info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Selamat Datang!

Ibrena Merry Sella Purba 22 Juni 2013

19 Juni 2013.

Perjalanan pertama menuju desa dimulai.

Siang itu, pembicaraan cukup alot untuk memutuskan kendaraan yang akan digunakan menuju desa. Aku tak tau apa-apa, jadi aku hanya mendengarkan debat alot antara Ibu Pia, guru SDK Lamdesar Barat yang menyambutku dan Bapak Hanan, pengajar muda sebelumnya.

Setelah debat alot itu, akhirnya diputuskan bahwa kami akan menaiki ketinting bersama Bapak Oce, pasangan sang ibu guru, dan satu orang teman Bapak Oce. Ibu guru akan dijemput lagi oleh sang suami, keesokan harinya. Barang bawaan terlalu banyak sehingga tidak bisa memuat seluruhnya di dalam ketinting. Awalnya aku ingin meminta naik ojeg saja. Perjalanan laut tak terbayangkan olehku. Namun, kondisi berkata lain. Ojeg langganan Bapak Hanan sudah pergi bersama penumpang lain.

Terkejut. Aku baru tau bahwa yang dimaksudkan dengan ketinting adalah perahu. Ketinting, perahu kecil yang sesungguhnya hanya bisa memuat sekitar 7 orang. Ketinting, perahu kecil yang ditempelkan mesin agar dapat berjalan.

Penghuni ketinting siang itu ada 4 orang, ditemani oleh 3 carrier besar, 3 tas backpack, 1 tas kecil, 1 pelampung, sekarung beras dan tikar. Terlalu banyak menurutku. Bisakah kami sampai dengan selamat? Pertanyaan itu terus terngiang, haha. Yang membuat lebih deg-degan, aku diajak untuk duduk di bagian depan perahu.

Oke, petualangan dimulai.

Perjalanan normal dari Larat menuju Lamdesar Barat adalah 5 jam. Perjalanan dengan jalur laut harus dilakukan sebelum air meti (surut) karena ketinting tidak sanggup melewati laut dalam. Ketinting hanya dapat berjalan di pinggir pantai dengan arus gelombang yang rendah. Dalam perjalanan menuju desa tempat aku mengabdi nanti, beberapa desa yang dilewati adalah desa Watidal, Keliobar, Kelaan, dan Lamdesar Timur. Lamdesar Barat adalah desa paling ujung di Pulau Larat yang seringkali kurang diperhatikan karena kondisi geografis yang sulit. Dulunya, desa ini sering disebut Koratutul karena posisinya yang terujung.

Perjalanan kali itu, kami tempuh dalam waktu 7 jam. Kami berangkat dari pelabuhan Larat pukul 13.30. Di sepanjang perjalanan aku disuguhi pemandangan laut, pantai dan desa yang sangat cantik. AKu tidak mampu menggambarkannya dengan kata-kata yang indah. Segala kekhawatiran di awal perjalanan tadi segera sirna ketika melihat semburat sinar matahari yang sangat cantik di balik awan-awan. Aku segera terhipnotis oleh jejeran pohon-pohon yang memagari pulau Larat dengan segala keunikannya. Beberapa kali kami bertemu dengan beberapa jenis burung yang tak kukenali dan kupikir hanya ada di belahan bumi selain Indonesia. Mereka terbang menyusuri permukaan air laut untuk mencari nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya.

Cantik!

Perjalanan yang lama pun jadi tak terasa karena banyaknya pengalaman hidup, kisah menarik, dan idealisme yang tertutur diantara 2 rekan yang punya misi sama untuk membangun Lamdesar Barat.

Selama perjalanan, beberapa kali kami harus mendorong ketinting karena air terlalu surut sehingga ketinting terus menghantam bebatuan. Kami pun beristirahat cukup lama di tengah pantai sambil menunggu air pasang kembali. Sebagian besar orang mungkin sudah dongkol dan memaki jika berada dalam situasi seperti ini. Namun, untukku, perjalanan 7 jam kemarin adalah perjalanan paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidup.

Dalam istirahat sore itu, aku mengamati dua sosok asli orang Tanimbar yang bertutur dengan penuh semangat tentang kisah-kisah nenek moyang mereka. Aku tidak mengerti. Untuk menutupi rasa heranku, kuangkat kamera menutupi wajahku dan kurekam pembicaraan mereka. Suatu saat nanti, ketika bahasa Tanimbar sudah resmi menjadi bahasa sehari-hariku, akan kudengarkan kembali tutur mereka.

Aku juga diperkenalkan dengan biota-biota laut asli Maluku oleh mereka. Sosok bintang laut, babi laut, teripang, dan penghuni laut disini berbeda sekali dengan para penghuni laut yang pernah kujumpai di tempat lain yang pernah kulihat, seperti Kepulauan Seribu dan pantai-pantai di Jawa Timur. Cantik!  

Setelah air kembali pasang, kami pun melanjutkan perjalanan. Nyanyian Bapak Oce pun berkumandang di tengah perjalanan. Tiba-tiba, segala suara kami terhenti karena ... golden sunset sore itu cantik sekali. Pancaran sinar oranyenya mendarat ke permukaan laut dengan mewahnya. Karena cahaya cantik itu berada di belakang ketinting kami, aku akhirnya menoleh ke belakang. Kami sibuk menikmati cahaya matahari sambil mengabadikan momen indah itu. Entah kenapa aku merasa bahwa akan ada pemandangan yang lebih cantik yang dihasilkan oleh matahari. Aku kembali menghadap ke depan ketinting. Ternyata benar! Ada pelangi. Pertama kalinya kulihat, pelangi sempurna.

"Coba kalian gambarkan perasaan atau apapun yang kalian pikirkan tentang keberangkatan kalian ke penempatan nanti. Jadikan gambar itu sebagai pengingat dan penanda keberangkatan kalian", salah satu fasilitator mengarahkan kami saat memasuki minggu terakhir pelatihan sebelum keberangkatan.

Ketakutan, banyak penanda ketakutan yang kugambarkan di kertas itu. Namun, dukungan dari keluarga tim menjadi kekuatan bagiku. Gambaran tentang harapanku pun kutorehkan di kertas itu. Aku menggambar segerombolan anak-anak yang senang sekali menyambutku bersama dengan orangtua piaraku di depan rumahnya. Kugambarkan semburat pelangi sempurna yang sangat indah di atas tanah Lamdesar Barat.

Mata hanya bisa menatap sambil memuja kebesaran Tuhan yang mewujudkan secuil harapanku di secarik kertas minggu lalu sebelum keberangkatanku. Pelangi sempurna.

Aku segera menyenandungkan, “Ada pelangi di matamu yang membuat diriku gugup tak bergerak. Ada pelangi, di bola matamu yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu."

"Ah Tuhan, aku cuma bisa memandang. Tak sanggup lagi tangan ini mengeluarkan seonggok kamera saking kaget dan gugupnya. Ya Tuhan, betapa Kau sayang padaku. Kau nyatakan janji penyertaanMu lewat keberadaan pelangi ini", ucapku lirih dalam hati.

"Ciyeh, Lamdesar Barat tak sabar menyambut kedatanganmu Ren", goda Bapak Hanan. Aku cuma bisa terdiam dan tersenyum memandangi pelangi. Tak sanggup berkata apa-apa lagi.

Hari sudah mulai gelap. Aku mulai kedinginan. Perjalanan belum selesai. Sekali lagi, aku tidak menjadi bosan dan tidak menjadi dongkol karena Tuhan nyatakan penyertaanNya melalui sinar bulan dan bintang yang sangat terang malam itu.

Rasanya aku sedang berada di ruangan besar dengan nyala lampu menyinari sekeliling ruangan dengan cantiknya. Gambaran malam itu persis sekali seperti film "Life of Pi", ketika Pi terkatung-katung di perahu saat malam tiba. Takjub! Pemandangan yang sangat ingin kunikmati langsung saat menonton film kesukaanku itu akhirnya terwujud juga malam itu.

Pukul 20.30, pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah Lamdesar Barat. Segerombolan anak-anak yang masih belum mampu kukenali menghampiri kami untuk membawakan barang-barang. Aku disuguhi doa dan pasir penanda penyambutan di keningku.

Selamat datang di Lamdesar Barat, ibu guru!


Cerita Lainnya

Lihat Semua