Sekolah itu cinta, bukan sekedar kewajiban!

Ika Martharia Trisnadi 6 Oktober 2011

Sabtu pagi, Jam tanganku sudah menunjukan 07.45, tapi hujan masih turun dengan derasnya. Belum masuknya listrik di desa ini membuat rumah kami gelap gulita meski matahari yg tertutup awan mendung telah tergantung tinggi. Ku tengok halaman muka, Nenek, bapak dan mama semua masih terlelap menikmati dinginnya pagi ini dan derasnya hujan yang turun. Aku berdiri di muka rumahku, menantikan kalau – kalau ada anak muridku yang lewat membawa payung, maklumlah payungku yang aku beli di jembatan Benhil-Jakarta itu sudah patah karena tertiup angin beberapa minggu lalu.

“Aku harus ke sekolah” ujarku dalam hati. Aku sudah berjanji pada anak-anakku untuk datang pagi ini dan membacakan mereka cerita. Sabtu pagi adalah jadwal kami untuk berlatih upacara, membaca di perpustakaan dan kerja bakti di sekolah.

Sepuluh menit berlalu lagi, namun belum seorang pun kulihat berjalan menerobos angin kencang itu. Kutimbang - timbang semua opsi yang ada. Bila kugunakan kardus, dalam setengah perjalanan saja aku akan basah kuyup, kalau ku gunakan karung beras, kepalaku akan selamat tapi badanku akan basah kuyup. Lalu bagaimana caranya aku bisa ke sekolah?

Setengah berharap, kulayangkan permohonan agar Tuhan mereda hujan ini sebentar saja. Puji Tuhan, aku teringat akan jas hujan ponco yang aku bawa dari Jakarta. Bergegas ku bongkar ranselku yang telah kusimpan rapi di dalam kamar berlantai kayu itu. AHA… ini dia, senyum lebarku mengembang sambil memeluk ransel dan poncoku “terima kasih buntalan ajaib” ujarku dalam hati.

Aku bergegas menyusuri jalan becek dan berbatu menuju SD YPK Siboru. Aliran air itu dengan deras mengisi setiap celah2 batu di kiri kanan rumah warga. Sepanjang jalan setapak itu, banyak mata memandangku terheran, mereka berkata satu sama lain “Ibu datang, ibu datang.”

Di muka rumahnya, bapak kepala dusun dan bapak pendeta yang ada di sana bertanya padaku “Ibu mau ke sekolah? Ini hujan, anak-anak tidak ada yang sekolah.” kuberhenti sejenak, kupalingkan wajahku sambil tersenyum “Saya mau cek anak-anak bapak, kemarin saya minta mereka datang. Jangan sampai mereka datang lalu tidak ada gurunya” Lalu ku lambaikan tanganku pada mereka dan pada anak-anak muridku yang mengintip dari jendela-jendela rumah itu. Ya, bisa dimaklumi bila anak-anakku tidak sekolah di saat hujan deras mengguyur Siboru. Hanya sebagian saja dari mereka yang memiliki payung. Termasuk di rumahku, bapak dan mama tidak memiliki payung di rumah. Namun, aku harus tetap ke sekolah.

Dengan rendah hati kunyatakan pada diriku bahwa aku adalah guru, yang diguguh dan ditiru, baik oleh muridku maupun oeh masyarakat setempat. Maka sudah layak dan sepantasnya aku menjadikan sekolah sebagai rumah keduaku. Rasa cinta sekolah ini kiranya dapat mengalir pada setiap diri muridku. Sehingga mereka selalu merindukan hari-hari belajar dan bermain di sekolah. Sama ketika ayah membuatku mencintai sekolah, sekolah bukanlah sekedar kewajiban, tetapi kesenangan dan keinginan untuk selalu mengetahui hal baru dan bergembira bersama teman-temanku. 

Di sekolah beberapa anak sudah menungguku. Rasa kagumku bertambah pada mereka karena mereka tidak menunggu dengan berdiam diri, tapi mereka memanfaatkan air hujan untuk membersihkan depan kelasku :). WOW sangat penuh inisiatif……

Segera ku buka pintu perpustakaan dan kami bergegas ke sana. Di tengah dinginnya pagi ini, aku mengajak mereka menghangatkan tubuh dengan cara Senam Riang Anak Indonesia :D Alhasil mereka pun tertawa sambil menirukan gerakan-gerakan video di laptopku.

Bermula dari 6 orang, lalu satu persatu anakku mulai menyusul dan akhirnya berjumlah 36 orang. Selesai senam, kami membaca buku-buku di perpustakaan. Sama seperti minggu lalu, mereka senang dan antusias menyambut buku-buku itu. Kelas kecil ada yang sibuk melihat-lihat gambar saja, adapula yang dengan antusias mendengarkanku membacakan dongeng. Sedangkan, Kelas 5 dan 6 senang sekali melihat atlas, mereka senang melihat dimana mereka berada dan bermain “Mencari ibukota”.

Sayangnya aku hanya punya 1 atlas sehingga mereka harus bergantian. Semoga dalam waktu dekat, sumbangan buku dari teman-teman di Jakarta maupun dari Indonesia Menyala mengirimkan beberapa atlas untuk kami….

Amin.


Cerita Lainnya

Lihat Semua