info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bahagia Itu Hanya Sebatas Sudut Pandang: Apa Arti Bahagiamu?

Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi 29 Juni 2016

IHitam saut karena tinta

Rasa pekat pahit biasa

Selamat datang Ibu Shinta

Selamat mengabdi ibu di desa

“Bagaimana perasaan ibu? Apakah sudah tidak sabar bertemu anak-anak? Mari kita mengawali dengan sesuatu yang positif. Kata orang, bahagia itu adalah sebuah sudut pandang. Kesenangan itu diperoleh dengan cara pandang kita terhadap semesta. Dan seindah-indahnya kebahagiaan adalah kesenangan untuk merajut mimpi dalam sebuah kumparan positif bernama Indonesia Mengajar. Tantangan satu tahun ke depan sudah pasti ada dan tak ada yang mampu memastikannya. Tetapi jika nanti tantangan itu sedikit menyusutkan langkah kita, selalulah ingat Ibu Shinta, bahwa bahagia itu hanya sebatas sudut pandang.”

Itulah surat pertama dari Bang Ucok alias Afif Alhariri Pratama, Pengajar Muda Musi Banyuasin (Muba) Angkatan X yang saya gantikan. Bandara menjadi saksi pantun ini diucapkan dan surat ini berpindah tangan. Diwarnai dengan penyematan mahkota kertas bertuliskan “Ratu Karang Makmur”, dan tradisi mengunyah sirih sebagai simbol bahwa kami resmi disambut dan diterima sebagai Pengajar Muda Muba Angkatan XII. Sempat kami mendapat sedikit tantangan dari penjaga bandara yang merasa tidak nyaman kami sedikit ribut dengan tepuk-tepuk dan suara tawa kami yang riang.  Namun, itu tak menjadi soal mengingat kami adalah Pengajar Muda yang terbiasa berada dalam kondisi tertekan. Hehehe. Sungguh tak menyangka sambutan yang diberikan akan se-wow itu. Balutan kain khas Sumatera Selatan membuat para Pengajar muda angkatan X terlihat begitu menarik dan total menyambut kami.

Hari berganti hari dan masa transisi desa, kecamatan, dan kabupaten selama dua minggu kemarin bersama Pengajar Muda X  telah usai. Hari ini adalah hari pertama saya di desa sendirian. Perasaan saya masih biasa saja ketika di dermaga tadi siang, namun malam ini ada perasaan aneh yang saya rasakan. Saya merasa sedih dan takut, entah karena apa. Apa mungkin karena saya sendirian? Atau saya sedang mencoba beradaptasi? Atau saya sedang keluar dari zona nyaman saya? Di tengah kekalutan perasaan ini, tak sengaja saat merapikan barang-barang saya membaca kembali surat dari Bang Ucok. Jujur, awalnya ketika pertama membaca surat itu di bandara saya tidak terlalu menjiwai isinya dan hanya lewat seketika. Berbeda ketika malam ini surat kecil itu kembali ku lihat dan ku cermati kata demi kata. Ternyata maknanya sungguh luar biasa.

Bahagia itu hanya sebatas sudut pandang. Itu berarti saya bisa menjadi bahagia apa pun yang terjadi, termasuk malam ini. Sudah layak dan sepantasnya saya bahagia bisa kembali ke desa naikspeedboat bersama bapak dan ibu piara di saat teman-teman lain sendirian di perjalanan. Bahagia karena akhirnya hari ini tiba, hari yang akan mengajarkan saya bagaimana mengolah perasaan. Bahagia karena hari ini listrik tepat menyala. Sekedar informasi, listrik di desa saya hanya menyala dua hari sekali selama enam jam. Bahagia karena tidak ada sinyal di desa sehingga saya bisa menulis blog ini dan tidak sibuk dengan notifications sosial media saya. Bahagia karena saya bisa berbuka puasa dan mencuci baju malam ini. Bahagia karena bisa makan pempek seharga Rp 1000/biji yang rasanya enak (beli di gang dekat Ampera). Bahagia karena bisa menata barang-barang saya dan menghias kamar saya. Bahagia karena bisa mendengarkan lagu-lagu favorit saya dari handphone yang tetap berguna walau tak ada jaringan seluler. Dan bahagia-bahagia lain yang akan sangat banyak bila dituliskan semua.

Terimakasih Bang Ucok telah memberikan awal yang posiitif dan rangkaian kata indah nan penuh makna. Sekali lagi, jangan lupa bahagia karena bahagia itu hanya sebatas sudut pandang saudara-saudariku sekalian. Selamat mencari dan menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang terjadi hari ini :D


Cerita Lainnya

Lihat Semua