Hidup bertumpu pada Tuhan

Ika Martharia Trisnadi 30 Juni 2011
21 Juni 2011-06-21 Pada hari keempat dan kelima di Siboru, saya merasakan hal yang baru. Pesta penyambutan usai sudah, semua orang kembali dengan kebiasaannya. Kakak ipar saya kembali ke tempat tidurnya, karena ia memang sedang hamil muda, jadi kadang moodnya memang tidak baik. Terlebih bila morning sick menyerangnya di pagi hari, maka ia bisa diam dan tinggal di kamr seharian. Seiring bergantinya hari, saya mulai merasakan bagaimana kehidupan sebenarnya di Siboru, terutama di keluaraga saya. Kami benar-benar hidup untuk ‘saat ini’. Sering kali saya dan kakak bingung apa lagi yg harus dijadikan lauk makanan. Terlebih sekarang ini musim Timur, angin dan hujan deras terus menerus mengguyur pulau ini sehingga orang tidak bisa pergi mencari ikan atau pergi ke kebun (kebun ada di pulau2 sebelah).  Jangankan untuk besok, bila saya makan pagi ini, saya akan bingung apa lagi yg bisa dimakan siang dan sore nanti. Ada pula kebiasaan di desa ini bahwa bila ada org bertamu, maka si tuan rumah wajib menyediakan makanan untuk tamunya juga. Pernah suatu waktu (kemarin malam) kami kedatangan 3 org tamu, dengan saya dan kakak semua berjumlah 5 orang (kakak ipar tidak ikut makan bersama karena ia belum bisa makan nasi). Saya mulai bingung, akan makan dengan apa, kami hanya punya beras dan satu bungkus supermi. Akhirnya di tengah gelapnya desa, saya merebus sebungkus supermi dengan air yg banyak supaya cukup untuk kami semua. Saya hanya menambahkan sedikit garam ke dalamnya supaya rasanya tidak hambar.  Ya nasi putih dengan sebungkus indomie rebus untuk 5 orang, dengan itulah kami melewati gelap dan dinginnya malam Siboru bersama. Kami makan dengan penuh sukacita, tidak ada yg complain apalagi mengeluh. Kami benar-benar menikmati dan mensyukuri segala berkat yg ada. Ketika saya khawatir tentang apa yang akan kami makan esok hari, ternyata tanpa terduga hari cerah, sehingga kakak bisa pergi melaut dan mendapat ikan yg sangat besar. Rumah kami pun berlimpah makanan. Melalui hal-hal seperti ini saya mendapat pelajaran berharga, yaitu kami hidup bertumpu pada Tuhan, berpasrah diri terhadap penyelenggaraan Tuhan. Bahwa hidup setiap harinya adalah benar-benar pemberian  Tuhan. kami tidak memiliki puluhan indomie di rak makanan layaknya di rumah, kulkas yang dapat menyimpan makanan, kami juga tak punya sarden ataupun abon siap saji. Namun, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam dan hari demi hari Tuhan memelihara kami. Keadaan ini membuat saya belajar bahwa hidup bukan hanya perencanaan manusia, tetapi ketika kita pasrah dan tulus, maka Tuhan akan tetap mencurahkan rahmatNya pada kita. Selainitu, keadaan ini juga membuat saya memiliki sebuah target yaitu saya harus membangun kesadaran tentang perlunya cadangan makanan. Saya tahu ini memang terdengar bertolak belakang, tetapi saya percaya Tuhan memberikan otak dan kekuatan pada manusia dengan maksud tertentu. Saya berencana menanami pekarangan depan rumah kami dengan petatas (ubi jalar) sehingga bila kami tidak memiliki makanan sama sekali kami memiliki petatas untuk dimakan. Saya tahu ini tidak mudah, karena tanah kami berkapur dan tidak dalam. Namun saya harus tetap mencari cara agar mereka memiliki antisipasi untuk musim paceklik. Saya sadar ada beberapa tahapan yg harus dilakukan untuk mencapai ke sana, bahkan cara menanam ubi saja tidak paham. Itulah sebabnya saya perlu belajar dan saya percaya selalu ada moment “pertama kali.” Semoga kiranya Tuhan senantiasa merahmati kami, sehingga para PM senantiasa dapat berguna dan mampu melewati segala tantangan yang ada.

Cerita Lainnya

Lihat Semua