The Truman Show (Para Truman)
Indarta Aji 11 April 2012Siapa pun yang membaca tulisan ini tentunya sudah tahu tentang sebuah film yang berjudul “The Truman Show.”, dan yang belum tahu mungkin suatu saat nanti akan tahu betapa uniknya skenario film ini, semacam sebuah film dalam film, dimana film tersebut selalu memperlihatkan kegiatan sehari-hari dari seorang tokoh secara natural tanpa sekenario.
Jim Caarey yang berperan sebagai Truman Burbank adalah tokoh utama dalam film tersebut, sekaligus berperan sebagai tokoh utama dalam sebuah acara reality show yang merupakan inti dari film The Truman Show. Sungguh miris menjadi seorang Truman, hidup pada sebuah pulau dan selalu dihantui oleh perasaan trauma akan laut. Tapi disitulah letak kecerdasan sang sutradara dari acara Truman Show. Dengan halus memaksa Truman untuk tidak pergi kemanapun yang ia inginkan, dan hidup selamanya pada pulau yang berada di dalam sebuah studio dengan cara menyiksannya secara psikologis yang halus. Tapi yang terpenting dari semua ini adalah sekedar fiksi, karena jika tidak tentunya sangsutradara sudah dikenai tuntutan pelanggaran HAM.
Berbicara tentang Seaheaven Island, maka bagiku harus berbicara tentang kampung tinggalku.
Saat kedatanganku yang pertama kali, jika aku bertanya kepada murid-muridku dimana letak Jakarta, maka mereka semua akan menjawab tidak tahu, dan jawaban yang sama tentang apa yang terjadi di Jakarta, bagaimana bentuk kota Jakarta, jenis pekerjaan apa saja yang ada di Jakarta, dan yang lebih menyakitkan bahwa aku sedang bertanya kepada anak-anak yang tinggalnya hanya 80an km dari Jakarta.
Saat aku bertanya siapa Presiden pertama Indonesia, maka mereka terdiam karena tidak tahu. Presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun pun tak dikenali oleh mereka, apalagi yang hanya menjabat selama beberapa bulan. Sama saja jika aku bertanya yang keempat, kelima dan yang terakhir. Padahal rumah mereka tidak jauh dari rumah murid-muridku, Jakarta. Mereka sendiri bingung dimana ibukota Kabupaten Lebak, lebih-lebih ibukota Provinsi Banten.
Ketika aku bertanya apa cita-cita mereka, maka sebagaian besar dari mereka akan menjawab tidak tahu atau terdiam. Hanya satu dua orang saja yang ingin menjadi guru, kyai atau tentara, karena hanya itu pekerjaan yang dapat mereka pandang dan cukup terpandang dimata mereka. Mereka sendiri tidak pernah mengenal apa itu pilot, apa itu pramugari, apa itu ilmuwan, apa itu dokter, apa itu pengusaha, dan apa-apa lainnya yang sebagian besar berada di Jakarta.
Ketika aku bertanya apakah suatu saat nanti mereka ingin tinggal di daerah lain yang lebih baik, maka mereka juga tidak menjawab apa-apa. Banyak dari keluarga mereka yang merantau ke Jakarta, bekerja sebagai buruh atau pembantu dan kemudian kembali ke kampung halaman karena tidak kuat hidup di Jakarta. Itu yang membuat mereka khawatir untuk tinggal di daerah lain suatu saat nanti, dan akan lebih nyaman tinggal di kampung halaman. Mereka tidak tertarik dengan pizza, pasta, brownis, atau yang lainnya karena mereka memang tidak pernah mengenal itu. Rasa-rasanya mereka sudah nyaman dengan apa yang mereka rasakan, karena mereka tidak pernah mengenal kehidupan diluar sana yang lebih nyaman.
Semuanya tiba-tiba menjelma menjadi para Truman di kepalaku, dan itu menyakitkan. Suatu ketika dua temanku yang berasal dari Bandung mengunjungiku. Kata mereka berdua “Kemana saja orang Jakarta selama ini ?/!” Aku sendiri bingung apakah itu sebuah pertanyaan atau sebuah umpatan. Aku menjawab dalam hati “Mungkin mereka mau menonton The Truman Show.” Karena beberapa hari sebelumnya aku baru saja menonton film yang berjudul The Truman Show.
“Memang tidak semua orang bisa disalahkan. Mungkin sebagian dari mereka tidak tahu bahwa ada daerah yang seperti ini yang letaknya tidak jauh dari Jakarta, atau mungkin juga karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara membantunya. Mungkin tulisan ini sedikit memberi warna bagi yang membacanya, dan mungkin ada sebagaian dari pembaca yang ingin memberikan warna lain yang mereka miliki untuk kami yang belum memiliki warna itu dengan bercerita. Murid-muridku tentunya rindu akan cerita-cerita yang berwarna itu. Alamat emailku (indarta_aji@yahoo.co.id) siap menampung warna-warna itu, agar nanti aku ceritakan betapa menariknya kehidupan di luar sana. Agar tidak ada putus semangat untuk menggapai dunia luar. Mungkin di sela-sela istirahat makan siang, atau di sela-sela kuliah dapat kalian tuliskan warna-warna yang kalian miliki lalu kirimkan kepadaku. Siapapun itu akan dengan senang hati aku menerimanya untuk aku ceritakan kepada murid-muridku.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda