Sebuah Catatan Haru di Hari Hujan

Hidayatul Mabrur 13 September 2013

Pagi itu, hujan. Hujan yang panjang sehingga tak menyisakan jeda sedikit pun sejak tadi malam. Hingga saat itu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ada sedikit rasa penasaran menyelinap, lalu aku pun mengintip dari jendela kamar untuk memastikan seberapa laju jatuh curah hujan. Namun yang kudapati berbeda, justru aku menemukan anak-anakku sedang berlarian menuju Sekolah. Ada yang berpayungkan kain, daun pisang, kresek seadanya dan adapula yang tanpa berpayung sama sekali. Anak-anak itu terus saja berlari-lari walau hujan, walau jalanan itu licin seakan mereka sudah tak kenal dengan sesuatu yang bernama bahaya atau sakit. Melihat itu, aku hanya tergumam diam, speechless.! 

Si Guru yang mengintip ini tadi ­—yang tadinya berniat ingin sedikit terlambat datang ke Sekolah lantaran hujan— langsung bergegas menggosok gigi, menyiram kepala seadanya (sebagai pengganti mandi dikala hujan) lalu berpakaian dan bergegas menuju Sekolah.

Dalam benak si Guru, “kamu punya payung, Pak.! Sehingga alasanmu untuk datang terlambat ke Sekolah rasanya kurang bisa diterima. Tidak kah kamu melihat anak-anakmu berlarian ke Sekolah sejak tadi tanpa berpayung sekalipun?”.

                                                                                           ****

Setiba di Sekolah, mataku menerawang ke seluruh penjuru Sekolah, kulihat belum ada seorang guru pun yang datang. Namun semangat dan aktivitas anak-anak tak berkurang sedikit persen pun. Ada yang sedang piket membersihkan tempias air hujan di teras kelasnya (walau mereka tau air itu juga tak akan kering karena sebenarnya atap teras itu bocor), ada yang duduk sambil mendekapi badannya di beberapa pojokan dinding Sekolah, ada juga yang membuat perapian kecil-kecilan sambil mendekatkan badannya di perapian itu (barangkali bermaksud mengusir dingin, hehe..) dan yang paling membuat hatiku geli, sebagian dari mereka kalau hari hujan begini selalu membawa kain ke Sekolahnya.

Kain itu multifungsi, fungsi pertama sebagai payung yang mereka gunakan sebagai pelindung badan dari hujan (agak aneh memang, bukankah kain menyerap ari ya? He..). Lalu fungsi selanjutnya adalah menjadi kemul penangkal dingin. Fungsi yang kedua ini agak lucu, karena kemul kain itu divariasai menjadi seperti ‘ninja-ninjaan’. Maka tidak heran banyak ninja ‘jadi-jadian’ di Sekolah ini dikala hujan tiba. Awalnya aku agak meresa aneh dengan kondisi itu, karena seumur hidup belum pernah aku menjumpai sekolah dengan murid yang membawa kemul (kain selimut) ke Sekolah. Tapi kini aku hanya tersenyum, dikala melihat anak-anakku dengan ragam kreativitas seperti  itu.

                                                                                           ****

Kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul 08.30. Saat itu curah hujan masih saja mengalir walau hanya dengan irama gerimis. Kini hanya aku dan seorang guru lain yang datang, Pak Zainal —Guru agama yang juga tinggal di kampung ini—. Aku dan Pak Zainal sudah sama-sama mengerti. Kalau hujan begini kami tak berharap banyak, biasanya guru-guru banyak yang tak datang, kalaupun ada paling tak lebih dari 2 orang (maksdunya aku dan dia, hehe.). Itu artinya, dalam kondisi seperti ini, kami harus siap-siap mengeluarkan jurus "one for three" atau mengajar rapel ‘satu guru untuk mengajar tiga kelas’.  

Oia, sebelum melanjutkan cerita ini, aku ingin sedikit berbagi masih tentang jurus “one for three”, tadi. Alhamdulillah sebagai Guru bantu yang baru memasuki bulan ke tiga bertugas disni, aku sudah beberapa kali mencicipi mengajar seorang diri, ya, sendiri ri.! Itu artinya 1 guru untuk 6 kelas dengan jumlah murid kurang lebih 170-an murid. Dengan demikian, bukan hanya jurus “one for three” tadi yang ku kuasai, disini, aku juga semakin terampil menggunakan jurus “one for six” mengajar seorang diri dari kelas 1 samapi kelas 6. Jika ditanya apa rasanya, aku juga tidak tahu. Dalam kondisi seperti itu, Mauku pokoknya mereka belajar, entah apa dan bagaimanapun caranya.

Sungguh, tiada bermaksud meng-heroik-kan diri dalam catatan ini. Aku sebenarnya hanya ingin kalian tahu, bahwa di Negri ini —pada belahan buminya yang lain— masih banyak cerita-cerita tentang ‘Sekolah tanpa Guru’ atau juga sebaliknya ‘Guru tanpa Sekolah’. Kalian suka atau tidak, tapi inilah potret kenyataan pendidikan kita, yang sama-sama harus kita "telan".

                                                                                                 ****

Lanjut pada cerita di hari hujan tadi. Pendek kata, kami memutuskan untuk membagi tugas. Kemudian dapatlah aku jatah mengajar kelas 4, 5 dan 6. Sedangkan Pak Zainal mengajar kelas 1, 2 dan 3. Dengan mengajar model rapel begini, jangan berharap bisa menjalankan RPP atau rencana pembelajaran ideal lainnya. Anak-anak mau diam dan mengerjakan tugas saja, itu sudah merupakan sebuah kesyukuran yang amat. Maka fokusku yang penting pelajaran berjalan dan pelajaran yang kuberikan pun yang umum-umum saja.

Setelah masuk ke kelas 4 beberapa menit, tibalah aku masuk kelas 5 dan jadual pelajaran kelas 5 pada pagi itu adalah IPS. Kuputuskan untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan umum tentang wawasan kenegaraan. Diantaranya tentang nama Presiden, Ibu kota Negara, tanggal kemerdekaan dan lain-lain. Sengaja pertanyaan tentang Presiden kuletakkan pada nomer urut pertama dengan bunyi seperti ini: 

“Siapa nama Presiden Republik Indoensia saat ini?”

Selesai menuliskan soal-soal di papan tulis, aku pun bersiap-siap bergerak menuju ke kelas 6, lalu berteriak ;

“Ayo anak-anak, semuanya mengerjakan. Nanti sebelum istirahat tugasnya di kumpulkan di kantor, yah.! Jangan ada yang ribut, Bapak mau masuk ke kelas 6 dulu”. Teriakku sambil menghayunkan kaki keluar kelas.

Istirahat pun tiba, sampai di kantor aku mengambil tugas anak-anak kelas 5 tadi. Lembar demi lembar kubuka, jawaban per jawaban perlahan-lahan kuteliti. Aku pun mulai mengkerutkan dahi, lantaran rata-rata jawaban untuk soal nomor 1 di atas tadi adalah nama Presiden Indonesia yang tak pernah kukenal. “Alex Noordin” rata-rata jawaban mereka, Ya, Alex Noodin yang setauku Gubernur provinsi Sumatra Selatan itu. Sejenak aku merenung.

Ada rasa sedih menyelinap. Sedih lantaran sudah 5 tahun anak-anak ini belajar di Sekolah ini namun mereka rupanya tak kenal dengan kepala Negarnya sendiri?. Lalu pertanyaanya, mengapa Alex Noodin lebih dikenal daripada nama Presidennya?. Ya, jelas saja, karena sepengamatanku, disini nama dan foto-foto si Gubernur itu dapat dijumpai dimana-mana dan lebih sering mereka lihat di baju-baju kampanye si Gubernur, yang saban hari dipakai oleh bapak-ibunya.

Ahh, dalam benakku, anak-anak ini tidak salah. Anak-anak ini hanya korban keterbatasan dan juga barangkali sering diserangi oleh guru-gurunya dengan jurus "one for three" atau bahkan "one for six", tadi. Haha..

                                                                                              ****

Hujan masih saja setia membasahi tanah Semende ini. Namun sekolah sudah sepi, aku pun pulang dengan segenap hati yang bergelombang. Sambil berjalan, perlahan sambil kunyanyikan lagu Indonesia Raya, "Hiduplah tanahku, Hiduplah Negriku...!"

Sungguh, yang demikian terlampau haru.. .

 

                                                                                      

September, 2013                                                                                                 

Negri Kecilku, Semende :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua