info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Welcome to Bawean (Part 2)

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 4 Juli 2011
15 Juni 2011 Masih di hari yang sama, Rabu, 15 Juni 2011, acara temu-sambut Pengajar Muda di aula kecamatan diakhiri dengan sesi pembagian mobil yang akan mengantar saya dan teman-teman ke rumah hostfam (keluarga angkat) masing-masing. Ada tiga mobil di sana. Suasana diskusi di antara bapak-bapak yang akan mengantar kami tampak seru. Sedangkan saya dan teman-teman? Jangan tanya. Kami berenam diam, melihat pemandangan sekitar, sambil sesekali juga saling melontarkan pertanyaan. Kalau boleh saya deskripsikan, mungkin saat itu kami semua sedang berusaha membangun suasana. Kami berusaha keras. Kami tidak ingin suasana perpisahan ini berlangsung pilu. Kami tidak ingin kebersamaan kami tergadai begitu saja oleh perpisahan ini. Ingat, kami berenam masih bersama dalam satu pulau, satu kabupaten, dua kecamatan, dan hanya terpisah dalam satu laut (Pulau Gili – Pulau Bawean), beberapa dusun, beberapa jam, beberapa kilometer, dan beberapa ... yah, beberapa. Akhirnya kami berpisah dalam 3 mobil. Saya, Tidar, dan Putri berada dalam satu mobil. Icha satu mobil bersama Lasti. Sedangkan, Wintang terpisah. Dia sendirian di mobil. Entah kemana mobil ini akan membawa saya, Tidar, dan Putri. Sebenarnya saya bingung juga. Menurut pembagian wilayah daerah penempatan, saya dan Putri berada di kecamatan yang sama, kecamatan Tambak. Sedangkan Tidar berada di Kecamatan Sangkapura. Tetapi, mengapa kami bertiga berada dalam satu mobil? Dan bapak supir yang mengantar kami tidak henti-hentinya berkata bahwa Hety yang mengajar di SD N Kepuh Legundi 2 akan turun terlebih dahulu. Sudahlah, mungkin kebingungan saya disebabkan oleh ketidaktahuan saya akan wilayah Bawean. Besok lama-lama pasti saya akan paham jalanan di daerah ini. Satu tahun rasanya sudah amat sangat cukup untuk menghafal jalan. Hanya masalah waktu. Di depan sebuah balai desa, saya akhirnya diturunkan. Di sana sudah ada beberapa guru yang mengendarai sepeda motor. Sepertinya mereka sudah siap untuk mengantar saya ke rumah hostfam, keluarga yang akan mewarnai hidup saya selama satu tahun. Berat juga rasanya berpisah dengan Tidar dan Putri dalam mobil. Hfff. Sudahlah, tidak akan saya biarkan kesedihan merasuki hati saya. Ini hanya perpisahan sementara. Saya dekap erat tas coklat saya yang berisi boneka monyet yang selalu setia menemani saya pergi. Babak baru kehidupan saya sebagai Pengajar Muda segera dimulai. Saya pun turun dari mobil. Saya siap. Jalan menuju rumah hostfam, sangat berliku. Saya dan tas-tas saya diboncengkan satu per satu oleh motor-motor yang dikendarai oleh para guru. Sungguh, saya tidak ada gambaran kemana motor-motor ini akan menuju. Blank. Saya diboncengkan bapak kepala sekolah. Posisi saya, tas laptop ditengah, tangan kiri memegangi tas coklat, dan tangan kanan saya memegang erat bagian belakang sadel sepeda motor. Saya menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Berbekal ucapan bissmillah, saya bersiap melewati jalanan dakar motor rally offroad yang terhampar di depan mata saya. Yaaaaaa... Saya menembus hutan. Melewati jalan setapak. Menanjak. Naik turun. Berlubang. Berkelok-kelok. Berbatu kasar. Terjal. Berdebu. Saya tebak, saya sedang melewati pegunungan tua. Jalanan hening tanpa lampu. Maklum hari sudah gelap. Hanya itu yang bisa saya deskripsikan, wajah Indonesia di bagian Pulau Bawean, desa Kepuh Legundi, dusun Panyal Pangan. Itulah red carpet saya menuju rumah hostfam. Kurang lebih 15 menit melewati jalanan dakar motor rally offroad, sampai juga saya di tengah-tengah pemukiman penduduk. Kali ini bukan hutan belantara lagi yang saya lalui, tetapi rumah. Ya, rumah. Hati saya berdebar, saya sudah tidak sabar melihat rumah dan hostfam. Bla bla bla dan bla, akhirnya, saya dipersilakan mandi membersihkan diri oleh ibu angkat saya. Ditemani Iis, perempuan berjilbab seumuran adik saya, saya ditunjukkan letak kamar mandi yang ternyata berbeda rumah dengan rumah keluarga angkat saya. Saya dibekali lampu minyak kecil (lampu teplok). Katanya, untuk penerangan selama saya mandi. Dengan teplok itu, saya bisa melihat kamar mandi tetangga yang berukuran kira-kira 1,5 m x 4 m. Bentuknya memanjang dengan bak mandi yang besar seperti di kamar mandi barak Rindam Jaya. Lantainya semen. Tidak ada kloset disana. Yang ada hanyalah sebuah genset yang menderu di sudut kamar mandi. Genset itu rupanya sedang dinyalakan oleh empunya, mengeluarkan bau minyak tanah yang khas memenuhi seluruh ruangan kamar mandi dan ‘cukup’ memedihkan mata saya. Pemandangan kamar mandi tetangga yang didominasi oleh genset dan serentetan akibat yang ditimbulkannya, baik suara maupun bau, sempat menciutkan nyali saya untuk mandi di situ. Setelah menutup pintu kamar mandi, saya tidak segera membalikkan badan saya. Saya hanya diam dan menutup mata saya menghadap pintu. Tiba-tiba rasanya pilu sekali. Entah. Mungkin karena mata saya pedih sehingga saya lebih memilih untuk menutup mata saya atau mungkin inilah ujian ketulusan saya untuk mandi di tempat seperti itu. Memori-memori selama pelatihan, mama dan papa di rumah, teman-teman PM 2, Rindam Jaya, dan pengalaman survival 3 hari di hutan Bunder bersinggahan dalam pikiran saya. “Hey, Hety! You have passed the journey, remember! Do you want to stop now? Di tengah kegalauan saya, tiba-tiba, ada yang berbisik. Saya terdiam sesaat. Saya tarik napas dalam-dalam, kemudian senyum pun mengembang dari bibir saya. “Aku siap-aku siap!,” saya berkata menirukan logat Spongebob Squarepants yang selalu bersemangat bekerja di Krusty Krab, “Welcome to Bawean, Hety dear”. Cibang cibung cibang cibung dan yang terdengar kemudian hanyalah bunyi guyuran air, mandi pertama saya di pulau Bawean.

Cerita Lainnya

Lihat Semua