Istiqarahku (Arti dari “Kebetulan” Bag. I)

Indarta Aji 11 April 2012

Kadang masih saja belum habis pikir kenapa aku bisa berada ditempat ini. Kadang memang semuanya nampak terasa tiba-tiba dan begitu kebetulan. Lima kali mendirikan usaha selama hampir dua tahun dan pada akhirnya gagal juga. Bahkan shalat Istiqarah terakhirku mengiringi kegagalanku untuk mendapatkan beasiswa di UST Korea hanya disaat-saat terakhir penentuan dengan alasan konyol yang terkadang sering membuatku berfikir apakah ini jalan hidup yang aku minta dari istiqarahku itu dan selalu membuat geleng-geleng kepala sambil tersenyum karena segalanya terlihat begitu konyol soal beasiswa ini.

Persiapan yang matang saat sedang bersiap akan mendirikan sebuah unit bisnis ke enam dibidang pariwisata bersama seorang teman pun harus ku gagalkan tanpa alasan. Bahkan tawaran untuk bekerja disebuah perusahaan yang namanya cukup wah pun terasa tidak begitu menariknya bagiku. Menurut Ayahku, tidak ada yang dapat ia banggakan jika anaknya bekerja disebuah perusahaan multinasional ternama di dunia dengan gaji mentereng sekalipun. Katanya lebih baik aku menjadi seorang peneliti di lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah atau membagikan ilmu sebagai seorang dosen atau guru. “Tapi kan gajinya kecil” Kalimat yang membuat aku bertahan. Tapi pengalaman Ayahku yang berpuluh-puluh tahun bekerja sebagai abdi negara dengan gaji yang sangat kecil membuatnya menang karena telah menghancurkan pertahananku. “Jadi peneliti atau dosen saja. Soal rizki itu gusti Allah yang ngatur. Kalau jadi peneliti atau dosen nantinya ilmumu lebih berguna buat negara.” Toh selama ini dengan gaji yang sangat kecil dirinya dapat menyekolahkan ketiga anaknya di universitas negeri yang terbaik dibidangnya tanpa harus korupsi. Memang tidak berlebihan soal finansial, hanya cukup. Terkadang memang merasa kekurangan, tetapi tidak selamanya akan kekurangan. “Susah-susah bapak nyekolahin kamu, cari uang banting tulang biar lulus dari ITB, tapi sia-sia kalau ilmumu nggak kepakai buat negara.” Kata Ayahku mengakhiri kalimatnya.

Lalu aku bercerita soal Indonesia Mengajar, sebuah yayasan pendidikan yang tidak terkenal sama sekali di usianya yang masih terhitung bulan. Yayasan tersebut mengirimkan anak-anak muda Indonesia untuk menjadi guru di pelosok negeri yang kekurangan guru. Tanpa berfikir panjang Ayahku pun mengiyakan meski dengan perasaan yang sangat khawatir mengingat kondisiku yang pernah mengidap malaria saat di Timor-timur dulu, dan harus dibawa ke Jawa serta melakukan tes darah secara rutin selama beberapa bulan karena malaria yang sudah terlanjur parah. Belum lagi soal demam berdarah yang sejak usia 10 tahun aku rasakan dan sering kali kambuh ketika aku duduk dibangku kuliah yang seringkali disebabkan karena kurang istirahat ketika harus melakukan berbagai pekerjaan tambahan untuk memeberikan tambahan biaya hidup di Bandung beserta tugas-tugas kuliah lainnya yang menumpuk. “Mungkin dikirim ke Papua, atau Maluku. Mungkin juga NTT.” Kataku.

Beberapa hari kemudian Ibuku meneleponku setelah mendengar kabar tentang diriku dari Ayah. Ia melarangku untuk mengikuti program ini karena alasan malaria dan demam berdarah. Tapi mundur dari program ini bagiku semacam menjadi pecundang. Seakan ada jiwa lain yang keluar dan mencacimakiku dengan kalimat-kalimat pecundang hingga membuat diriku harus mempertahankan harga diriku dengan tetap keras kepala mengambil bagian dari program ini walau sebenarnya aku sendiri juga belum diterima. “Memangnya nggak ada yang di daerah Jawa?” kata Ayahku ditelepon. “Ada. Di Lebak.” Jawabku. Tapi menurutku mungkin tidak akan ada satu orangpun yang ingin ditugaskan disana dengan berbagai macam alasan. Aku sendiri beralasan bahwa sepertinya Lebak memiliki lingkungan yang kurang menantang, baik secara sosial maupun geografis karena letaknya yang hanya 80 km dari JAKARTA.

*****

Beberapa hari kemudian aku mendapatkan kabar bahwa aku lolos dalam semua tahap tes seleksi calon Pengajar Muda dan diharuskan mengikuti medical cek up. Kemudian, beberapa hari setelah mengikuti medical cek up akhirnya aku dinyatakan lulus sebagai calon pengajar muda dan diharuskan mengikuti pelatihan selama delapan minggu.

Selama pelatihan, tidak ada hal yang paling menegangkan selain pengumuman penempatan. Karena setiap anak memiliki harapan mereka masing-masing untuk ditempatkan di daerah-daerah yang merupakan menjadi harapan mereka. Apakah harapan itu akan menjadi kenyataan, ataukah harapan itu akan berganti menjadi harapan yang lain.

Namaku muncul bersama lima orang lainnya sebagai sebuah tim pengajar muda Lebak. “Hah!  Lebak!” Serasa mimpi dan benar-benar tidak bisa dipercaya. Tebakanku memang benar, tapi harapanku salah. Mungkin juga ini adalah sebagian dari harapan Ayah dan Ibuku yang khawatir soal malaria dan demam berdarah. Harapan dari teman-temanku di Indonesia Bersinar (komunitas yang aku dirikan bersama teman-temanku lainnya yang aku kenal saat mengikuti serangkain tes calon pengajar muda yang dikenal dengan sebutan Direct Assesment, yang tujuannya untuk membantu membangun Indonesia dalam bidang perekonomian rakyat didaerah terpencil. Walau pada akhirnya komunitas ini vacum). Lalu yang lebih penting lagi mungkin ini adalah jawaban dari soal istiqarah antara beasiswa studi luar negeri, bisnis dan Indonesia Mengajar.

*****

Aku tidak begitu mengenal lima orang dari timku. Hanya sebagian-sebagian saja. Eko lebih aku kenal sebagai orang tak berteman, hanya hp butut yang menemaninya disetiap akhir pekan selama berjam-jam. Karena Ida aku dianggap pahlawan oleh teman-temanku selama training. Main yang satu kelompok pelatihan denganku namun nampak begitu kasat dimataku. Soal Tuti aku tidak begitu perlu tahu, apalagi Medha yang tidak pernah terdengar kabarnya ditelingaku. Tapi semua orang mengatakan bahwa tim kami yang paling solid.

Aku sendiri bingung tentang apa yang harus aku lakukan nantinya pada daerah yang letaknya sendiri tidak jauh dari Ibu Kota Jakarta. Andai diriku diletakkan jauh di luar pulau Jawa, mungkin aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuat daerah tersebut lebih maju. Tapi apa yang harus aku lakukan untuk memajukan sebuah daerah yang sudah maju . Namun diakhir aku mendapatkan sebuah kesimpulan yang baik tentang apa yang harus aku lakukan untuk membuat daerah penempatanku agar jauh lebih maju, dan itu membuatku begitu bersemangat. Tugasku dan tugas teman-teman pengajar muda Lebak lainnya tidak hanya membuat pendidikan di Lebak lebih maju, tapi bagaimana pendidikan di Lebak bisa setingkat dengan pendidikan di kota-kota besar disekitarnya seperti Bogor, Jakarta, Serang, Tangerang dan Cilegon. Setidaknya itu harapan kami berenam beserta para pengajar muda pengganti kami lainnya dalam lima tahun mendatang. Terdengar impossible, tapi aku sendiri tidak sedang berada di massa depan saat ini.

Hari penempatanpun telah tiba. Hanya tim kamilah satu-satunya tim yang hanya melakukan perjalanan darat menuju ke lokasi penempatan, dan semua perkiraanku benar-benar buyar saat kami harus mendorong mobil yang terperosok kedalam lumpur ketika sedang menuju lokasi penempatan. Begitu pula, semakin menjadi saat aku benar-benar tahu kondisi yang sebenarnya. Tidak jauh beda dengan NTT atau Timor-timur ditahun 90an. Membuat depresi diawal kedatanganku.

Bersambung ke... Istiqarahmu (Arti Dari “Kebetulan” Bag. II)


Cerita Lainnya

Lihat Semua