info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

“ Makrus, ibu bangga padamu !”

Ineke Amandha Sari 23 Februari 2014

Ini sekelumit cerita yang terselip di awal aku menginjak tanah Karang Agung hingga detik ini.  Pagi itu rapat pembagian tugas mengajar dimulai.  Agenda rapat kali ini menentukan guru-guru ini akan mengajar di kelas berapa.  Tiba giliranku diumumkan, aku diberi amanah untuk menjadi guru kelas IV A.  Aku hanya paham sampai disitu, menjadi guru kelas IV A.  Aku belum tahu siapa yang akan menjadi pasukan-pasukan hebatku nanti. 

Keesokan harinya, tibalah saat yang aku nantikan, aku ingin segera melihat dan mengenal pasukan hebatku.  Aku berjalan ke arah kelas IV A dan dari kejauhan sudah kulihat para siswa duduk rapi di dalam kelas.  Sempat deg-deg-an karena aku akan mendampingi belajar mereka selama satu tahun ke depan.  Sayangnya hari pertama sekolah ini belum ada acara masuk kelas karena masih pembagian kelas untuk kelas satu dan mengurus kegiatan administrasi yang lainnya.

Hari keduaku mengajar ini (atau hari pertamaku masuk kelasku) aku isi dengan beberapa agenda.  Beberapa agenda diantaranya adalah perkenalan diri, pemilihan pengurus kelas, dan pembuatan kesepakatan kelas.  Moment yang paling aku ingat adalah saat pembuatan kesepakatan kelas, sengaja aku tidak menetapkan aturannya.   Aku mencoba mengajak siswa-siswa ini memikirkan hal-hal yang perlu dilakukan dan ditinggalkan saat kegiatan belajar.  Selain itu, aku juga mengajak mereka memikirkan sebab akibat kesepakatan itu dilakukan.  Pada saat proses pembuatan kesepakatan kelas ini, ada seorang anak yang menarik perhatianku.  Seorang anak laki-laki yang tubuhnya lebih tinggi dari pada anak-anak yang lain, kulitnya sedikit gelap, dan memiliki lesung pipi saat dia tersenyum.  Lalu, apa yang menarik perhatianku? Dia sangat aktif dalam mengungkapkan ide dan pendapatnya. Misalnya ketika aku tanya bagaimana kita harus memilih pengurus kelas, dia menjawab : “ ibu, ditanya dulu siapa yang mau jadi pengurus, baru nanti kita pilih”.   Awalnya aku berpikir aku terlalu cepat menarik kesimpulan, tapi ternyata penilaianku terhadap anak laki-laki ini benar, ini terbukti selama aku mengajar dikelas IV ini.  Anak ini salah satu yang termasuk anak cerdas. 

 

Makrus, itulah nama anak ini.  Makrus tinggal di darat ( di darat berarti di daerah perkebunan yang letaknya cukup jauh dari sekolah yang letaknya di dekat sungai atau orang-orang menyebutnya laut).  Mengajar kelas empat ini cukup melatih kesabaran.  Kenapa? Beberapa siswa sedikit lebih lama memahami pelajaran, beberapa cukup paham dengan pelajaran, dan sebagian yang lain cepat memahami pelajaran.  Makrus masuk ke dalam kategori yang ketiga, dia cepat memahami pelajaran dan akan sigap membaca buku ketika dia lupa akan materi pelajaran.  Saat aku mengajar dan memberikan tebak-tebakkan sebagai bentuk review pelajaran, dia lah yang paling aktif menjawab.  Saat aku menulis soal di papan tulis dan menawarkan kepada siswa untuk mengerjakan, dialah orang pertama yang mengangkat tangannya dan dengan tepat mengerjakan. Dia juga kerap bertanya hal-hal yang tidak biasa.  Misalnya : “kenapa ada planet lain, padahal tidak bisa dihuni?” , “kenapa orang berkorupsi, padahal dia kan sudah dapat gaji?”.  Dia juga sering memberikan tebak-tebakkan pada saya, tujuannya untuk melihat apakah gurunya ini paham atau tidak.  Saya menyukai kekritisannya.

Sekitar bulan September ada pengumuman lomba sastra, beberapa anak berminat ikut dan beberapa anak harus diyakinkan bahwa mereka memiliki potensi untuk mengikuti lomba ini.  Makrus termasuk yang perlu diyakinkan bahwa dia bisa. Dia terkadang ragu bahwa dia bisa, dia terkadang ragu untuk memperjuangkan harapannya.  Hingga akhirnya ada pengumuman bahwa dia menjadi salah satu siswa yang mengintip ibukota, Jakarta.  Aku ingat saat aku datang ke rumahnya mengabarkan kabar bahagia ini, dia berlari dari kejauhan melihatku datang.  Jujur, aku bingung memulai percakapan bagaimana karena saking senangnya hati ini.  Hingga coba kusampaikan bahwa Makrus menjadi salah satu siswa yang mewakili Sumatera Selatan untuk lomba mendongeng ke Jakarta.  Kulihat matanya berkaca-kaca, dia memandangku tak percaya. 

 

Aku percaya, banyak anak-anak hebat lainnya yang masih asik menikmati desanya, anak-anak hebat yang perlu diyakinkan bahwa cita-citanya layak diperjuangkan.

 

Hai Makrus, jangan takut memiliki cita-cita karena kau hebat dan Ibu yakin kau akan menjadi salah satu anak yang tetap membuat bendera Indonesia tegak berkibar.

 

Karang Agung

15.12.2013/ 00.13


Cerita Lainnya

Lihat Semua