info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Belajar dari Sebungkus Nasi

Ibrena Merry Sella Purba 4 Juli 2013

Akhirnya, keputusan yang dinantikan dengan penuh harap itu datang juga. Setelah menunggu 2 hari, akhirnya kapal ferry Egron diizinkan untuk mengarungi laut menuju pulau-pulau yang telah menjadi tujuan rutin kapal ini.

Sudah hampir 1 minggu, kondisi cuaca sedang tidak bagus. Angin timur bertiup sangat kencang. Hujan badai pun turun hampir setiap hari. Kapal ferry Egron yang dijadwalkan berangkat hari Selasa pukul 16.00 mengalami pergantian jadwal keberangkatan sampai 4 kali dan akhirnya diizinkan berangkat hari Rabu pukul 07.30. Dampak yang tidak disadari dan tidak diantisipasi penumpang adalah PERUT.

Perut? Maksudnya?

Ya, hhmm.. keberangkatan ferry yang tak kunjung pasti sampai menit terakhir keberangkatan menyebabkan awak kapal dan penumpang sulit memberi informasi pada orang-orang di pulau-pulau tujuan. Kesulitan sinyal juga memperparah kondisi ini.

Tujuan pertama ferry ini adalah Pulau Sera. Kapal bersandar sebentar untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Disinilah perjuangan memuaskan perut dimulai. Aku sangat lapar. Wajar toh? Sekarang sudah jam 13.30. Perjalanan 6 jam sudah diarungi. Aku pikir, seperti biasa, akan ada penjual nasi yang berebutan masuk ke tiap sudut ruangan untuk menjajakan jualannya. Setelah menunggu 15 menit di kamar, aku mulai tak sabar. Tak ada tanda-tanda penjual masuk. Aku mengajak temanku untuk segera keluar. Tak disangka, di luar, orang-orang sudah berebutan menghampiri penjual tiap kali ada penjual baru datang dari perahu ketinting. Pembeli mengejar penjual. Haha.

Pemandangan unik ini akhirnya aku nikmati saja selama kurang lebih 30 menit sambil bergurau dengan teman dan awak kapal lain. Wajar saja hanya sedikit penjual yang menjajakan jualannya. Mereka tak tau kalau ferry tiba pukul di 13.30. Biasanya, ferry tiba di Pulau Sera pukul 22.00. Aku dan temanku harus puas karena bisa mengantongi sebungkus kacang dan sebotol sirup hasil perjuangan kami.

Salah satu awak berkata serius dalam candaannya, "Beta su biasa begini kalau kapal datang terlambat. Sekali-sekali katong harus belajar puasa toh? Umat Islam saja bisa puasa sebulan, kita juga harus belajar."

Yup, benar. Daripada harus berkelahi hanya karena sebungkus nasi, lebih baik bersabar. Belajar puasa, hehe.

"Katong tunggu 6 jam lai. Di Pulau Wunlah ada lai yang jual nasi. Puasa dulu 6 jam ya nona. Haha." gurau awak lain.

Awak kapal tampaknya masih memupuk harapan. Beberapa awak berdiri di baris terdepan pintu ferry. Aku dan temanku hanya berdiri di belakang sambil menikmati kacang kami. Tiba-tiba keajaiban datang. Ada satu ibu datang dengan ketinting membawa beberapa bungkus nasi. Aku datang mendekat walaupun tak bisa menandingi kekuatan bapak-bapak yang berebut posisi terdepan. Tiba-tiba awak kapal yang telah membeli 2 bungkus nasi menoleh ke belakang seperti hendak mencari seseorang. Dia melihat ke arahku dengan sumringah.

"Nona belum beli toh? Ini beta ambilkan buat nona deng temannya."

"Loh, itu buat bapak toh. Bapak yang ambil. Beta makan kacang saja mo."

"Jangan. Nona seng boleh puasa. Beta saja yang puasa." kata bapak itu sambil menyodorkan 2 bungkus nasi ke tanganku.

Tiba-tiba ada sahutan, "Kalau ibu seng mau, buat beta saja toh."

Ada sahutan lain lagi, "Beta beli saja ibu!"

Sontak aku kaget, "Yang ambil bapak ini toh. Harusnya ini buat beliau, pak."

Akhirnya awak kapal itu menyuruhku menyingkir. Kusodorkan selembar uang untuk mengganti uang yang telah dia keluarkan pada penjual tadi dan aku segera menyingkir dari kerumunan itu. Terimakasih Bapak.

Temanku kaget sekali melihatku membawa 2 bungkus nasi. Kami segera menuju ke tempat salah satu penumpang yang juga menjadi korban sebungkus nasi. Dia tidak memperoleh satu bungkus nasi pun untuk anaknya. Kami nikmati nasi tersebut berempat.

Temanku bercerita, "Ada pemandangan unik tadi Ren. Ada satu bapak yang sudah membeli ikan besar. Lalu dia keluar lagi, dia berhasil mendapatkan kasbi. Lalu dia keluar lagi, dia berhasil mendapatkan 2 bungkus nasi. Ketika melewatiku, dia hanya tersenyum sambil menunjukkan nasinya lalu segera pergi. Aku udah geer aja. Haha."

"Seandainya bapak itu mau berbagi pada penumpang lain yang kurang beruntung", pikirku.

Dia melanjutkan, "Yang lebih lucu lagi, waktu aku mau beli kacang untuk kita, ada guru yang mendekatiku lalu mengambil sebungkus kacang juga. Ketika aku hendak membayar, tiba-tiba dia bilang ke penjual bahwa aku yang akan membayarnya. Dia tersenyum malu-malu ke arahku. Speechless aku. Haha."

"Seandainya ada kesadaran untuk tidak sesuka hati memanfaatkan keberadaan orang yang dikenal", aku bergulat dengan pikiranku.

 

Dari sebungkus nasi, kami belajar.

Dari sebungkus nasi, kami bisa begitu terharu.

Dari sebungkus nasi, kami bisa tertawa begitu keras.


Cerita Lainnya

Lihat Semua