Pemotong Getah Bisa Jadi Guru

Hilda Lu'lu'in Nanda Alfira Devi 10 Maret 2013

Namanya Fitri, remaja putri kelas VIII di SMPN SATAP 04 Bunut Hilir. Rambutnya agak keriting dan kulit yang putih kemerah-merahan. Fitri seharusnya duduk di kelas XI SMA. Tiga tahun dia tidak sekolah dan menjadi  penyadap getah karet. Fitri pernah bercerita bahwa awalnya dia malu untuk melanjutkan sekolah ke SMP karena usianya yang sudah berlebih. Namun kini Fitri sangat bersyukur karena  dua tahun yang lalu ia mengikuti nasihat ibunya untuk melanjutkan sekolah.

Fitri anak yang sangat pendiam. Jarang aku melihatnya nongkrong di tempat Kak Neng (penjual makanan dekat sekolah) sebelum kelas dimulai ataupun saat istirahat seperti murid-murid yang lainnya. Jika aku mempersilahkannya  maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal atau percakapan Bahasa Inggris, dia selalu maju dengan muka merah karena malu. Meskipun tampak malu-malu, Fitri selalu bisa mengerjakan soal-soal dengan lancar dan benar. Ia sangat menyukai pelajaran Biologi dan tidak pernah absen mendapatkan nilai tertinggi di pelajaran itu.

Liburan semester ganjil kemarin, Fitri mengalami musibah saat membantu orang tuanya mencari uang dengan menambang emas di desa tetangga yang mengakibatkan gangguan syaraf. Hampir dua bulan ia berobat ke kota dan tidak mengalami kemajuan. Kelas terasa kurang tanpa kehadirannya.  Keadaan Fitri membaik setelah diobati secara tradisional. Namun demikian saudaranya menuturkan bahwa kemungkinan besar Fitri tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Sangat kecewa rasanya ketika mendengar berita itu. Apalagi sebelum liburan berlangsung Fitri menuliskan sebuah cerita :

 

               Nama saya Fitri Muyanti. Saya adalah anak yang mandiri di sekolah maupun di rumah. Saat sekolah saya tidak pernah jajan. Karena saya berfikir, kalau jajan setiap hari uang saya habis. Uang yang diberi Ayah dan Ibuku untuk jajan di sekolah saya tabung. Supaya saya bisa melanjutkan sekolah lagi. Supaya saya bisa seperti teman lain yang bisa sekolah dan mengejar cita-cita saya. Jika cita-cita saya tercapai saya akan membahagiakan kedua orang tua saya.

                Saya sebagai anak yang mandiri, kerja untuk membiayai sekolah diri sendiri. Pekerjaan saya adalah memotong getah. Setiap pagi saya motong getah bersama ibu saya. Saya dan ibu saya berangkat ke kebun menggunakan sampan dan dayung. Kami memotong getah dengan perlahan-lahan supaya kayu yang kami potong tidak mudah mati.

                Saya seorang anak pemotong getah. Kadang-kadang berangkat dari pagi sekitar pukul 06.00 WIB dan pulang hingga pukul 11.30 WIB baru pulang dari kebun. Kadang aku dan ibu lapar setelah pulang memotong getah karena belum makan dan minum. Tapi untung ada kakakku di rumah. Dia sangat rajin memasak lauk pauk untuk kami semua. Ayahku bekerja sebagai nelayan. Hasil dari ayah bekerja sebagai nelayan itu yang kami masak.

                Saat air pasang, kami memotong getah hingga tergenang air. Kami memotong getah di dalam air yang sangat dingin.  Bila memotong getah di waktu banjir, saya banyak menemukan binatang. Terutama seperti ulat, kaki seribu, semut, lintah, siput, dan lain sebagainya yang hinggap di pohon. Sebenarnya saya sangat takut sekali memotong getah disaat banjir. Tapi kami tidak peduli dengan air pasang yang melaputi tubuh kami. Yang kami peduli adalah makan dan minum untuk kami sekeluarga. Mau tidak mau kami harus bekerja. Kalau tidak bekerja kami tidak akan makan.

                Memotong getah, itulah harapan saya untuk bisa sekolah seperti teman lain. Bekerja sebagai nelayan tidak mampu mencukupi kebutuhan kami semua. Oleh karena itu kami harus bekerja setiap hari. Dan saya bekerja setiap hari, untuk membiayai sekolah saya dan membiayai makan minum saya.

               Saat musim kemarau, Saya dan ibu saya sesampai di penyinggahan naik ke atas tanah tanah yang disertai lumpur. Kaki kami kotor. Tapi kami tidak peduli. Saya dan ibu berjalan terus hingga tiba di kebun kemudian memotong getah. Itulah, betapa sulitnya mencari uang untuk makan dan minum sehari-hari. Tapi kami tidak putus asa bekerja setiap hari. Begitu pula ayahku yang bekerja, berangkat pagi hari dan pulang siang hari untuk menghidupi kami sekeluarga.

                Kadang di sekolah, kalau saya belum lapar saya tidak pernah membeli makanan maupun minuman walaupun saya ingin sekali membelinya. Sedangkan teman-temanku, mereka lapar atau tidak, tetap bisa membeli makanan ataupun minuman.Bukan hanya itu saja, kalau ada soal latihan dan saya salah mengerjakannya maka saya tidak mau boros. Kalau teman-teman saya bukunya disobek dan mengerjakan di kertas yang baru. Oleh karena itu saya menabung. Jadi, saat saya ingin membeli sesuatu saya tinggal mengambil uang di dalam tabungan saya sehingga tidak perlu repot-repot meminta uang pada kedua orang tua saya.

                Saya belajar hidup mandiri dari kecil hingga sekarang. Oleh karena itu saya tidak pernah menyerah untuk berhenti bekerja. Supaya saya bisa sekolah seperti teman-teman yang lain. Saya sekolah. Saya akan belajar sungguh-sungguh supaya kedua orang tua saya bangga. Saya sekolah agar bisa meraih cita-cita saya menjadi seorang guru. Itulah saya, Fitri Muyanti anak yang mandiri di sekolah maupun di rumah.

 

Tepat dua bulan meninggalkan desa untuk berobat, Fitri kembali dengan kondisi yang lebih baik. Gangguan syaraf yang diperkirakan akan menghalangi kemampuan berpikir Fitri sehingga ia tidak diperbolehkan bersekolah bisa dikalahkan dengan kemauan keras Fitri untuk melanjutkan sekolah. Yah, kini Fitri sudah kembali ke bangku sekolah. Meskipun dengan badan yang tak sekuat dulu, tekad bulat Fitri untuk menjadi guru  membuatnya bisa terus melangkah dan belajar. Meskipun dua bulan tertinggal dari teman-temannya, dengan penuh semangat ia meminjam catatan teman-temannya dan mampu mengejar bahkan mengungguli kawan-kawan yang lain dan terpilih menjadi wakill SMP 4 SATAP Bunut hilir untuk maju di ajang OSN Biologi di Kota Putussibau. Maju Terus Fitri. Pemotong getah bisa jadi guru.


Cerita Lainnya

Lihat Semua