Yordan, an englishboy from Rote

Ice Nopianti 6 Oktober 2013

Hari kedua di dusun Lopolain tempat aku akan tinggal setahun, aku mulai berkenalan dengan tetangga yang juga adalah sanak saudara dari keluarga hostfam-ku. Maklum di dusun ini dominan fam Sinlae. Aku mulai ke rumah-rumah tetangga yang radius tiga puluh meter. Tiba-tiba saja ada segerombolan anak mengikutiku dari belakang. Aku serasa putri yang dikawal banyak pengawal. Sampai di rumah oma, aku hanya berkenalan sebentar lalu disibukkan dengan anak-anak yang penasaran dengan orang baru yang berkerudung ini. Kabarnya  aku muslim pertama yang ada di dusun ini, berkerudung pula. Malah awalnya banyak yang menolak kedatanganku (dari cerita yang kudengar, beberapa orang khawatir aku akan mengusik agama mereka. Selintingan orang membayangkan akan ada suara adzan).

“Howayu mem?” seorang anak hitam dekil tapi manis mengejutkanku.

“wah, su bisa bahasa Inggris ya? Hebat!” aku menyenyuminya, dia tersenyum bangga.

I’m fine. Thank you. What about you?” dia menggaruk kepala yang mungkin memang gatal. Spontan teman-temannya tertawa.

What is your name?” Tanyaku penasaran.

“mai nem is Yordan” dengan senyum mengembang karna berhasil menjawab pertanyaanku. Aku tebak dia kelas 6 mungkin pernah diajar pak Rian atau Ibu Kristia.

“Yordan dan teman-teman kelas berapa?” aku pikir mereka satu kelas karna tinggi mereka hampir sama semua.

“Beta kelas 4 mem” lalu yang lain bergantian menyebutkan kelas masing-masing. Bahkan ada yang SMP tapi badannya tidak kelihatan seperti anak SMP.

Setelah hari itu ada banyak anak-anak yang berkenalan denganku. Tapi jujur aku payah mengingat nama. Aku hanya ingat Yordan dan adikku Trisno.

Hampir setiap pagi Yordan menyapaku dengan “good morning mem”

Aku semakin bersemangat merespon dengan pertanyaan dalam bahasa Inggris, lalu dia akan kebingungan tapi tidak kapok mempraktekkan ‘English’ ala dirinya.

Menurut cerita Ibu Werni, salah seorang guru yang juga adik dari bapak angkatku dan adalah Ti’i (tante) dari Yordan. Saat pertama anak-anak melihat wajahku di foto yang diprint oleh Ibu Kristia, banyak yang tidak menyukaiku. Terutama Yordan, katanya wajahku galak dan mereka lebih menyukai foto temen PM-ku yang lebih kalem. Hiks..

Di minggu kedua di sekolah aku sudah mulai mensosialisasikan lomba menulis KONFA yang akan diadakan dalam waktu dekat. Sepertinya ada beberapa yang tertarik terutama setelah kuberitahu hadiahnya bisa jalan-jalan ke Jakarta. Ada 4 orang yang mendaftar dari kelas 6. Lalu 1 orang dari kelas lima dan 1 orang dari kelas 4, Yordan.

Setelah memilih satu dari lima judul. Aku meminta anak-anak yang ikut lomba mulai menulis selama liburan semester. Selama dua minggu liburan, aku sedikit khawatir mungkin anak-anak sudah lupa dengan lomba menulis yang aku koar-koarkan. Ternyata dugaanku benar, di hari pertama masuk sekolah hanya Intan yang sudah mulai menulis.

“be son jadi ikut bu” Refan said.

“kenapa?” aku cukup kaget padahal Refan adalah murid yang paling banyak bertanya saat sosialisasi.

“be takut pi jakarta” jawabnya serius.

“Kan nanti kalau menang Bapak Kep temani ke Jakarta”, bujukku.

“iya benar bu?” aku menggangguk sambil tersenyum lega.

“tapi be son mau tinggalkan mama?” wah anak yang baik.

“memang mama sendirian di rumah? Son punya saudara koh?”

“be pung adik ada dua” katanya sambil nyengir.

“eh! be son mau ikut! be pamalas!” huff berkurang deh pesertanya.

Setelah Refan, Debri juga mengundurkan diri. Lalu aku mulai memarkan tulisan Intan untuk memotivasi anak-anak yang lain.

“awii tulisan Intah gagah!” komentar beberapa anak.

Aku tersenyum penuh harap. Mudah-mudahan tiga peserta yang tersisa mau menulis.

Aku terus memotivasi mereka sampai aku sendiri pesimis melihat tulisan Intan yang adalah sang juara satu di kelas, penuh dengan editan. Sampai yang ke tiga kali memperbaiki Intan dengan tegas mendatangiku “ibu ini tulisan beta, be son mau ulang lai. Su sakit tangan beta menulis”

“ya sudah” aku tak bisa memaksa lagi. Dua anak lainnya juga sudah mengundurkan diri.

Sampai seminggu sebelum deadline aku tidak mengungkit soal tulisan lagi. Tapi saat aku memperlihatkan tulisan Intan yang sudahku ketik ke guru dan beberapa anak. Tiba-tiba datang Yordan nimbrung ingin membaca.

Lalu tiba-tiba Yordan meminta kertas dan ballpoin. Seperti ada ide besar di kepalanya. Saat itu adalah 10 menit menjelang apel siang, sampai-sampai ia tidak ikut apel. Aku membiarkan saja mungkin idenya sedang meletup ingin keluar seperti popcorn dalam imajinasiku.

Finally, jadilah lima baris dobelpolio. Artinya hanya ada satu paragraf. Yah lumayan.

Good Yordan!” semangatnya patut dipuji.

“feri gud mem” ia mengkoreksi. “Yes, Very good!”

Pertama kali membaca tulisan Yordan, lumayan readable lah. Meskipunpun masih ada huruf yang ketinggalan. Ada satu kata terakhir tak terbaca.

Lalu besoknya aku pamerkan tulisan Yordan ke teman guru. Sebelumnya aku baca ulang. Hah! Aku baru menyadari kata yang terakhir yang kemarin unreadable ternyata adalah ‘tengs’. Oh.. mungkin ‘thanks’

Sekali lagi Yordan membuatku tersenyum geli.

Sore hari, ketika home visit ke rumah Yordan (sambil mengajak Yordan les ke dusun sebelah) Aku mengobrol sebentar dengan mama Yordan. Ternyata dugaanku benar, mama Yordan dulu pernah bekerja di Singapura sebagai pahlawan devisa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua