Selamat Ulang Tahun Papa dan Mama

Ibrena Merry Sella Purba 27 Februari 2014

Hari ini aku duduk bersama anak-anak. Bercerita dengan mereka. Mengajar mereka. Mendengar keluh kesah mereka.

Hari ini aku memilih tidak menempuh jarak 6 km untuk mendapatkan sinyal dan berucap salam, “Selamat Ulang Tahun” seperti yang seharusnya dilakukan oleh seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya.

Bukan Papa, bukan karena aku tak menyayangi kalian.

Bukan Mama, bukan karena tak ada hasrat untuk mendengar suaramu.

Rindu itu tak dapat digantikan oleh apapun.

Posisi kalian tak dapat ditukar oleh apapun.

Namun, lewat kehadiranku di hadapan anak-anak ini, aku hendak mengabdi padamu orangtuaku.

 

Aku ingat saat kalian menuntunku dalam berjalan. Aku ditemani kemanapun aku pergi. Kalian tak pernah meninggalkanku. Kalian tahu bahwa ketika aku ditinggal, aku pasti akan jatuh, terluka, atau menangis untuk sekedar mengungkapkan rasa takut. Aku belajar untuk tak meninggalkan anak-anakku, meskipun sering aku gagal, Pa, Ma. Beberapa kali kutinggalkan mereka karena harus mengurus banyak hal di ibukota kecamatan maupun ibukota kabupaten. Bermil-mil jauhnya aku terpisah dari mereka karena kepentingan lain. Betapa lamanya aku membiarkan mereka sendirian karena akupun punya tanggung jawab di tempat lain. Aku jahat ya Pa, Ma? Aku biarkan mereka menangis sendirian. Nyatanya, mereka buktikan bahwa mereka jauh lebih hebat dariku ketika kecil dulu. Janji mereka untuk rajin membaca selama aku tak ada, mereka penuhi. Sekembalinya aku, mereka segera melapor bahwa mereka telah memenuhi janjinya. Dua anakku yang awalnya hanya tahu huruf, sekarang dapat membaca. Betapa luar biasanya mereka. Kupeluk mereka erat.

Aku ingat betapa sabarnya kalian mengajarku saat banyak hal tak kumengerti dan betapa lambannya aku memahami. Berulang-ulang kalian mengajarku. Berulang-ulang kalian menjelaskan. Kalian mengajar dengan keras agar aku tak manja dan menjadi malas. Tiap kesempatan kalian pakai untuk mengasah otakku. Sekarang, lihatlah aku. Aku berusaha mengajar mereka sampai mengerti. Lihat aku Pa, Ma. Betapa kurang sabarnya aku. Banyaknya standar kompetensi yang belum mampu mereka capai karena tidak diasah oleh guru mereka sebelumnya saat mereka masih kecil, membuatku hampir putus asa. Mengulang dari dasar dan mengajar berulang-ulang membuatku tak sabar menghadapi keterbatasan mereka. Masih adakah kesempatan bagiku untuk membantu mereka mengejar ketertinggalan?

Aku ingat betapa tegasnya kalian mendidikku. Peraturan kalian tetapkan untuk ditaati tanpa kompromi. Kalian mengajarku tentang arti kedisiplinan dan ketaatan yang akhirnya membantuku menyesuaikan diri terhadap norma lingkungan dimana aku berada. Akhirnya, aku pun mengajar anak-anakku untuk hidup disiplin. Namun, apa yang terjadi Pa, Ma? Nasihatku tak didengar. Perintahku tak ditaati. Peraturan yang kami sepakati bersama pun mereka langgar. Bahkan, tingkah laku mereka makin liar diluar pengawasanku. Aku hampir menyerah Pa, Ma. Ketidakkonsistenan guru dalam menerapkan peraturan, budaya kekerasan dalam keluarga mereka, dan ketiadaan nasihat dalam tiap langkah mereka, membuat mereka sering keluar dari jalur yang seharusnya. Mereka menjadi sulit mengerti tentang apa yang benar dan apa yang salah.  Kasihan mereka yang telah terbiasa hidup tanpa aturan dan norma. Aku masih terus berjuang untuk membiasakan mereka.

Seperti kalian yang selalu hadir untukku. Nasihat kalian yang selalu jadi pengingat bagiku. Doa kalian yang selalu menyertaiku. Semangat kalian yang menjadi teman bagiku. Seperti itu jugalah aku ingin menempatkan diri bagi anak-anakku yang mungil ini selagi masih ada kesempatan bagiku. Aku ingin mereka memahami kasihku dalam keterbatasan yang kumiliki hingga suatu saat nanti mereka menjadi orang-orang hebat. Seperti Papa dan Mama yang berjuang keras menunjukkan kasih padaku dalam keterbatasan kalian.

 

Terimakasih Papa sudah memaklumiku.

Terimakasih Mama telah memahamiku.

 

Aku mengasihimu orangtuaku :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua