Istiqarahmu (Arti dari “Kebetulan” Bag. II)

Indarta Aji 11 April 2012

Diawal kedatanganku banyak orang yang mengiri bahwa diriku adalah seorang pengusaha karena sebelumnya tim officer IM memang ada yang mengatakan salah satu dari kami adalah pengusaha kepada beberapa warga sebelum kedatangan kami. Walau lebih tepatnya sebagai seorang entrepreneur muda yang berkali-kali gagal mendirikan usaha. Namun aku masih bangga karena tidak pernah menyerah saat mendengarkan kata-kata gagal untuk yang kesekian kalinya.

Ada seorang warga yang seketika menantangku “Kalau memang anda seorang pengusaha, maka buat uang satu miliar menjadi dua miliar di kampung ini !” Ya, aku cukup mengerti mengenai apa yang dia maksudkan. Tapi aku pikir orang itu tidak mengerti tentang kedatanganku ditempat ini, dan bagaimana bisnis itu dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya serta memikirkan berbagai macam faktor yang bukan sekedar materi. Jadi aku hanya tersenyum kepadanya.

Masalah utama diawal kedatanganku bukanlah kondisi geografisinya yang ekstrim walau letaknya tidak jauh dari Jakarta. Tapi tidak adanya teman yang dapat diajak berkomunikasi dalam tataran level yang sama membuat diriku tidak tahu harus berbicara apa kepada setiap orang, yang pada akhirnya membuat diriku lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca ratusan papar digital yang sudah aku persiapkan sebagai obat stress penghilang rasa suntuk. Kubongakar-bongkar lagi hasil penelitianku yang mulai kulakulan sejak tahun 2009 lalu, penelitian yang menjadi alasan kuatku untuk mundur satu tahun dari standar kelulusan normal di ITB.  Hipotesa yang aku beri nama 3E (Education, Economics and Energy, tiga unsur yang terkandung didalamnya). Kuperdalam disetiap malam setelah memberikan les tambahan untuk murid-muridku dan mengikuti pengajian rutin yang hampir setiap hari diadakan, agar aku dapat menemukan kemungkinan konsep ini dapat diterapkan untuk kemajuan di desa ini.

*****

Di akhir pekan pertamaku mengajar, aku berkenalan dengan seorang guru SMP yang hanya lulusan SD. Wajahnya nampak jauh lebih tua dari usia semestinya. Setiap orang pasti bertanya bagaimana seorang yang hanya lulusan SD bisa mengajar siswa SMP, seperti pertanya yang sama dalam pikiranku saat bertemu untuk pertamakalinya. Dirinya hanya seorang guru yang mengajar muatan lokal pertanian, perikanan maupun peternakan. Badannya yang hitam legam dan kekar menunjukkan betapa seringnya ia bertani. Semenjak saat itu kami menjadi teman dan semakin dekat seperti seorang saudara, begitu juga dengan teman-teman pengajar muda lainnya.

Katanya, banyak orang di desa ini yang tidak pernah nyambung jika berbicara dengannya. Empat bulan setelah mengenalnya baru aku menyadari arti dari kalimat tersebut. Bagaimana seorang kampung yang hanya berpendidikan SD memiliki pola pikir penuh dengan visi. Memang sungguh berbeda dengan kebanyakan orang kampung yang lebih memikirkan apa yang dapat mereka makan untuk esok hari, dan memikirkan untuk lusa di keesokan hari dan akan selalu seperti itu. Cara bicara dan isi dari pembicaraannya memang selalu menunjukkan bahwa dirinya benar-benar cerdas. Hanya saja dirinya terlahir di sebuah kampung pedalaman, sehingga cukup membatasi dirinya untuk mengenal dunia luas. Namun itu lah yang menjadi alasannya untuk ingin selalu mencari banyak hal dari setiap orang yang baru dikenalnya dengan berbagai macam hal. Seperti halnya tentang apa yang dirinya lakukan kepadaku dan lima pengajar muda lainnya. Sering mendatangiku, mengajakku berdiskusi apa saja. Katanya “Mumpung Pak Aji masih satu tahun lagi disini. Jadi biar saya bisa serap ilmunya sebanyak-banyaknya.”

Di Sekolah dia menjadi guru favorit murid-murid SMP. Bahkan popularitasnya melebihi popularitas seorang pengajar muda sekalipun. Caranya mengajarnya yang tidak membosankan seakan-akan telah memperlihatkan dirinya menjadi seorang yang berpengalaman dan berpendidikan. Banyak pejabat daerah yang aku kenalkan kepadanya, termasuk Wakil Bupati di tempatku, termasuk teman-teman kuliahku di ITB, dan mereka semua tidak mengira bahwa dirinya hanyalah lulusan sekolah dasar, karena pola pikirnya yang luar biasa menurutku, dan yang lain juga berfikir demikan.

Kami lebih sering berbicara soal pertanian. Walaupun diriku yang seorang fisika, namun kakekku yang seorang pengusaha agribisnis dan ayahku yang penggila bercocok tanam membuat aku mengerti banyak hal soal bertani. Dirinya yang seorang kelompok tani bercerita banyak hal tentang masalah dalam kelompoknya. Bagaimana mengatur management anggota, tata cara mendirikan usaha dan cara mencari pasar yang lebih dia kenal dengan kata “hubungan” atau koneksi.

Akhirnya, setelah sekian lama berfikir dan menganalisis segala kemungkinan. Ku carikan seorang teman yang tergabung dalam keanggotaan entrepreneur muda ITB angkatan 2005 yang kami kenal dengan nama eITB 2005 untuk membantu kami mendirikan sebuah usaha rakyat di daerah ini. Berbekal dengan pengalamanku sebelumnya, Hipotesa 3E-ku yang telah dipublikasi serta pemikiran lain soal cita-cita mendirikan sebuah yayasan akhirnya kami membentuk sebuah social entreprice yang kami beri nama Desa Ternak.

Desa Ternak menjawab segalanya. Tidak ada keraguan lagi bagiku setelah satu tahun kedepan. Diriku akan tetap bisa membangun desa ini walau tidak sebagai seorang pengajar muda walah banyak hal yang memang harus terelakan. Diriku  bersama rekan-rekan eITB 2005 juga ingin menjadi bagian dari orang-orang yang berperan serta dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, walau masih seculi yang dapat dilakukan. Dengan adanya social entreprice maka perekonomian rakyat dapat berjalan dengan profesional karena adanya uang yang mengalir dari proses produksi dan konsumsi. Dimataku, sebagian besar yayasan pada umumnya mendapatkan dana berupa donasi yang dapat aku sebut sebagai uang mati (dana mati karena habis terpakai tanpa adanya proses perputaran dimana proses perputaran uang adalah kunci agar setiap orang mau bekerja keras). Itulah yang menjadi alasanku mengapa memilih social entreprice, dan satu hal yang lebih penting adalah ketika seseorang sudah harus menyekolahkan anak-anak mereka di level pendidikan yang lebih tinggi maka diperlukan biaya yang lebih tinggi, sehingga disinilah diperlukannya lapangan usaha. Masih banyak hal yang telah membuat pemikiran ini benar-benar matang, yang tidak dapat dituliskan dalam tulisan ini, dan tidak ada satu hal pun yang tidak berarti karena setiap hal bagi kami memiliki nilai yang berbobot untuk menjadi bagian dari sebuah pemikiran yang lebih mendalam.

Saat ini Desa Ternak sedang tumbuh, dan Entrepreneur ITB 2005 juga sedang bekerja ektra untuk membentuk sebuah ventur capital yang akan mendanai proyek-proyek masyarakat di tempat ini. Diriku yakin nilai idealisme yang ada pada rekan-rekanku membuat kami semakin kuat menghadapi hal yang lebih berat, dan aku yakin bahwa cita-cita untuk menjadi bagian dari penggerak kemajuan bangsa ini memang menular. Cita-cita yang akan menjadi sebuah kenyataan.

“Dulu saya memang pereman Pak, tapi saya tobat setelah menikah dan punya anak. Bukan jamannya lagi seperti itu. Lagi pula kalau jadi pereman taruhannya nyawa, nggak ada untungnya. Setiap hari saya selalu shalat malam, berdoa supaya doa saya dikabulkan sama  Allah. Supaya ada yang bisa bantu saya untuk membangun kampung saya, membantu orang-orang di kampung saya supaya tidak kemiskinan terus. Mungkin sudah fitrahnya Bapak di utus oleh Indonesia Mengajar di sini, dan entah kenapa saya bisa diangkat menjadi guru pertanian di sini. Kalau saya tidak menjadi guru saya juga tidak mungkin ketemu sama Bapak.”

Terima Kasih untuk kawan-kawanku Andre, Tepe, dan rekan-rekan eITB2005 lainnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua