selat Baru, sekitar 4 meter jaraknya. Di depan rumah ada jalan kecil cukup untuk satu mobil dan kebun singkong. Rumah ini dikelilingi halaman yang sangat luas. Di halaman ini terdapat pohon pisang, pohon nangka, pohon kelapa, pohon buah naga, pohon cabe, dan lain-lain. Hari sudah magrib, sekilas saya melihat keadaan di sekitar rumah lalu masuk ke dalam kamar.
Rumah ini sudah dialari listrik dari PLN, namun sering terjadi pemadaman. Sinyal disini tidak bagus sekitar 1 sampai 2 bar untuk Telkomsel dan XL. Rumah ini terlihat kecil dari depan, namun besar di dalamnya, panjang ke belakang. Ada empat kamar, kamar saya terletak di paling depan, lalu tepat disebelahnya adalah kamar Mimin, lalu Kamar Bapak dan Ibu Muji, dan yang terakhir digunakan sebagai mushala. Ada ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan dua kamar mandi. Air sumur disini berwarna kuning dan rasanya seperti oralit. Sehingga untuk minum dan masak menggunakan air hujan yang ditampung (air tadah hujan). Entah apa jadinya jika musim kemarau datang, air akan susah dicari, termasuk air dari sumur akan kering juga.
SDN 15 Selat Baru terletak tepat disamping rumah ini. Sekolah dengan lapangan yang sangat besar dan di tengahnya ada tiang bendera. SD ini mempunyai 6 ruang kelas, dua gudang, sebuah ruangan untuk kantor kepala sekolah dan perpustakaan, ruang guru, ruang UKS, dan sepuluh kamar mandi. Ketika waktu istirahat, rumah Pak Muji menjadi kantin sekolah yang menjual jajanan makanan dan minuman. Siswa di SD ini berasal dari empat kelompok yaitu jawa, melayu, cina, dan suku asli, suku akit namanya.
Mayoritas penduduk di Desa Selat Baru adalah Jawa dan Muslim. Saya merasa seperti bukan di kawasan melayu. Mereka adalah penduduk turunan jawa yang lahir di Bengkalis, biasanya disebut Jabeng (jawa bengkalis). Walau mereka turunan jawa dan berbahasa jawa, namun sebagian besar dari mereka belum pernah ke Pulau Jawa. Jangankan ke Pulau Jawa ke Pekanbaru saja belum pernah. Desa ini terletak di Pulau Bengkalis, untuk ke daratan Sumatra harus melalui jalan darat dan laut sekitar delapan jam paling lama untuk sampai ke Pekanbaru. Sebagian besar penduduk bermata pencarian sebagai petani karet, petani sawit, petani pinang, nelayan, dan berdagang.
Uniknya, di dalam desa ini ada kawasan tempat tinggal khusus suku akit. Mereka hidup berkelompok dan mata pencariannya adalah mencari ikan dan kerang di Sungai Liong. Beberapa anak suku akit sekolah di SDN 15 Selat Baru dan SDN 32 Selat Baru. SDN 32 Selat Baru dulunya adalah sekolah lokal jauh dari SDN 15 Selat Baru. SD ini terletak di tengah kawasan tempat tinggal suku akit. Secara fisik kulit mereka hitam, berambut kusam, dan kurang memperhatikan kebersihan. Mereka beragama kristen atau budha. Rumah panggung mereka yang kecil terbuat dari kayu dan beratap daun. Biasanya di dalamnya hanya terdapat satu ruangan. Di kawasan akit terdapat sebuah gereja dan wihara. Banyak anjing hitam berkeliaran di kawasan ini. Sehingga saya tidak berani untuk mengunjungi kawasan ini sendirian.
Cuaca disini sangat panas dan terik. Saya akan tambah hitam setelah satu tahun tinggal disini lalu kembali ke Bogor. Di Selat Baru tidak ada transportasi umum. Setiap warga menggunakan baseka (sepeda) dan honda (motor) untuk bepergian. Harga kebutuhan sehari-hari, makanan, dan pakaian disini terhitung mahal. Tanah disini adalah tanah gambut sehingga airnya berwarna hitam atau kuning. Jalanan disini terbuat dari semen dan sebagian besar sudah rusak dan belubang. Jadi harus hati-hati saat melintasinya. Walau jalanan sepi tapi tetep ga bisa ngebut.
Secara umum inilah gambaran mengenai Desa Selat Baru. Mungkin saya akan tinggal disini selama satu tahun. Tetep semangat dan semoga bisa memberi inspirasi. J
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda