Antara Resah dan Pasrah

Ika Martharia Trisnadi 31 Agustus 2011

Malam itu aku terdiam, gelisah tak bisa menutup mata di salah satu kamar losmen di kota Fakfak. Ditemani AC Window yang berisik dan kasur busa bersepraikan kain putih polos. Jauh lebih nyaman bila dibandingkan kamarku di kampung, terlebih di kota tersedia air bersih tanpa batas,listrik 24 jam dan jaringan sinyal yang baik. Entah mengapa kenikmatan yang kuperoleh ini malah mengingatkanku pada rumah di Siboru.

Pikiranku melayang jauh ke tempat tinggalku yang terletak sekitar 90 Km dari kota ini. Teringat semua keterbatasan, baik ketrbatasan air bersih, keterbatasan pangan, keterbatasan informasi dan teknologi, keterbatasan ilmu bagi murid-murid tercintaku. Kasur empuk dan nyaman itu tak membuat mataku terpejam lelap, justru mengingatkanku akan tugas-tugas yang harus kuselesaikan dalam setahun 10 bulan ke depan.

Banyak, sangat banyak sehingga aku bingung harus memulainya dari mana. Kegalauanku malam itu membawaku pada memori 5 hari lalu, saat aku memberikan les pelajaran tambahan di rumah. Salah seorang murid kelas 5 yang sudah berusia 15 tahun, belum lancar membaca dan belum hafal perkalian 3. Bahkan untuk menjumlahkan bilangan satuan, masih harus menggunakan tangan dan kakinya. Lalu murid-murid kelas 6 belum tahu penggunaan huruf capital pada kalimat dan belum tahu menghitung luas persegi panjang. Bahkan ketika ku perlihatkan bangun datar lingkaran mereka menyebutnya dengan kata “bulatan” :D Geli dan miris perasaanku saat itu.

Ingin rasanya ku teriakan pada dunia, Helloooo.. ketimpangan pendidikan benar nyata adanya. Ini bukan cerita sinetron, bukan dramatisasi media massa, bukan juga novel fiksi. Ini nyata dan aku berada di tengahnya. Ku ingin mereka tahu bahwa di bagian Timur Indonesia, masih banyak anak-anak yang belum mendapatkan hak pendidikan mereka dengan layak. Selain kekurangan tenaga pengajar, sebagian besar guru yang ada belum menjalankan tugasnya dengan baik, seperti hanya hadir 1 minggu dalam 1 bulan masa kerja. Hanya memberi tugas tanpa menjelaskan serta datang dan pulang sekolah seenak perutnya. Kedisiplinan dan tanggung jawab guru dalam melakukan tugasnya masih sangat harus kudu wajib hukumnya untuk ditingkatkan. Selain itu dibutuhkan kepedulian dan rasa memiliki dari guru tersebut

Ya tugas pokokku memanglah mengajar anak-anak, tetapi mengajar saja tidak akan menyelesaikan masalah. Selain akan babak belur karena terlalu lelah menjadi guru enam kelas (bukan kelas enam), inti masalahnya tidak tersentuh. Bagaimana jadinya bila tidak ada bantuan tenaga pengajar? Maka hal membangkitkan kedisiplinan guru dan rasa tanggung jawab guru di kampungku menjadi salah satu agenda penting dalam buku kuningku (diary).

Selain itu ada banyak tugas lainnya, seperti mengajarkan anakku tentang pramuka, majalah dinding, baris-berbaris, lancar membaca, korespondensi, paduan suara dan lainnya… Idealnya aku berharap muridku bukan hanya berkembang dalam hal akademik, tetapi juga cakap dalam mengelola emosi, kreatif dan berinisiatif tinggi. Hal penting lainnya yang menjadi PR-ku adalah melakukan advokasi pendidikan pada para orang tua. Hal ini dimaksudkan meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya peran keluarga dalam membentuk kecerdasan kognitif dan afektif anak. Harapanku orang tua tidak lagi mengajak/memperbolehkan anaknya ke kebun serta mau membantu anak belajar di rumah, sehingga percepatan pendidikan anak dapat dicapai bersama.

Sementara itu perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat setempat terhadap pentingnya asupan makanan bergizi bagi pertumbuhan dan kecerdasan anak. Sehingga konsep “yang penting kenyang” tidak lagi terjadi. Sebagai catatan, di kampungku kelaparan adalah hal yang pantang terjadi, tetapi konsep ‘yang penting kenyang’ menjadikan kebiasaan makan nasi kosong atau nasi berkuah teh adalah hal yang lumrah. Muridku tetap tumbuh besar tetapi sistem kekebalan tubuhnya sangat rentan, kecerdasan otak dan system pemulihannya juga sangat rendah. Kebiasaan ini juga membuat penduduk setempat tidak membiasaakan diri memiliki cadangan makanan untuk saat paceklik.

Ya, banyak memang. Aku mulai mencicilnya satu persatu, seperti memprovokasi masyarakat setempat menanam sayur di pekarangan rumah, memberikan les pelajaran tiap malam, atau mengunjungi rumah muridku satu persatu. Namun, rasanya hal itu belum cukup, aku butuh percepatan, aku butuh langkah yg lebih efektif, aku butuh tangan-tangan local.

Fiuh….. dan akhirnya kegelisahan itu membawaku pada suatu rasa serah diri. aku tau aku tak mampu melakukan sendiri, tak bisa mengandalkan diriku sendiri. Let me do the best and He will complete the rest…. Amen.


Cerita Lainnya

Lihat Semua