Berburu Si Rama-Rama
Intan Wahyuni 15 April 2011
Siang ini, saya menjenguk Ringgo, murid kelas dua yang sedang sakit. Kaki Ringgo terkena knalpot motor. Saya bawakan obat luka bakar untuk Ringgo. Sepulang dari rumah Ringgo, saya bertemu dengan Khairul, Ostin, dan Aris. Ternyata, mereka mau mencari rama-rama di hutan bakau. Saya ingin sekali ikut mereka mencari rama-rama dan penasaran juga, seperti apa si rama-rama itu. Saya yang masih berseragam PRAMUKA meminta anak-anak ini menunggu saya untuk ganti baju dan minta izin kepada keluarga asuh.
Sampailah saya di rumah. Saya meminta izin kepada kaka. Awalnya kaka melarang saya pergi. “Usahlah berjalan, jauh tan, banyak ular di hutan bakau. Mereka kan orang asli biasa berjalan jauh. Payah untuk orang macam kita ni.”
Saya terus membujuk kaka, sampai dia tidak bisa melarang saya lagi.
Saya membawa sebuah tas kecil berisi sedikit uang, kamera, satu botol minum, dan beberapa makanan. “Macam mau piknik saja Bu”, tiga murid ini berkata. Saya hanya tersenyum mendengarnya.
Sekitar jam satu siang kami pergi mencari si rama-rama. Kami melewati pemukiman orang asli (rumah suku akit). Beberapa orang asli memandang heran ke arah saya. Seorang dewasa berkerudung berjalan dengan dengan tiga orang anak asli. Tidak semua orang asli pemukiman ini mengenal saya sebagai guru di SDN 32 Selatbaru, sekolah anak asli biasa orang menyebutnya. Setelah itu, kami melewati kebun karet milik pendatang (biasanya orang jawa atau melayu). Sudah tidak terlihat ada rumah di sekitar sini. Kami terus berjalan melewati beberapa bangunan besar, sarang burung walet milik orang cina (mungkin keturunan cina). Ada juga tempat pembuatan batu bata dan arang milik orang cina.
Sudah mulai terlihat beberapa pohon bakau dari kejauhan. Laut sedang pasang, jalan yang kami lewati kali ini tergenang air. Khairul, Ostin, dan Aris yang sudah terbiasa dengan jalan seperti ini berjalan meninggalkan saya jauh di belakang mereka. Saya berteriak memanggil mereka untuk menunggu saya yang kesulitan dengan sandal yang sering tersangkut masuk ke dalam lumpur. Mereka nampak kewalahan karena mengajak saya mencari rama-rama. Semoga mereka tidak menyesal. Akhirnya, sama seperti mereka, saya berjalan tanpa sandal. Saya harap tidak ada benda tajam yang dapat menusuk kaki kami.
Lagi-lagi saya tertinggal jauh dari mereka. Air sudah mencapai lutut. Dari kejauhan saya melihat air sudah mencapai pinggang mereka. Ketiga anak ini menyuruh saya untuk tidak berjalan lagi. Karena air akan semakin tinggi. Mereka mulai mencari si rama-rama. Saya mencari tempat untuk menunggu mereka, duduk di dataran yang lebih tinggi.
Rama-rama tinggal di lubang-lubang di lumpur diantara akar bakau. Anak-anak ini memasukan tangannya ke dalam lubang-lubang ini. Khairul berhasil mendapatkan seekor rama-rama. Tangan anak ini berhasil memegang badan rama-rama yang memiliki tiga buah capit, sepasang capit di depan dan satu capit di ekornya. Bentuk rama-rama seperti paduan antara kepiting dengan udang, tubuhnya sebesar telapak tangan orang dewasa. Tidak lama kemudian, Aris dan Ostin mendapatkan rama-rama di lubang yang berbeda. Sesekali tangan mereka dijepit oleh capit si rama-rama. Dari jauh saya melihat mereka. Saya keluarkan kamera, saya abadikan petualangan ini.
Entah sudah berapa jam saya pergi dengan mereka. Saat saya duduk menunggu mereka, beberapa orang asli yang sedang mencari kayu bakau berjalan melewati saya. Ada yang menyapa, bertanya sedang apa, ada juga yang hanya melihat heran. Sampai suatu waktu, nampak mamak Khairul dari kejauhan. Khairul berteriak ke arah saya, “Bu Intan, ibu pulang saja dengan mamak aku. Kami lama mencari rama-rama.” Saya yang sudah dari tadi kepanasan memutuskan untuk pulang duluan dengan mamak Khairul. Saya tinggalkan makanan dan minuman untuk mereka di dekat akar bakau.
Sampai di rumah, saya sedikit mendapat cermah dari kaka. Badan basah penuh lumpur memasuki rumah panggung yang terbuat dari kayu.
Saya duduk di depan rumah sambil memainkan handphone dengan badan yang sudah bersih dan pakaian kering. Terlihat, Khairul, Aris, dan Ostin berjalan menuju rumah ini sambil membawa kantong plastik hitam. Mereka membawakan saya empat ekor rama-rama besar. Wah senangnya..
Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada mereka. Saya bawa rama-rama ini ke dapur. Saya tunjukkan kepada kaka. Namun, kaka bilang rama-rama makruh untuk dimakan. Haduh, bagaimana ini? Saya tidak mungkin mengembalikannya kepada mereka. Rama-rama ini tidak pernah dimasak dan dibuang oleh kaka. Saya sungguh menyayangkan.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda