Guru Satu Hari
Ibrena Merry Sella Purba 20 Januari 2014Bulan Januari 2014. Suasana liburan masih melekat di lingkungan desaku. Anak-anak masih saja berkeliaran di lingkungan desa pada saat jam pelajaran karena membantu orangtuanya mencari agar-agar di laut. Beberapa guru juga tampak belum pulang dari kampung halamannya. Jadilah, ibu guru kesulitan untuk mengajak anak-anak mengikuti les pelajaran seusai sekolah. Ditambah lagi dengan angin kencang dan hujan yang tak kunjung berhenti menghempaskan dirinya ke bumi. Sore itu, ada 3 calon guru yang hadir untuk mendapatkan training khusus.
“Ibuueee, katong su bapanggil tapi dong seng mau datang”, lapor Maria padaku.
“Laamaaeee ibu, katong mulai sudah”, ucap Aleka tak sabar.
“Muua tee, katong mulai sudah”, ku ajak anak-anak masuk ke rumah untuk memulai les.
Hari itu, sesungguhnya aku ingin mengajak anak-anak berkreasi dengan membuat amplop sendiri sebagai tempat mereka menyimpan hasil tulisan untuk sahabat pena mereka. Namun, karena hanya 3 orang yang hadir saat itu, tampaknya tak seru kalau kami hanya sekedar berkreasi saja.
“Karena cuma 2 nona dan 1 nyong yang datang hari ini, ibu percayakan kamong jadi guru besok ya...”, ide itu tiba-tiba muncul begitu saja.
“Aaaaaaahh, seng maauu ibuuu. Dong enak, seng datang seng jadi guru! Katong seng bisa ibuu!”, seperti dugaan, anak-anak langsung menolak permintaanku. Ya, ketakutan untuk tampil di depan umum segera menyeruak dalam diri mereka.
“Seng apa-apa, katong coba do. Ibu yakin kamong bisa. Nanti bisa jadi macam ibu. Jadi guru yang ajar-ajar dong. Ibu ajar do, kamong coba, habis itu kamong latihan sendiri.”
“Tapi ibu ajar do eee...”, teriak mereka memastikan bahwa gurunya tidak akan membiarkan mereka tampil tanpa persiapan matang.
Sore itu, wajah penuh keseriusan tampak pada Aleka, Monika, dan Maria, tiga guru cilik yang sedang mempersiapkan dirinya untuk mengajar besok.
“Lipat dua do. Gunting. Lipat kecil panjang kiri kanan. Lipat kecil di bawah. Lipat besar di atas. Gunting sadiki. Lem.”, anak-anak mencoba mengulang secara rinc, setiap instruksi yang telah kuberikan.
Tak perlu diajar dua kali, mereka langsung berinisiatif mengambil lembar kedua untuk mengulang melipat amplop kembali. Sesekali mereka menanyakan pada ibu gurunya, apakah urutan lipatannya sudah benar atau apakah instruksi yang mereka ucapkan sudah benar. Mereka mengulangnya kembali untuk amplop yang ketiga. Kali ini tanpa bimbingan ibu guru. Mereka sudah bisa!
Keesokan harinya, tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Tiga guru cilik ini datang lebih awal dan segera mendatangiku di kelas.
“Ibu, nanti jadi toh? Katong su ulang-ulang di rumah.” Lapor mereka pagi itu.
Aku cuma tersenyum simpul dan menyuruh mereka duduk kembali. Hari ini akan jadi hari yang sangat istimewa.
Pagi itu aku mengambil posisi di bangku siswa. Kukatakan pada murid-muridku yang lain bahwa hari ini kami kedatangan tiga guru istimewa yang akan mengajarkan sesuatu kepada kami. Jadi, selama satu harian ini, aku bersama murid-murid lainnya akan menjadi murid. Lalu, kami harus memanggil tiga guru cilik ini dengan panggilan “bapak guru” dan “ibu guru” selama sehari penuh. Anak-anak segera tertawa melihat tingkah malu-malu tiga guru cilik ini. Dengan tersipu, mereka maju ke depan kelas. Mereka mengambil kertas A4 yang telah kuletakkan di meja guru dan membagikannya kepada teman-teman mereka. Saking bersemangatnya, tanpa aba-aba, tiba-tiba mereka sudah asyik melipat sendiri di depan dan melupakan murid-murid yang kebingungan memegang kertas. Aku tertawa keras sekali pagi itu.
“Bapak ibu guru, tunggu dulu kah. Katong ini belum tau. Bapak ibu dong kasi tau pelan-pelan biar katong bisa ikut.”
“Oh iyo lai eee.. Hahahaha..”, ucap Maria sambil ikut tertawa karena menyadari kesalahannya.
Dengan segera, mereka memperbaiki kesalahannya. Mereka secara inisiatif membagi tugas. Monika membantu beberapa anak perempuan, sedangkan Aleka membantu anak laki-laki. Maria bertugas sebagai guru utama yang memberikan aba-aba. Pemandangan yang sangat menarik pagi itu. Anak-anak pun menjalankan perannya dengan baik. Beberapa yang merasa kesulitan, segera memanggil “guru cilik” untuk membantunya.
“Ibu Mariaaeee, jang banyak bicara do kah. Bantu beta doo..”, ucap anak murid Lis yang terburu-buru mengikuti arahan ibu guru Maria. Ibu guru cilik ini segera mendatangi Lis dan membantu melipat dengan cara yang benar.
“Su selesai samua tooh? Ana, katong lem kalau sudah. Ana, hias-hias amplop.”, ucap Ibu Maria memberikan instruksi terakhir untuk amplop kreasi buatan mereka.
Amplop cantik hasil karya murid-murid dan guru cilik telah jadi! Amplop-amplop itu segera terisikan oleh surat-surat yang telah mereka tulis untuk sahabat penanya.
Aku terkagum-kagum melihat karya mereka. Bukan hanya aku, ternyata orangtua pun sependapat denganku. Beberapa waktu lalu, saat menumpang ketinting menuju kota kecamatan bersama orangtua murid, sang ibu bersemangat menceritakan tingkah anaknya.
“Ibu yang ajar anak-anak buat amplop ya? Aleka dong langsung ajar kakaknya buat amplop. Kakaknya panggil teman-teman anak SMP supaya ikut Aleka buat amplop surat. Anak-anak besar dong itu sa kaget kok Aleka bisa ajar eee. Dong sa sampai oros tadi itu seng tau buat te. Aleka kou ini malah bisa ajar-ajar ee. Memangee.”, cerita orangtuanya Aleka penuh kebanggaan.
Hari itu mereka belajar untuk percaya diri. Mereka belajar memimpin orang lain. Mereka belajar untuk bersimpati dan memperhatikan teman di sekeliling mereka. Mereka belajar bagaimana membangun hubungan yang baik dengan teman-teman dalam satu tim. Mereka belajar menyampaikan informasi yang dapat dimengerti oleh orang lain.
Berkat “Guru Satu Hari”.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda