Dibalik Senyuman Siti

Hilda Lu'lu'in Nanda Alfira Devi 6 Februari 2013

Siti, murid kelas 4 yang hampir setiap hari berdiri di depan pagar sekolah membawa keranjang kecil berisi Kroket atau Kedel (Makanan Desa Teluk Aur) untuk dijual pada guru atau kawan-kawannya. Rambut panjangnya tak pernah dibiarkan terurai, selalu digelung seadanya dengan kuncir berwarna hitam. Warna kulitnya gelap karena hampir setiap hari terbakar matahari berkeliling desa untuk menjajakan berbagai jajanan milik orang-orang desa untuk sekedar mendapatkan upah  dua ribu rupiah untuk setiap sepuluh jajanan yang laku dijualnya. Ukuran tubuhnya terbilang ‘kecil’ jika dibandingkan  dengan teman-teman sebayanya. Entah karena perawakan, penampilan, atau hal lain menyebabkan Siti tidak memiliki banyak kawan. Yang jelas aku sering mendengar siswa lain membully Siti karena ukuran tubuhnya yang kecil atau karena hidungnya yang sangat pesek. Namun bukan Siti namanya jika tidak menjalani hari-harinya dengan senyuman.

Siti seringkali berjalan sendiri, berangkat sekolah sendiri, istirahat sendiri, dan pulang sekolah sendiri dan pastinya dengan senyuman kesukaanku itu. Berulangkali aku mengamatinya berusaha keras mengakrabkan diri dengan kawan-kawannya. Meskipun tidak ada respon positif, Siti tidak pernah lelah mengakrabkan diri dan tetap berusaha berbaur dengan teman-temannya, pastinya dengan panggilan tidak sedap yang kerap dilontarkan untuknya. Pernah suatu saat kami berjalan berdua pulang dari sekolah. Siti sedikit mencurahkan perasaannya padaku. “Bu,apa ngacah (Mengapa)  sidak nak mau main dengan aku bu?aku nesik bulih (tidak dapat) kawan bu. Ibu magang mih yang mau main dengan aku.”kata Siti. Aku diam sejenak merasa iba dengan Siti, tak mampu berkata-kata. “Siti tau Nabi Muhammad?Nabi Muhammad yang baik magang ada yang nak suka. Tapi Nabi Muhammad baik nacah dengan sidak yang jat ati ( jahat). Siti pyak uga (begitu juga) bah. Sidak napan (belum) tau roti Siti anak yang baik. Ibu nyan (suka) bekawan dengan Siti. Kalau Siti baet sama sidak, pasti lama-lama sidak mau uga bekawan dengan Siti.” Sitipun menjawab, “Aok (Iya), Bu!” Kesan mendalamku padanya adalah Dia gadis yang pantang menyerah dan bukan pendendam. Siti mengajariku untuk sabar, ikhlas dan tidak pendendam ketika ada orang yang tidak suka, mengolok-olok, ataupun menjelek-jelekkan kita.

Di saat-saat awal aku mengajar, Siti  mengalami kesulitan untuk membaca. Siti juga merupakan  salah satu murid yang menjawab “tidak ada” saat aku bertanya apakah mereka memiliki cita-cita. Namun, Matanya berbinar-binar saat aku menceritakan tentang berbagai profesi yang bisa dicapainya. Dia sangat tertarik pada saat aku menceritakan tentang  penangkaran Mayas (orang utan) dari buku yang diberi oleh Regina Safri, seorang fotografer dan penulis yang menghabiskan waktunya untuk merawat urang utan di Kalimantan Timur. Bercita-citalah Siti menjadi seorang wartawan dengan alasan  agar bisa menulis dan memotret. Banyak hal yang ia tanyakan untuk bisa menjadi seorang wartawan. Siti seorang gadis yang selalu ingin tahu.

Siti adalah salah seorang muridku yang tak pernah absen belajar bersama di kediamanku saat malam hari. Jika ada satu materi yang kurang dipahami olehnya maka sudah dapat dipastikan keesokan harinya Siti akan membaca bukunya hingga paham atau menungguku pulang mengajar SMP di sore hari untuk bertanya hingga dia paham. Pernah aku membuatnya menangis sejadi-jadinya saat ujian akhir semester. Aku meminta lembar jawaban matematika Siti karena waktu ujian telah habis. Aku sangat merasa bersalah  karena tidak bisa memberikan waktu tambahan untuknya mengerjakan soal matematika yang seharusnya bisa dikerjakannya dengan baik karena aku harus berlaku adil dengan siswa yang lain. Sejak kejadian itu aku lebih sering memberikan soal-soal latihan agar anak-anak bisa lebih cepat mengerjakan soal.

Siti gadis yang luar biasa bagiku. Dalam kondisi yang ‘kurang nyaman’ dia dapat menerima keadaannya dengan lapang dada, penuh senyuman dalam menjalani hari-harinya, tidak menyimpan dendam sedikitpun pada orang lain, dan memiliki semangat yang luar biasa untuk mengejar cita-citanya. Ketidakmampuannya membaca dan menulis diawal pertemuan kami kini berganti menjadi kemampuan membaca dan menulis yang hebat melebihi kawan-kawannya. Olok-olok yang seringkali dilontarkan kepadanya tidak membuatnya patah semangat namun justru sebagai pemicu dirinya untuk menjadai semakin baik. Sepulang belajar bersamaku malam ini tanggal 13 Januari 2013, Siti mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku dan mengatakan bahwa suatu saat akan menginjakkan kaki di Jawa untuk menuntut ilmu jadi wartawan. Airmataku tiba-tiba meleleh mendengarkan ucapannya dan hanya berkata dalam hati “Semoga Allah memberikan jalan padamu untuk menggapai cita-citamu, Nak!”


Cerita Lainnya

Lihat Semua