Lilin-Lilin Kecil di Kota Putussibau
Hilda Lu'lu'in Nanda Alfira Devi 24 Desember 2012“Up and Down and jump jump jump”
“move to The left and move to the right”
“Up and Down and jump jump jump”
Terdengar riuh suara anak-anak sedang menyanyi lagu berbahasa Inggris dan berbicara satu sama lain dengan menggunakan Bahasa Inggris di sebuah tanah lapang kosong di depan sebuah sekolah pagi itu. Terlihat pula tawa gembira sekelompok anak yang menari-nari memperagakan setiap lagu yang dinyanyikan. Sungguh menyenangkan. Siapa yang menyangka anak-anak yang fasih berbahasa Inggris itu adalah anak-anak kurang mampu yang belum pernah menginjakkan kakinya ke luar negeri. Itulah suasana yang kami bersepuluh, Pengajar Muda IV Kapuas Hulu, lihat pagi itu di sebuah kelompok belajar Bahasa Inggris Anak-anak yang didirikan oleh dua orang hebat. Kami memanggilnya Bang Alwis dan Bang Edi. Dua orang luar biasa yang menginspirasi kami.
Perawakan kedua orang itu sangat berbeda jauh. Bang Alwis bertubuh kecil dan kurus sedangkan Bang Edi sebaliknya. Asal daerahnyapun berbeda. Namun perbedaan tersebut justru membuat persahabatan mereka semakin erat dan bermanfaat bagi orang lain, terutama bagi anak-anak tidak mampu di Kota Putussibau. Mereka bukan konglomerat yang bisa membuat sekolah berbahasa Inggris dan membayar guru-guru bahasa Inggris atau bule. Mereka hanya bekerja di sebuah cafe kecil di tengah Kota Putussibau. Hasil jerih payah pekerjaan mereka sebagian digunakan untuk biaya operasional kelompok belajar ini. Hanya satu tujuannya, agar anak-anak di Kota Putussibau bisa memperoleh pengajaran Bahasa Inggris yang baik tanpa harus mengeluarkan biaya.
Pada awalnya kegiatan belajar mengajar hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang kurang mampu. Namun semakin hari Bang Alwis dan Bang Edi tak kuasa menolak setiap anak yang ingin belajar. Awalnya kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di rumah bang Alwis, namun lapak tempat kegiatan belajar mengajar mereka habis dilalap si jago merah. Rumah Bang Alwis habis tak bersisa. Harta Bang Alwis ludes. Namun hati nuraninya tetap terjaga dengan baik sehingga dalam kondisi bangkrutpun dia tetap melanjutkan kelompok belajarnya.
Ada sekitar 50 –an anak yang belajar dan lima sukarelawan yang mengajar di kelompok belajar Bang Alwis dan Bang Edi. Sukarelawan itu “ditarik” bang Alwis dan Bang Edi dari kafe milik mereka. Salah satu dari sukarelawan itu adalah seorang master lulusan Universitas di Jepang, dan dua diantaranya adalah pegawai Kementrian Keuangan Putussibau, seorang polisi yang jelas memiliki kesibukan banyak luar biasa serta istri dari salah seorang pejabat di Putussibau. Untuk memperoleh sukarelawan bang Alwis menanyai satu per satu setiap pengunjung kafe yang berkunjung apakah bersedia ambil bagian dalam usaha mencerdaskan anak-anak bangsa di Kota Putussibau. Dengan usaha itu Bang Alwis dan Bang Edi dapat mengajak lima orang sukarelawan yang jelas-jelas bukan orang sembarangan. Bahkan tak jarang bule yang singgah di kafe mereka bersedia menyumbangkan tenaganya untuk mengajar anak-anak.
Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan setiap Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu di sore hari. Pada hari-hari itulah Bang alwis dan Bang Edi sering menolak pesanan catering karena lebih memilih bertatap muka dengan anak-anak, belajar sambil bermain, dan menyanyikan lagu-lagu berbahsa Inggris. “Kadang Allah menguji kami dengan pengunjung kafe yang membludak setiap Selasa, Sabtu, satau Minggu. Namun saat mengingat anak-anak sedang menunggu untuk diajar maka selaris apapun kafe kami akan tetap menolak pesanan dan meninggalkan kafe untuk mengajar anak-anak”, Kata Bang Edi.
Sungguh mereka bukanlah ahli dalam pendidikan, bukan orang yang berpengalaman mengajar, namun tekad yang besar untuk memberikan mimpi dan masa depan yang lebih baik pada anak-anak membuat mereka mampu menjadi guru yang menyenangkan, memotivasi, dan menginspirasi bagi murid-murid mereka. Sungguh mereka bukan politisi ataupun diplomat yang mampu memengaruhi orang-orang untuk mengikuti keinginannya melalui argumen-argumennya . Tapi mereka mempunyai hati untuk bicara sehingga mampu menggerakkan orang lain untuk turut serta mencerdaskan anak bangsa. Kondisi bangsa yang jauh tertinggal tidak perlu dikecam. Nyalakan lilin untuk menerangi kegelapan. Lakukan sesuatu.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda