Jagoanku yang Malang

Ika Martharia Trisnadi 11 Mei 2012

Namanya Markus Hombore, muridku kelas 6.

Markus bertubuh kekar dan tegap. Tingginya jauh melampaui aku. Agustus nanti usianya genap 17 tahun. Sebagai siswa paling ganteng di kelas enam, aku sering kali meminta bantuannya untuk berbagai hal. Mulai dari hal sederhana, seperti memasang net badminton  sampai dengan tugas memangkas rumput sekolah.

Ia dan 6 siswi  lainnya baru saja menjalani UASBN Awal bulan Mei lalu.  Aku was-was, aku cemas. Pasalnya,  muridku yang satu ini belum memiliki kompetensi yang cukup untuk mengikuti ujian akhir. Ia bahkan belum hafal perkalian dua dan masih terbata-bata dalam membaca.

Hatiku meringis dan rasanya ingin menangis, dilema berat tentunya. Di satu sisi aku melihat dia memang belum pantas diluluskan, bahkan kelakuannya yang sering bolos sekolah (berhenti sekolah sampai 3 bulan) membuatku dan kepala sekolah berpikir bahwa dia akan menjadi contoh yang baik untuk adik-adik kelasnya, bahwa ketika kalian tidak belajar sungguh-sungguh kalian tidak dapat lulus dengan baik. Namun di satu sisi aku mempertimbangkannya masak-masak, bila ia tidak lulus, lalu apakah ia akan melanjutkan kelas VI lagi? Sekarang saja ia malas-malasan,  cenderung tidak mau sekolah, malahan lebih senang bekerja di proyek pnpm mandiri.

Ketidakmampuannya tentu saja bukan murni kesalahannya, kalau melihat pola pengajaran di sekolah tempatku mengajar, SD YPK Siboru, rasanya sangat ,mungkin anak-anak tidak memiliki kompetensi yang cukup menjelang ujian. Hampir satu tahun, tak pernah kujumpai guru di sekolahku lengkap dan mengajar semua. Dari 5 guru tercatat, paling banyak 2 guru hadir mengajar (3 dengan diriku). Seringkali hanya pak Kapisa dan aku atau tidak ada guru sama sekali yang menyebabkanku menjadi guru enam kelas.

Pertimbangan lainnya adalah  latar belakang keluarganya yang cukup memilukan, sebagai anak bungsu dari 12 bersaudara ia termasuk yang terabaikan. Ketika ayahnya meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya meninggal ketika ia duduk di kelas IV. Sejak itu dia hidup nomaden dari kakak yang satu ke kakak yang lain.

Aku melihat dia sebagai korban dari sistem pendidikan yang tidak berjalan baik. Aku ingin sekali menolongnya, tapi mungkinkah meluluskan seorang anak yang tidak hafal perkalian dua? Yang tidak tahu dasar negaranya dan ibukota propinsinya? Aku dilema stadium empat, bingung harus bagaimana… sedangkan umurnya terus bertambah dan remedial UASBN tidak ada di Fakfak Barat.

Walau kadang jengkel dengan dirinya yang jarang masuk sekolah, tetapi aku ingin ia lulus. Sebab bila ia tidak lulus sekolah, sudah pasti ia tak akan melanjutkan sekolah. Pernah terlintas di benakku untuk membujuknya mengikuti kejar paket A, tetapi aku sudah harus meninggalkan kampung ini Juni nanti. Dapatkah penggantiku membujuknya? Bila tidak, bagaimana? Ini bukan games yang dapat direstrart dan diulang, ini menyangkut masa depan seseorang dan aku ikut andil di dalamnya.

Aku berharap-harap cemas… menantikan kabar itu……

Berharap-harap cemas menantikan datangnya tanggal itu…….


Cerita Lainnya

Lihat Semua