Kak Mariyam: Wanita Asli Bajayau Tengah yang Memiliki Cita-cita Membangun Desanya

Ahadyah Ayu Umaiya 28 Juni 2016

Wanita kelahiran 1987 yang berprofesi sebagai guru honorer SDN Bajayau Tengah 1 ini tersenyum saat tanganku memotret dirinya yang tengah rehat sejenak di sebuah bangku kayu. Senyum terkejut nampak tersungging dari bibir wanita yang telah 3 minggu ini menjadi kakak angkatku. Wanita yang akrab disapa Kak Mariyam ini selesai mengajakku dari Pasar Nagara via jalur darat sekitar 1.5 jam dari desa Bajayau Tengah. Jalanannya pun tak bisa dikatakan mulus. Jalan yang masih berbatu, berlekuk-lekuk permukaannya bekas hujan, dan licin sering membuat pengendara tergelincir dan paling apes terperosok masuk ke rawa yang ada di kanan kiri jalan itu.

Hawa terik yang menyengat siang itu, memaksa Kak Mariyam untuk menghentikan laju motornya. Aku turun dari motor dan mengikutinya duduk sejenak menikmati pemandangan rerumputan liar menghijau yang tumbuh subur di bentangan rawa nan luas. Warna biru dari langit dan putih dari awan menyatu membentuk perpaduan warna yang cantik. Garis horizon membatasi dengan jelas kedua unsur antara angkasa dan bumi, membuat pemandangan alam selatan Borneo ini tampak semakin mempesona. Hal demikian, tentu mampu menghilangkan aroma kelelahan dari raga kami.

Di sela-sela istirahat, aku tiba-tiba tergelitik untuk sedikit mewancarai Kak Mariyam seputar alasan sidin* menjadi guru SD honorer di desanya sendiri. Aku ingin tahu dari bibir wanita yang masih single ini, sebab seperti yang kita tahu bahwa kebanyakan anak muda negeri ini tidak tertarik mengambil S1 PGSD. Setelah lulus dari pendidikan sarjananya, pemuda pemudi kita rata-rata tidak mau lagi kembali ke desanya—termasuk pula penulis cerita ini saat ini, hehehe.

“Kakak, mengapa pian* setelah lulus S1 lalu mengambil keputusan yang berbeda dari pemuda pemudi kebanyakan?? Tinggal di desa kakak dan mau-maunya menjadi guru honorer di SD yang jauh dari akses umum seperti ini?” Pertanyaanku ini tidak hendak merendahkan desa Bajayau Tengah , tetapi lebih pada aku ingin mengetahui respon sidin ketika ada seseorang melontarkan pertanyaan tipe seperti ini. Pertanyaan semacam ini pun sering dilontarkan oleh kawan-kawan, kerabat, dan keluarga kepadaku ketika aku lebih memilih Indonesia Mengajar sebagai pengajar muda di daerah minim fasilitas, “Mengapa kamu mau susah-sudah mengajar anak-anak SD di pelosok sana? Bukankah mencari pekerjaan di Jawa lebih mudah bagimu dan mudah mau kemana-mana (fasilitas publik mudah)?” Kira-kira seperti itu analoginya.

Ada rasa salut dan bangga yang begitu mendalam pada Kak Mariyam saat dia menjawab, “Hahaha Yu e, memang ketika kita mengabdi di kampung sendiri lebih susah daripada di kampung orang. Ketika pian berada di kampung orang, tentu pian akan lebih dihargai dan didengarkan. Tapi, Yu e, bagaimana pun ulun lahir dari desa ini. Ulun handak* membangun desa ini, lewat pendidikan dulu, baru nanti ulun jadi pembakal* membangun desa Bajayau Tengah.” Kak Mariyam sedikit terkekeh kemudian melanjutkan ceritanya lagi. Aku masih hikmat menyimak penjelasannya. Aku mencoba memaknai setiap kata yang diucapkan kemudian menyimpan ke dalam folder catatan di otakku. Karena aku bukan wartawan tak perlu lah aku memakai bolpion dan kertas, hehehe.

“Meskipun, Yu e, jadi guru honorer itu gajinya kecil, tapi ulun tetep seneng Yu e. Ulun ingin mengamalkan ilmu yang ulun punya biar bisa jadi orang yang bermanfaat. Ulun ingin lihat anak-anak desa kita pintar, kada putus sekolah Yu e. Hmm selain itu, bagiku mengajar anak-anak bisa menghilangkan penat, jenuh, dan rasa kesepian. Mereka bisa menghibur lewat tingkah polos dan lucu mereka. Benar begitu kada?? Ayu merasakan itu juga kah?”

Aku mengangguk membenarkan pernyataan Kak Mariyam. Memang ketika mengajar anak-anak dengan menggunakan hati, sensasi yang dihasilkan terasa luar biasa. Kebahagiaan akan meningkat beberapa kali lipat seolah-seolah beban hidup yang ditanggung oleh pundak akan terasa ringan. Segala bentuk emosi negatif hilang setelah melihat senyum, semangat, dan keceriaan yang terpancar dari wajah anak-anak yang kita ajar.

Kemudian Kak Mariyam menyambung kata-katanya lagi, “Makanya Yu e, Mbak ini aktif bergabung di PKK Bajayau Tengah, juga Mbak berusaha aktif ikut di berbagai acara dan kepanitiaan di desa dan kecamatan, ya agar suatu saat bisa membangun desa ini.” Kak Mariyam memanggil dirinya ‘Mbak’ sebab sidin tahu bahwa aku adalah orang Jawa, hehe.

“Tambahan finansial juga kah?” selidikku penasaran. Kulihat alis Kak Mariyam bergerak ke atas. Dia terlihat antara ingin mengutarakan jawabannya ya atau tidak.

“Huum. Hahaha… untuk memberikan ke mamak juga, Yu e. Mamak sudah tua, jadi perlulah ulun memberikan hasil keringatku ke mamak,” jawab Kak Mariyam mantap.

Wahhh saat kudengarkan jawabannya yang terakhir ini, jujur aku semakin salut dan kagum pada wanita asli desa Bajayau Tengah ini. Andai semua guru SD di negeri ini memiliki semangat yang sama seperti Kak Mariyam, bukan tidak mungkin permasalahan pendidikan SD sedikit demi sedikit teratasi dengan hadirnya niat yang tulus seorang guru dalam mengamalkan ilmunya kepada anak-anak, calon penerus estafet kepemimpinan negeri ini. Meskipun guru itu masih sebatas honorer. Guru honorer di pelosok-pelosok negeri ini menurutku bagian dari relawan pendidikan. Sebab honor yang minim tidak menjadikan alasan utama untuk tetap hadir tepat waktu di sekolah, dan mengisi kelas-kelas dengan harapan agar anak-anak tetap bisa menikmati haknya sebagai seorang siswa. Mengutip quote Pak Anies Baswedan bahwa menjadi relawan itu bukan tidak ternilai, tetapi ia menjadi begitu bernilai karena dedikasi terbaik yang telah dilakukannya.

“Kak Mariyam tidak tertarik jadi PNS kah?”

“Tertarik juga. Tapi Yu e, ulun menikmati saja proses menuju ke sana. Bukankah menjadi guru honorer itu adalah nikmat dari Allah? Kalau kada rezeki jadi PNS, ya tak masalah. Dicoba terus saja,” jawab Kak Mariyam menutup percakapan kami. Dia tertawa kecil.

“Ayo pulang!” Kak Mariyam mengajakku pulang. Aku mengangguk. Aku pun membonceng di belakang Kak Mariyam. Wanita itu memacu laju motornya lebih kencang agar cepat tiba di rumah. Aku menengok ke belakang memperhatikan bangku kayu reot dan pohon besar yang berdiri gagah di samping bangku itu. Kemudian mengalihkan tatapan mataku pada punggung datar sosok wanita di depanku.

Kini aku kembali menemukan aktor penggerak lokal di desa Bajayau Tengah selain Kak Halimah, kakak kandung Kak Mariyam. Semoga dirimu bersama kakak perempuanmu dapat menjadi pemantik perubahan pendidikan di desa kelahiranmu, Kak… Mari kita bersama-sama bergandengan tangan untuk mewujudkan perubahan itu selama 1 tahun ke depan!

 

Bajayau Tengah,  24 Juni 2016/18 Ramadhan 1437 H

Salam pengabdian,

 

Ahadyah Ayu Umaiya, S.Si

 

Catatan kecil Bahasa Banjar

*Handak: akan

*Pembakal: kepala desa

*Pian: kamu, anda

*Sidin: dia, beliau

*Ulun : saya

 

 

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua