info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Jalan Hidup

Indarta Aji 9 Maret 2012

Terkadang ada banyak orang yang tidak menyadari bahwa setiap yang mereka ucapkan itu adalah sebuah doa-doa kecil, baik disengaja atau sekedar celoteh yang sedikit emosional.

Aku masih ingat berapa tahun lalu saat aku masih duduk dibangku kelas 5 SD dan tinggal disebuah lokasi yang terletak di ibukota Provinsi ke 27 saat itu. Kota yang tidak pernah terlupakan bagiku. Bahkan mengingatnya saja membuat diriku harus terharu karena merindukan kota itu.

Karier Ayah-ku yang baik dan usaha Ibu-ku yang selalu meningkat membuat hidup kami sekeluarga terasa cukup. Namun sering kali aku berfikir bagaimana caranya seorang yang miskin bisa menjalani hidup mereka. Seperti halnya teman-teman sepermainanku saat itu yang tidak lain adalah penduduk asli Timor, yang seringkali dipanggil dengan sebutan labarik. (Labarik dalam bahasa tetun adalah anak-anak). Setiap pagi saat aku berangkat sekolah, teman-teman labarikku harus bekerja berkeliling rumah untuk mencari seember nasi kotor, atau yang lebih kita kenal dengan nasi sisa makanan. Kata mereka, nasi itu mereka gunakan untuk memberi makan babi-babi milik mereka. Tapi terkadang saat mereka tidak memiliki sisa makanan atau beras untuk mereka masak, mau tidak mau babi mereka harus puasa karena nasi kotor yang mereka ambil dari rumah kerumahlah yang mereka konsumsi. Memang sial jadi babi disana karena harus mengkonsumsi nasi kotor kuadrat. (Nasi Kotor)2

Tidak hanya berhenti disitu. Nasi kotorpun mulai memenuhi pikiranku. Bagaimana rasanya? Kalau makan nasi kotor nanti sakit perut atau tidak? Dan banyak hal lainnya yang tidak terbayangkan.

Saat itu, cara satu-satunya bagiku agar nasi kotor itu tidak memenuhi pikiranku terus-menerus adalah dengan memakannya. Walau secara naluri aku benar-benar mengerti bahwa nasi kotor itu tidak enak. Alih-alih ingin membantu ibuku mencuci piring, kusisihkan sedikit nasi sisa. Aku ingin berpura-pura menjadi teman-temanku yang terkadang harus menikmati nasi kotor. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi orang miskin.

Tak berselang aku mengunyah nasi yang aku kumpulkan tadi, perutkupun mulai berontak hingga keujung kepala. Mataku berair dan entah, mungkin juga wajahku memerah. Sejak saat itu pikiranku tidak dipenuhi lagi dengan nasi kotor, tapi dipenuhi dengan penasaran bagimana menjalani hidup sebagai seorang miskin, dan aku berharap untuk bisa menjadi orang miskin walau hanya sebentar saja.

Kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia membuat keluarga kami benar-benar jatuh miskin. Tidak ada harta benda yang dapat kami bawa pulang ke Jawa, hanya beberapa lembar pakaian. Tapi aku tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi menikmati nasi kotor karena terkadang ibuku memasakkan nasi aking (nasi sisa yang dijemur) untuk kami. Terkadang perasaan bersalah selalu datang, apakah ini karena ulahku yang ingin merasakan menjadi seperti orang miskin? Atau memang ini sudah suratan?

****

Satu tahun berselang pasca kemerdekaan Timor-Timur dan keluarga kami masih tetap miskin. Saat itu aku sudah berada di Semarang untuk melanjutkan pendidikan SMP-ku. Hal yang paling menarik dari SMP adalah saat aku sedang mengikuti study tour bersama teman-teman SMP ku menuju kota Bandung. Tujuan akhir kami dari study tour tersebut adalah wahana fisika di SABUGA ITB. Kampus yang menjadi idamanku sejak Ayahku menceritakannya sebagai dongeng-dongeng tidur malamku sejak kecil. Aku tidak tertarik tentang wahana fisika, yang membuatku tertarik hanya tiga buah kolam renang yang berada pada area olahraga di samping SABUGA. Pikiran itu muncul karena mungkin saat itu aku sedang bersemangat belajar renang karena mengikuti ekstra renang di Sekolah. Aku berharap suatu saat nanti aku dapat berenang ditempat tersebut.

Selang beberapa tahun, akhirnya akupun lulus dari sebuah SMA miliki perusahaan kertas berlogo burung hantu yang bernama PT Kertas Leces. Sebuah SMA elit dengan biaya SPP yang sangat rendah dan keluarga kami masih tetap miskin. Kemudian akupun melanjutkan pendidikan tingguku ke ITB dengan bersusah payah. Di semester 2-ku di ITB aku mengambil mata kuliah olah raga renang untuk memperbaiki teknik-teknik renangku, dan doaku terkabul sudah.

****

Empat tahun berselang dan aku masih belum juga lulus dari ITB. Disuatu sore yang hujan tanpa sebuah rencana aku pergi kesebuah pantai bersama bebera teman kampusku yang sudah dianggap senior karena tak kunjung lulus. Berbekal sebuah peta, tujuan kami adalah Sawarna.

Kami pikir Sawarna tidak terlalu jauh dari Bandung. Kami berangkat pukul 17.00 dan baru tiba pukul 08.00 di sekitar kawasan Sawarna. Ada hal yang menarik saat kami baru tiba dikawasan tersebut. Ada SD disebuah remote area yang letaknya tidak terlalu jauh dari pantai Sawarna. Andai saja aku dapat mengajar disekolah ini ! Aku yakin sekolah ini kekurangan guru ! Membuat pintar anak-anak di pelosok daerah itu lebih menarik dari pada membuat pintar anak-anak di kota besar. Effortnya lebih tinggi! Andai saja aku dapat mengajar ditempat ini, walau tak lama !. Kemudian pikiran itu berlalu saja seperti kami melalui SD tersebut.

Setahun setelah itu akupun lulus dari ITB. Diselipan buku alumni yang aku terima saat kelulusan terdapat sebuah undangan dari sebuah yayasan yang sama sekali tidak terkenal dan mengajak kami untuk bergabung menjadi tenaga pengajar dipelosok negeri. Sempat terlintas untuk bergabung, namun ada banyak tanggung jawab yang tidak dapat aku tinggalkan. Tapi inilah sebuah jalan hidup, di pendaftaran yang berikutnya aku mencoba untuk bergabung karena sudah tidak ada lagi tanggung jawab yang harus aku jalani diluar sana. Pada akhirnya aku diterima menjadi pengajar muda angkatan II, dan Lebak sebagai lokasi penempatanku dimana sebagai satu-satunya lokasi yang berada di pulau Jawa.

Setibanya aku di Lebak, aku baru menyadari bahwa Sawarna adalah bagian dari wilayah Lebak.

Beberapa minggu lalu aku mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Bayah (kecamatan dari Sawarna). Buka sebagai pelancong, tapi sebagai seorang guru yang sedang mencari bibit unggul dibidang sains dalam sebuah rangkaian acara olimpiade sains.

Percayalah kawan, apa yang kita lakukan dimasa lalu akan membantu kita dimasa yang akan datang. Apa yang kita kerjakan dengan bersungguh-sungguh pasti akan berhasil disuatu saat. Kegagalan yang terjadi meski kita telah bersungguh-sungguh adalah sebuah petunjuk arah untuk jalan yang sebaik-baiknya kau lalui.

Saat dirimu memiliki masa lalu yang kuat, maka dirimu juga memiliki alasan yang kuat untuk melakukan sesuatu di masa depan.

Kini aku benar-benar merasakannya, nasi putih yang aku rasakan sehari-hari pun sudah lebih mewah dari nasi aking yang biasa ibuku masak.

Di sela-sela kesibukanku, terkadang selalu aku sempatkan untuk mengajar ekstra olah raga renang. Mengajari mereka teknik berenang yang baik walau hanya sunga yang dapat kami andalkan untuk berlati. Kami adalah orang kampung, tapi gaya berenang kami bukan kampungan.

Untunglah karena aku tidak pernah berdo'a untuk menjadi miskin selamanya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua