Kebahagiaan yang Sederhana

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 22 Juli 2011
10 Juli 2011 Satu W. O. W (baca: we, oo, we), wow! Rasanya luar biasa sekali bisa melihat, mendengar, dan menyaksikkan langsung anak tetangga bisa membaca. Bayangkan, pukul 14.30 saya memulai dengan belajar huruf A, B, C, ... sampai Z dan pukul 17.00 mereka sudah bisa membaca ba, bi, bu, be, bo ..... sampai ya,yi, yu, ye, yo. Magic! Mungkin bagi beberapa orang, hal ini tampak biasa, tidak istimewa, karena baru dapat membaca dua huruf: satu huruf konsonan bertemu dengan satu huruf vokal.  Tidak bagi saya. Bagi saya, ini adalah peristiwa penting. Si anak tetangga (akhirnya) dapat membaca dan saya turut berbahagia. “Selamat ya, Lisa dan Ima, besok kita akan belajar membaca lagi...” Dua Setelah sekian puluh hari berada di sini, saya hampir kenyang oleh cerita ibu asuh saya mengenai saudara-saudaranya, baik yang berada di Bawean, Malang, bahkan Malaysia. Ibarat toples kue lebaran, mungkin isinya sudah tiga perempat. Bagaimana saya tidak kenyang jika cerita-cerita tentang persaudaraan itu selalu didendangkan setiap hari. Satu hari bisa 4 sampai 5 kali cerita di kala senggang. Lucunya, semakin saya kenyang oleh cerita-cerita itu, semakin saya terinspirasi. Ibarat toples kue lebaran, jika sudah penuh kue, saya bersedia mengeluarkan toples baru lagi untuk diisi kue. Dalam ceritanya, ibu selalu mengatakan, “Di sini walaupun saudara sepupu atau anaknya saudara sepupu, semuanya sudah dianggap seperti saudara kandung.” Ya, begitulah. Sampai-sampai, kalau ibu asuh saya sedang bercerita, saya pasti selalu menanyakan dahulu “Dia anaknya siapa, Bu?” atau “Hubungannya apa, Bu?” saking ‘rancak bana’-nya pikiran saya mengenai saudara Ibu asuh saya yang maha banyak itu. Lhah, bagaimana lagi? Orang semuanya dianggap saudara kandung? :p Cerita-cerita Ibu asuh saya mengenai saudaranya, selalu mengingatkan saya kepada kakak perempuan saya. Kami memang hanya berdua. Suatu takdir Tuhan, dia kakaknya, dan saya tercipta sebagai adiknya. Selisih usia saya dan kakak 4 tahun. Saya selalu teringat, masa sekolah dulu, kami berdua selalu bertengkar, dari hal kecil sampai hal-hal prinsipil menyangkut kehidupan dua orang perempuan. Papa dan Mama kadang sampai lepas tangan jika melihat kami berdua sedang bertengkar (sister battlefield). Ajaibnya, semakin bertambahnya usia, intensitas bertengkar semakin menurun. Saya dan kakak semakin akur. Kami bisa menjadi mitra yang handal saat bekerja sama membuat surprise ulang tahun papa dan mama. Selain itu, kami juga bisa menjadi partner in crime saat sedang usil-usilnya. Pokoknya, kompak. Nah, cerita Ibu asuh saya membuat saya kangen kakak perempuan saya satu-satunya yang ngefans berat dengan Inter Milan. Saya ingin bertambah erat lagi dengan kakak. Jika orang tua sudah tidak ada, kakak adalah satu-satunya orang yang tersisa. Orang kedua setelah orang tua yang sudah melihat manis, asem, asin perilaku saya. Hahaha. Luv u, sista. Saya jadi ingat, ada kata bijak yang berbunyi seperti ini, "kamu tidak akan bahagia dengan selalu ingin memiliki apa yang kamu tidak punya. Justru kamu akan bahagia dengan menyadari apa yang telah kamu miliki". Saya bahagia anak tetangga bisa membaca. Anak tetangga yang sebelumnya saya tidak mengenalnya. Saya bahagia memiliki seorang kakak. Padahal sebelumnya, saya anggap hal itu biasa saja. Saya bahagia dengan apa yang saya punya di Jogja, di Bawean. Dua-duanya kampung saya. Is it the true happiness of life? P.S. Kampanye hari ini: Mari sukseskan Gerakan Cinta Membaca (GCM) dan Gerakan Sayang Kakak (GSK) \m/

Cerita Lainnya

Lihat Semua