Idul Adha Yang Berbeda

Intan Wahyuni 12 Desember 2010
Malam menjelang  Idul Adha saya sudah bersiap-siap di mesjid dekat rumah. Saya dan Eka akan mengikuti pawai obor untuk menyambut datang Idul Adha. Eka adalah guru honor di SDN 15 Selat Baru. Dia adalah gadis kelahiran 1989, seumuran dengan saya. Eka masih kuliah di sebuah universitas di Bengkalis. Senin s.d. Kamis dia kuliah dan Jumat, Sabtu dia mengajar bahasa inggris di SD. Rumah Eka tidak jauh dari rumah Pak Muji dan mesjid tempat pawai obor dimulai. Setelah shalat isya, anak-anak yang merupakan siswa SDN 15 Selat Baru sudah berkumpul di depan mesjid dengan obornya masing-masing. Tidak lama kemudian pawai obor pun dimulai. Anak-anak berjalan dibarisan terdepan dibimbing oleh beberapa orang dewasa. Saya dan Eka berjalan tepat dibelakang barisan anak-anak. Di belakang kami ada motor yang menarik gerobak berisi bedug. Barisan paling belakang adalah warga desa. Sepanjang perjalanan bedug dipukul sambil melantunkan takbir. Beberapa pemuda yang ikut membawa obor menyemburkan minyak tanah ke obor tersebut sehingga timbul semburan api yang besar. Kami semua berjalan menuju seluruh mesjid yang berada di Parit Penawa Darat, Desa Selat Baru. Di setiap mesjid kami disambut oleh warga yang tinggal di sekitar mesjid tersebut. Banyak makanan dan minuman yang mereka suguhkan. Kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan beberapa orang dewasa bercakap-cakap. Mungkin mereka hanya bertegur sapa saja sekedar silaturahmi. Inti dari kegiatan ini selain untuk meramaikan malam Idul Adha adalah untuk menjalin tali silaturahmi antar warga. Ada lima mesjid yang kami kunjungi dan jarak antarmesjid berjauhan. Walau perjalanan jauh dan ditempuh dengan jalan kaki, saya tidak merasa lelah. Sangat menyenangkan bisa berjalan dengan anak-anak, murid-muridku di sekolah sambil bercerita ini itu dengan malam yang diterangi api obor. Sepanjang malam terdengar takbir sampai pagi datang. Seluruh warga muslim menuju mesjid untuk melaksanakan shalat. Tidak lama setelah shalat, warga mulai untuk mempersiapkan pemotongan hewan qurban. Ada dua ekor kambing dan satu ekor sapi yang akan dipotong. Warga desa di sekitar mesjid ini berjumlah sedikit sehingga tidak banyak hewan qurban yang disembelih. Siang harinya, saya dan PM Pulau Bengkalis menuju rumah Fatia di Bantan Air. Saya mengendarai honda sendirian, Tika membonceng Nanda, dan Rangga membonceng Wildan. Kami berlima pergi dipandu oleh Bang Syamsir (Abang asuh Rangga) dan istrinya Ka Lina. Perjalanan kami tempuh hampir satu jam dengan kecepatan tinggi. Jalan sepi dan tanpa macet. Kami telah memasuki batas Desa Bantan Air. Air disini berwarna hitam dan tanahnya gambut. Matahari sore bersinar menyinari padang rumput luas yang kami lewati. Sampailah kami di rumah Fatia di Jalan Trubuk Bantan Air. Lingkungan disini lebih sepi jika dibandingkan dengan rumah saya di Selat Baru. Mungkin karena Selat Baru ibukota Kecamatan Bantan sehingga cukup ramai dan fasilitas cukup lengkap. Rumah Fatia cukup besar, berwarna merah muda, dan berlantai dua. Ini adalah rumah kepala sekolah SDN 25 Bantan Air, tempat Fatia mengajar selama satu tahun ini. Di rumah ini kami disambut oleh Fatia yang berdiri di halaman rumahnya. Lalu di dalamnya ada bapak dan ibu asuh Fatia. Fatia terlihat sangat senang ketika kami sampai, padahal baru seminggu ga ketemu.haduuuhhh,, ckckck.. Kami berbincang-bincang di ruang tamu sambil makan kue-kue buatan ibu asuh Fatia. Enak loh!!! Heheh. Sampai ga sadar kuenya habis,, hadoh-hadoh jadi malu.. Memang kami kadang khilaf kalo sama makanan. Sebelum pulang kami sempatkan berkunjung ke pantai di Bantan Air, tidak jauh dari rumah Fatia. Dalam perjalanan kami melewati SDN 25 bantan Air. SD ini sangat luas terdapat lapangan yang luas pula, ditengahnya ada tiang bendera. Air laut sedang pasang namun tetap tenang tak berombak. Ada banyak pohon bakau yang tertutup air, hanya terlihat bagian atas pohon dan daun-daunnya saja. Di sekeliling pantai terdapat pemukiman suku asli, akit namanya. Anak suku akit sedang bermain pasir di pinggir pantai sambil melihat ke arah kami ketika kami datang. Disini juga terdapat perahu-perahu dan perlatan untuk menangkap ikan. Sudah bisa ditebak mata pencaharian suku asli adalah nelayan. Di Selat Baru juga ada pemukiman suku asli, mata pencarian mereka juga sebagai nelayan. Tapi mereka mencari ikan di Sungai Liong bukan di laut. Hari sudah semakin senja. Matahari perlahan mulai tenggelam dan sinarnya mulai redup, langitpun mulai gelap. Saatnya kami pulang, Wildan, Rangga, Bang Syamsir, dan Ka Lina pulang ke Pematang Duku dan Ketam Putih lewat Muntai. Saya, Tika, dan Nanda pulang ke Selat Baru dan Bantan Tengah melalui jalan yang berbeda. Ternyata di rumah ibu asuh Fatia telah menyiapkan “makan berat” untuk kami. Haduuuhhh,, maaf ya bu.. hari sudah terlalu sore, kami langsung pulang dan maaf kami pulang tanpa pamitan terlebih dahulu. Dua honda melaju kencang di tengah jalan yang sepi dan hari yang mulai gelap. Sampai di sebuah jalan, saya harus berpisah dengan Nanda dan Tika. Saya terus melalui jalan utama sampai ke Selat Baru, Nanda dan Tika berbelok ke Bantan Tengah. Sebetulnya saya takut membawa honda sendirian di jalan yang sepi dan sudah gelap ke Selat Baru. Apalagi saya harus melewati jembatan Liong yang belum jadi. Tapi ga mungkin juga Tika dan Nanda menemani saya sampai Selat Baru atau saya menginap di tempat mereka. Saya dan mereka sama-sama harus mengajar pagi keesokan harinya di sekolah masing-masing. Alhamdulillah, saya sampai di rumah dengan selamat. Agak ga enak juga sama keluarga asuh karena pulang saat hari sudah gelap. Hari ini sangat menyenangkan. Betul-betul Idul Adha yang berbeda. Terimakasih Ya Allah..

Cerita Lainnya

Lihat Semua