Ketulusan itu nyata

Ina Marwantina 23 Februari 2014

Tulang Bawang Barat, Rabu 1 Januari 2014

 

Hari ini, tepat 10 hari saya dan teman-teman pengajar muda angkatan 7 hijrah ke lampung, ke kabupaten Tulang Bawang Barat. 2 minggu transisi bersama pengajar muda angkatan 5 terasa sangat melelahkan. Keliling desa, acara di sekolah, di kabupaten dan masih banyak lagi. Satu hal yang berkesan buat saya dalam proses transisi ini adalah ketika saya dan teman-teman Pengajar muda di ajak berkunjung ke rumah Alm. Aditya Prasetya yang kebetulan memang tinggal di lampung. Adit adalah pengajar muda angkatan 6 yang meninggal dunia saat bertugas di Saumlaki Maluku Tenggara Barat tanggal 5 Nov 2013. Saat adit meninggal, saya masih berada di camp di purwakarta untuk mengikuti training. Kabar duka ini langsung di sampaikan mba putri (camp Manajer) sesaat setelah materi di kelas. Suasana kelas saat itu mendadak hening, saya dan mungkin teman-teman yang lain mungkin tidak mengenal sosok adit secara personal, tapi keterikatan kita berada pada jalur yang sama, membuat rasa duka menyelimuti kelas kami, ini kejadian pertama kalinya pengajar muda ada yang meninggal di penempatan saat sedang bertugas.

Hari-hari berikutnya, saat pak hikmat (direktur eksekutif IM) memberikan materi, beliau sedikit menceritakan tentang menginggalnya adit di maluku tenggara barat dan bagaimana beliau mengambil banyak pelajaran dari keluarga adit yang ditinggalkan. Pak hikmat bercerita, saat beliau menghadiri pemakaman adit, ada satu kejadian yang membuat beliau merasa haru sekaligus kagum, yaitu sesaat setelah adit di makamkan, di tengah suasana duka, di depan pusaran adit, pak Nasruminalloh orang tua adit berkata kepada semua yang datang saat itu, kurang lebih seperti ini “ teruskan perjuangan ini, jangan menyerah, saya berharap adiknya adit bisa seperti kakanya, melanjutkan perjuangan kakaknya.” Dari cerita pak Hikmat saya sedikit merinding. Betapa tidak, orang tua yang baru saja kehilangan anak pertamanya dengan tulus dan ikhlas berbicara seperti itu di depan pusaran anaknya. Subhanalloh.

Kalimat itu terdengar kembali saat saya dan teman-teman berkunjung ke rumah Adit. Dan kali ini saya dengar langsung dari orang tuanya adit. Bapaknya berkali-kali bilang dan berpesan “jangan karena kejadian ini kalian mundur, jangan menyerah, jangan cengeng, jangan mengeluh, teruskan perjuangan ini.” Saya tak kuasa menahan haru, apalagi melihat bapaknya yang berusaha terlihat tegar, ibunya yang sesekali masih menangis dan nenek adit yang tak henti hentinya menangis kala menceritakan tentang adit. Dari kunjungan ini, saya belajar arti ketulusan yang sesungguhnya, ketulusan itu nyata adanya. Saya belajar dan berusaha menjaga ketulusan ini bukan sampai akhir penugasan, tapi sampai berhentinya kehidupan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua