Nyicil lunasin Amanah (Terima Kasih Penyala)
Ika Martharia Trisnadi 14 Mei 2012Pusat distrik masih sekitar 2 Km lagi. Jalan itu gersang, berdebu dan matahari tepat di atas kepala. Aku menyusuri jalan itu, selangkah demi selangkah menapaki tanjakan beraspal itu. Tangan kiriku memegang tas kebanggaanku yang terbuat dari karung goni, mencoba meringankan beban pundakku yang memikul laptop acer di dalam tas itu. Sesekali aku menyeka keringat yang terkumpul di dahiku.
Sudah dua jam aku menunggu di depan sekolah Perwasak, salah satu sekolah di distrikku - Fakfak Barat, tetapi tak kudapati satu pun angkutan umum yang bisa membawaku ke kota. Memang, ada 2 mobil angkot yang lewat, tetapi sudah penuh dengan durian. Orang kampung menyewanya untuk membawa hasil panen mereka. Hari itu aku baru saja menunaikan kewajibanku, mengedarkan tas berputar-Indonesia Mengajar.
SD Perwasak adalah sekolah kedua yang kukunjungi, setelah YPK Werba - sekolah di pusat distrik. Tas Berputar adalah sebuah program yang mirip perpustakaan keliling, tetapi diedarkan antar sekolah. Tas yang berisis buku-buku bacaan itu ‘menginap’ sementara di satu sekolah hingga gilirannya untuk diambil dan diedarkan kembali ke sekolah lainnya. Kami berharap tidak hanya siswa-siswi di daerah penempatan PM saja yang dapat menikmatinya, tetapi juga siswa yang bersekolah di desa tetangga.
Untuk melengkapi program itu, sejenak aku menyempatkan diri membacakan buku cerita untuk anak-anak di SD Perwasak. Tujuh anak domba dan serigala selalu menjadi bacaan yang menarik bagi anak-anak, begitu pun bagi siswa-siswi di SD Perwasak. Mereka begitu antusias dan terbawa suasana ketika kubacakan buku itu di depan kelas. Bahkan beberapa dari mereka ikut meringis dan menutup mata ketika anak domba itu dimakan serigala.
Selepas berpamit dengan para guru dan siswa, aku duduk di tumpukan batu kali di depan sekolah, kebetulan ada pohon rambutan di atasnya yang menaungiku dari terik matahari pagi itu. Aku menunggu mobil itu sambil mengisi borang-borang transisi. Terbayang muka tim operasi yang mungkin jengkel menunggu para pengajar muda yang terlambat mengisi PR-nya seperti aku, padahal data itu sangat dibutuhkan.
Jam demi jam berlalu, tak terasa arlojiku menunjukan pukul dua belas lewat 5 menit. Sudah 2 jam aku menunggu angkot di sana, pantas saja batre laptopku sudah lemah dan pantatku terasa sakit karena cukup lama menahan permukaan batu yang tidak rata. Akhirnya kuputuskan berjalan ke distrik, karena di sanalah angkot biasanya singgah, sambil berharap ada angkot yang lewat dalam perjalanan menuju kesana. Selain itu aku harus tiba di pelabuhan di kota sebelum jam 3 siang, kalau tidak aku akan tertinggal perahu untuk pulang ke Siboru. Maka lengkaplah alasanku mencapai pusat distrik, walau ku tahu itu jauh.
Aku pun bergegas menyusuri jalan itu, berjalan di tepi berharap cabang-cabang pohon dapat memberi sedikit keteduhan. Jidatku mulai mengkilap karena peluh, terasa bulir-buir keringat mengalir di punggungku, membasahi kemeja biru muda yang kukenakan. Kencangnya sinar matahari siang itu menambah haus dan laparku. Emosi pun mulai memuncak seiring perutku yang merontak.
Aku mulai mencoba mengalihkan perhatianku untuk mengurangi rasa itu. Teryata tak hanya aku yang menikmati panggang mentari siang itu, beberapa ibu-ibu terlihat sibuk membalik buah pala yang mereka jemur di depan rumah. Beberapa dari mereka menutupi kepalanya dengan celana anak-anak, celana itu kini berubah fungsi menjadi topi. Tak jauh dari sana, terlihat seorang pria paruh baya tengah menurunkan berbagai alat dapur dari gunungan perabot di atas motornya.
Beberapa meter di depan, kulihat anak-anak kecil berseragam merah putih lari berkejar-kejaran. Beberapa menggunakan tas punggung, ada pula yang membawa noken (tas anyaman bamboo) berselempang, sebagian malah menyeret tas mereka di tanah sehingga menimbulkan bunyi yang menarik. Mereka tertawa, mereka bahagia di bawah teriknya sang surya.
Ternyata aku tak sendiri, setiap orang melakukan perjuangan demi hidupnya maupun hidup orang lain. Setiap orang melakukan pengorbanan dan membuat pilihan.
Dan kini, pilihan itu ada dua, meratapinya atau menikmatinya? Rasanya aku lebih condong pada pilihan kedua, karena hidupku terlalu berharga untuk diisi dengan keluh dan gerutu. Sekali lagi, aku belajar bagaimana memandang suatu masalah. Terimakasih Tuhan
Ps: terima kasih untuk para penyala yah :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda