info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Eri ! Jakarta Sudah Menunggu

Ibda Fikrina Abda 22 Maret 2017

 

“Bu, suaranya hilang !” kata Eri.

“Belum selesai tadi ngobrolnya?” tanyaku.

Eri menggeleng

“Sinyalnya enggak bagus! Coba pindahkan ke atas lemari handphone nya,”

 

Percakapan saya dan Eriansyah, salah satu muridku yang saat ini duduk di kelas V SDN 19 Rambang. Sore itu, cuaca sedikit kurang mendukung lantaran hujan turun dari pagi padahal Eri harus melakukan wawancara “Sekolah Petualang” yang menentukan dia bisa ke Jakarta atau tidak.

Pukul 13.00 WIB usai sekolah berakhir, Eri menghampirku yang sudah menunggunya di ruang perpustakaam. Perpustakaan meenjadi tempat dimana sinyal seluler lumayan bagus. Tetapi hari itu pun saya harus berkali-kali memindahkan posisi telpon genggam untuk mencari posisi terbaik. Rak buku paling atas menjadi titik terbaik yang membuat Eri harus berdiri menggunakan headset dengan posisi telpon genggam di atas rak.

Jika bisa menarik waktu, saya masih ingat pertemuan pertama dengan Eri, dia memberiku surat yang isinya sebuah pantun dan cerita pendek yang memberiku semangat kala itu. “Aku ingin menjadi penulis,” Eri pernah berkata demikian. Tetapi beberapa waktu lalu ia juga ingin menjadi Tentara, seperti kebanyakan muridku yang lain.

Eri berbeda dengan temann-teman dikelasnya. Ia terbilang cakap dalam menangkap pelajaran yang telah ia berikan. Kesukaannya dalam membaca juga memberikan ilmu baru yang tak dimiliki murid lainnya. Tak heran, ia menjadi juara kelas sejak kelas I SD. Suatu hari saya pernah bertanya bagaimana ia belajar, sedangkan di rumahnya ia tak memiliki penerangan listrik, mungkin hanya lampu senter yang ia gunakan di rumah.

“Sore Bu belajarnya,” jawabnya. Mendengar jawaban Eri saya hanya tersenyum bangga. Bagaimana tidak, di penempatan saya listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) belum pernah dinikmati warga. Untuk penerangan, warga harus menyewa genset dari pemilik genset terbesar di talang. Tetapi Eri dan keeluarga belum menyambung genset lantaran biaya genset yang memberatkan keluarganya.

“Jakarta tuh seperti apa, Bu,” tanyanya kepadaku

“Ehmm.. Jakarta tuh ramai, banyak gedung dan kendaraan besar. Kamu mau kesana,?” saya kembali bertanya. Dengan yakin ia mengangguk.

Hari ini Eri membuktikan bahwa mimpinya untuk menyapa ibu kota bisa terwujud.. Hasil wawancara menyatakan Eri lolos dan menjadi perwakilan kami di program “Sekolah Petualang” di Jakarta.

“Gimana perasaannya,” tanyaku

“Senang Bu! Ibu naik pesawat ya?”

“Pasti!” jawabku.

Kejadiaan ini terulang lagi. Perasaan bahagia ini saya alami lagi. Ah, perasaan yang tak bisa terlukiskan saya rasakan berulang kali di penempatan. Saya bangga melihat proses mereka. Saya iri dengan semangat dan keyakinan mereka akan suatu hal. Padahal saya sering meragukan kemampuan saya dalam mencapai sesuatu. Tetapi mereka menyadarkan saya bahwa memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Eri saja bisa! Selamat, nak !!.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua