Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan

Ika Martharia Trisnadi 30 Januari 2012

 

Cintaku bertepuk sebelah tangan, harus ku terima bahwa rasa sayangku tak terbalas......

 

Kali ini bukan kisah cinta biasa, sepenuh hati aku menyayangi dan mencintai Siboru, komplit dengan desir  anginnya, debur  ombaknya, matahari paginya dan terutama dengan masyarakat dan murid-muridku. Aku terlanjur sayang, aku terlanjur sayang.

 

Layaknya orang yg jatuh cinta, aku  menerima semua kekurangannya, tak satupun ku hiraukan, tak satu pun membuatku ingin pulang ke Jakarta, jantung Indonesia. Mulai dari kekurangan air bersih, kekurangan listrik, kekurangan sinyal, kekurangan tenaga pengajar,  sampai kekurangan bahan pangan pun ku terima dengan rela. Tak lagi ku perhitungkan, malah menjadi pemacuku untuk membuatnya semakin baik.

 

Aku pun rela melakukan apa saja untuk siboru, mulai dari mengorbankan tenaga, pikiran, perasaan dan doa, semuanya kulakukan hanya untuk membuatnya lebih baik. Tiap kali kulihat serunya anak-anak berenang di laut,  memanjati pohon, bermain bola atau dengan semangat membantuku membakar rumput, membuatku semakin mencintai mereka. Terlebih mendengar mereka yg bertanya setiap harinya "Bu hari ini tong (katong) les kah?"

 

Tiap kali lelah, terbayang muka anak-anakku yg dgn semangat berkata "bu katong nyanyi jari jempol" atau "bu, hari ini katong main cat yah?" Siapa yg tidak jatuh hati ketika murid-muridmu berlomba memberikan jambu terbaik yg mereka miliki, siapa yg tdk terenyuh ketika 5 org remaja menempuh 10 km jalan kaki hanya utk membawakan sayur untukmu? Siapa yg tahan utk mencintai anak2 loveable seperti mereka?

 

Namun, ternyata cintaku tak terbalas jua. 6 bulan sudah aku menghabiskan waktu di sini tapi ini tak mengubah pendirian para guru, mereka ingin bantuan (tenaga pengajar) ini dihentikan. Menurut mereka tak lagi perlu dikirim tenaga pengajar IM di tahun depan.

 

Aku pun tak tau pasti alasannya, tp tampaknya mereka terbeban dengan kehadiranku. "Kita kasian kalau lihat org dari luar cape-cape di sini, sedangkan guru lokal tara buat apa2, lebih baik tidak ada lagi biar dinas tahu rasa. Biar sekolah tutup sementara"

 

Bahkan kepala sekolahku berkata "sudah cukup Ika saja yg merasa susah. Saya sudah bilang Jakarta lebih baik tidak usah kirim lagi." Berulang kali kujelaskan kami memang datang utk daerah yg membutuhkan, kesusahan adalah bagian dari tugas kami, tapi tampaknya itu hanya masuk telinga kanan dan telinga kiri kepsekku.

 

Ketika aku mengusulkan utk mencicil membeli laptop guna membangun lab komputer, dia tidak menyetujui hal itu dengan berkata " kalau ika pulang, barang2 ini hancur. Lagipula anak-anak kampung tidak usah pakai2 komputer" "kan ada pengganti saya pak, anak-anak dan pemuda akan belajar setidaknya 5 tahun, sampai program ini selesai" ujarku meyakinkannya  "Ah tidak bisa, su tidak ada guru2 yg dikirim ke sini. Tahun ini saja cukup, guru2 juga sudah tidak mau mengajar, Pak Kapisa tahun depan juga  pindah!"

 

 

Entahlah apa yg kulakukan sehingga mereka tidak ingin program ini dilanjutkan. Apa yg harus kuperbuat??

Ditutupnya sekolah mungkin memberikan sedikit efek jera utk dinas, tapi bagaimana dengan anak2ku?

Bagaimana nasib 86 bocah yg tiap hari penuh semangat ke sekolah, menantikan gurunya, meski  tahu guru mereka hanya masuk 5 kali dalam sebulan.

 

Bagaimana nasib anak-anakku ketika pendidikannya terhenti?

Tak ingin semangat anak-anakku padam, tak ingin mereka berhenti mencintai sekolah..

 

Apa yg harus kulakukan, agar cinta ini bersambut?? Adakah keajaiban utk mengubah hati mereka? Jujur aku merasa gagal, kehadiranku bukan menginspirasi para guru menjadi lbh rajin, malah membuat mereka ingin menutup sekolah.

 

 

ketika cintaku tak terbalas, ketika cinta itu bertepuk sebelah tangan..... :(


Cerita Lainnya

Lihat Semua