Terang di tempat yang Gelap (sepenggal cerita dari Siboru)
Ika Martharia Trisnadi 30 Juli 2011
Pernahkah kalian membayangkan kota Forks tempat bella dan Edward Cullen memulai petualangan cinta mereka? sebuah kota yang selalu mendung, cuaca dingin berembun dan hujan senantiasa menyapa setiap hari. Yup, seperti itulah gambaran Siboru kala musim penghujan menyapanya (musim Timor).
Desa kecil yang merupakan bagian dari kecamatan Fakfak Barat ini memiliki curah hujan cukup tinggi. Meskipun sudah satu bulan aku di sini, tapi tak pernah kusaksikan bulat matahari yang terbit maupun tenggelam. Sang bintang yang amat panas itu selalu tersembunyi oleh tebalnya awan, akan tetapi kau tetap bisa melihat pendaran cahayanya dari balik gumpalan mega mendung itu. Siboru merupakan sebuah tanjung yang merupakan bagian dari kota Fakfak – Papua Barat. Sebenarnya lebih cocok bila disebut pulau, karena satu-satunya penghubung antara Siboru dengan kota Fakfak hanyalah sebuah jalan selebar 10 meter, yang saat ini semakin mengecil dan blm bisa dilalui oleh kendaraan umum. Ruas jalan itu dikelilingi laut sehingga sangat mungkin terjadi abrasi/erosi yg dapat menyebabkan jalan itu terputus, sehingga Siboru menjadi sebuah pulau.
Secara statistic di Siboru terdaftar 82 keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 360 orang. Hampir semua penduduknya bersaudara satu sama lain, mayoritas beragama Kristen, hanya terdapat satu Gereja, satu sekolah dengan beragam suku bangsa. Uniknya di Siboru terdapat kebiasaan untuk memanggil orang dengan nama daerah asalnya. Misalnya Novita dari Ambon maka orang-orang memanggilnya ambon. Ada yang dipanggil Toraja, Bugis, Kei, Biak, Sorong dan untungnya aku tidak dipanggil Jakarta, tetapi dipanggil Kakak Ibu atau mama ibu. Di Siboru hanya guru saja yang dipanggil dengn sebutan ibu atau pak guru.
Sekolah tunggal di sini bernama YPK Siboru, dengan jumlah guru aktif 4 orang (termasuk pengajar muda) maka dari itu perlu keterampilan membelah diri dan multitasking sehingga dapat mengajar secara pararel :P. Meskipun jumlah guru minim, tetapi kebanyakan orang tua di sini telah memiliki kesadaran untuk menyekolahkan anaknya.
Tanah Siboru merupakan tanah kapur yang tidak terlalu subur untuk ditanam dan system airnya menggunakan tadah hujan. Kami menggunakan air hujan untuk minum, mencuci, MCK dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Mayoritas penduduknya bermatapencaharian berkebun. Untuk ke kebun, mereka harus menggunakan perahu karena kebun berada di pulau-pulau sekeliling Siboru.
Salah satu keindahan Siboru, Ia dikelilingi oleh pulau-pulau perawan yang cantik dan menawan. Saya pernah satu kali ke pulau Ega, salah satu pulau terdekat dari Siboru. Pulau Ega berteraskan batu putih bulat, memiliki tiang-tiang pohon kelapa sebagai hiasannya dan hutan perawan di baliknya. Benar-benar seperti film cast away dengan puluhan agas (nyamuk kecil) yg siap menyerang bila kau berani mengusik hutan mereka. Saat pergi ke pulau Ega, saya dan keluarga Siboru-ku mencari ikan dan siput, membakarnya dan langsung menyantapnya. Hm….. walau tanpa garam dan bumbu-bumbu, ikan dan siput bakar rasanya enak sekaliiii….. acara piknik kami sore ini diakhiri dengan memunguti kelapa tua yang jatuh di tanah. Kami membawa sampai 12 buah kelapa tua yang siap dibuat santan di rumah. Saat senja menyapa, Siboru memancarkan warnanya yang berwarnajingga keunguan. Awalnya aku cukup kecewa karena tidak bisa menikmati sunset dengan latar laut tanpa batas yang terhampar tak jauh dari kamarku ini. Namun, desa kecil ini selalu memberikan kejutan keindahan padaku. Suatu sore aku disajikan proses terbitnya bulan penuh (bulan purnama). Purnama di Siboru amat indah, ia muncul ketika hari masih terang ketika langit masih biru kemerahan dan bentuknya bulat penuh layaknya telur asin. Saat gelap menyelimuti tanjung ini, bulan purnama menjadi hiburan tersendiri bagiku. Aku baru merasakan indahnya purnama dan sangat berartinya terang bulan karena aku diselimuti kegelapan. Saat di Jakarta, bulan purnama terasa terasa biasa saja karena sinarnya tersaingi oleh lampu-lampu jalan. Namun di sini bulan nampak indah nian, cantik tak berperi. Sinarnya dinantikan masyarakat kampung, anak-anak berlari cerah di lapangan dan para pemuda duduk di luar rumah menikmati malam terang bulan. Saat aku menatap benda langit yg cantik ini, terlintas olehku memori 50 hari lalu dimana aku dan beberapa pengajar muda menyanyikan sebuah lagu: Jadilah terang jangan di tempat yg terang, Jadilah terang di tempat yg gelap Jadilah jawaban jangan hanya kau diam Jadilah jawaban di luar rumahmu Jadilah garam, jangan di tengah lautan. Jadilah jawaban jangan hanya ucapan Jadilah jawaban jangan tambahkan beban Yup, terangnya purnama mengingtkanku pada janji itu, untuk menjadi terang di tengah kegelapan
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda