Pulau Para : Tempat Niat Bersandar di Perbatasan Utara Indonesia

Indra Umbara 18 Oktober 2014

Memutuskan menjadi Pengajar Muda bukan perkara mudah. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk berfikir supaya keputusan ini tidak berakhir payah. Banyak kerabat yang mendukung tapi juga tak sedikit yang membuat niat saya terkurung. Untung saja, niat ditopang dengan semangat ikut turun tangan terus membara di pikiran saya. Sampai-sampai, menjadi Pengajar Muda menjadi motivasi terbesar saya menyelesaikan skripsi di penghujung tahun lalu.

Singkat cerita, niat itu menggiring saya berbaris dalam barisan orang-orang yang peduli pendidikan, bersama 74 Pengajar Muda lain yang tergabung dalam pleton Indonesia Mengajar angakatan VIII, dimana selama setahun ke depan saya ditempatkan di Pulau Para, Kabupaten Kepulauan Sangihe yang letaknya di perbatasan bagian utara Indonesia. 15 Juni 2014, saya kuatkan niat dan tekad untuk berlayar ke Pulau Para.

Dalam tulisan ini, saya akan menceritakan beberapa hal tentang Pulau Para, pulau yang akan menjadi tempat saya menggali pengalaman berharga bersama masyarakat pesisir di bagian utara Indonesia.

Meneropong Pulau Para

Pulau Para merupakan satu dari seratus tujuh puluh lima pulau dalam gugus Kepulauan Sangihe. Pulau penuh pesona ini akan menjadi tempat saya menyandarkan niat, membaktikan diri di dunia pendidikan sekaligus belajar banyak hal dari masyarakat pesisir selama satu tahun ke depan.

Pulau ini terletak di bagian selatan Kepulauan Sangihe. Kepulauan Sangihe sendiri merupakan daerah paling utara Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina. Demi menginjakkan kaki di pulau ini, saya harus menempuh 3 jam perjalanan pesawat rute Jakarta-Manado. Kemudian dilanjutkan 10 jam jalur laut dari Manado menuju Tahuna, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sangihe, atau biasa orang sebut “Sangir Besar” atau “Sangir Daratan”. Perlu waktu 6 jam jalur laut menuju Pulau Para dari Sangir Besar.

22 Agustus 2014, dari Pelabuhan Towo, saya berlayar menaiki kapal sedang berpenumpang maksimal 35 orang. Ombak pun mengajak saya bergurau dengan menendang-nendang kapal hingga perut saya mual dibuatnya. Enam jam pun berlalu, pengalaman berjumpa dengan Pulau Para untuk pertama kalinya puun dimulai.

Bibir Melengkung di Setiap Sudut

Sebelum menginjakkan kaki di pulau ini, jujur saya sempat gelisah. Kegelisahan saya dipicu kekhawatiran saya akan rendahnya tingkat penerimaan orang baru di pulau ini. Pikiran negatif pun tak jarang sliweran di otak saya.

Sesampainya di pulau ini, kegelisahan saya pun sirna. Sejauh matsaya memandang, tak hanya banyak pohon kelapa berdendang yang membuat hati gelisah menjadi tentram tapi bibir pun juga melengkung dan mengembang ramah dimana-mana. Tak hanya saat-saat pertama berjumpa tetapi dalam keseharian pun keramahan itu juga tetap terjaga. Soal keramahan memang tak perlu ditanya, masyarakat Pulau Para terbuka dengan semua pendatang. Mereka tak ragu menyapa meskipun belum mengenal nama.

Penghuninya Taat Beribadah

Pulau Para didiami oleh masyarakat suku Sangir berjumlah 1873 jiwa yang tersebar di tiga desa, Apenglawo, Salingkere dan Paralele. Masyarakat Pulau Para menganut agama Kristen Protestan. Tidak ada agama lain yang dianut di sini selain agama tersebut.

Pagi, Sore dan Malam setiap harinnya dalam satu minggu ada jadwal ibadah rutin yang tempatnya diatur secara bergiliran rumah ke rumah. Tidak ada hari tanpa ibadah, barangkali kalimat tersebut yang pas digunakan untuk menggambarkan ketaatan beribadah masyarakat Para.

Rumah Ikan Bermacam Jenis

Tangkapan ikan di sini benar-benar melimpah. Berbagai jenis ikan yang rasanya lezat tersedia di sini. Tapi kelimpahan itu tidak terus ada setiap hari. Ada kalanya satu ikan pun tak tertangkap karena nelayan tak berani melaut karena cuaca yang sedang tak bersahabat.

Saking melimpahnya ikan, budaya berbagi ikan antar warga pun mengakar di masyarakat Pulau Para. Hanya cukup menunggu nelayan di pinggir pantai, warga lain yang tak mencari ikan pun bisa mendapatkan ikan secara gratis. Bahkan bagi pendatang seperti saya, saya tak perlu menunggu di pantai. Ikan yang baru di tangkap, langsung diantar ke rumah. “Memang, Orang Para bukang daung lemong.” Ungkapan dalam bahasa Sangir itu mempunyai maksud bahwa Orang Para memang luar biasa.

Menyantap Lombok di Pulau Para

Bagi orang Para, lombok wajib tersedia di dapur untuk memasak ikan. Tanpa menaruh lombok di masakan, orang Para serasa tak makan hasilnya perut pun tak kenyang. Tapi yang ingin saya bahas bukan lombok (cabe), melainkan Lombok, yaa Pulau Lombok nikmatnya ada di Pulau Para.

Sudah banyak orang tau bahwa Pulau Lombok menyimpan sejuta kekayaan bahari, ya apalagi kalau bukan pemandangannya yang aduhai. Pulau Para pun tak kalah kaya akan pesona baharinya. Di belakang kampung Para terdapat pantai  bernama Pantai Duasawang. Pertama kali menginjakkan kaki di pantai ini, rasanya pikiran dan hati sedang bernostalgia dengan keindahan salah satu pantai di Lombok. 

Bonusnya lagi, di sepanjang pantai terdapat sarang burung endemik Sulawesi, Burung Maleo. Geotermal (panas bumi) ada di sepanjang pantai ini. Kalau sedang beruntung, saya dapat melihat anak Burung Maleo yang terbang rendah di sekitar pantai. Semua keindahan dan kelebihan yang ada di pulau ini membuat tak henti-hentinya bersyukur kepadaNya.

Bersyukur Bisa Berlayar Ke Pulau Para

Puji Tuhan, saya mengucap syukur, Tuhan memberi saya kesempatan saya berlayar sampai di pulau ini lewat Gerakan Indonesia Mengajar. Hingga satu tahun ke depan, cerita demi cerita akan saya rajut bersama masyarakat pesisir di Pulau Para terutama murid-murid di SDN Inpres Para.  

Semoga keberadaan saya mampu memberi warna baru di pulau ini hingga satu tahun ke depan terutama di bidang pendidikan. Sebenarnya tanpa saya harus datang di pulau ini, anak-anak masih pergi ke sekolah dengan senang hati, tapi tugas saya di sini adalah memberi arti lebih.

Saya ingin mengenalkan mereka pada mimpi mereka masing-masing. Membuat mereka tau banyak hal dan menularkan segala sesuatu yang saya punya kepada mereka. Tak luput juga dari niat saya, saya akan terus membakar semangat dan motivasi mereka agar mereka mau terus maju dan berkembang di masa depan dengan berbagai kegiatan.

Sampai di sini tulisan ini saya selesaikan. Berikutnya cerita bersama anak-anak saya yang akan saya beberkan. 

 

*) Selesai di Rumah Dinas Kepala Sekolah SDN Inpres Para Tanggal  7 Agustus 2014 Pukul 20:15 WITA


Cerita Lainnya

Lihat Semua